Search
Close this search box.

Kisah Para Perempuan Afganistan ‘Melawan Tradisi’ (3/Habis)

Ilustrasi/bbcnews/ist.

Bagikan :

VISI.NEWS – Banyak perempuan Afganistan juga tidak mendukung gerakan itu.

“Saat seseorang menanyakan nama saya, saya harus memikirkan kehormatan saudara laki-laki saya, ayah saya dan tunangan saya,” kata seorang wanita dari Provinsi Herat, yang berbicara kepada BBC tanpa menyebut nama.

“Saya ingin disebut sebagai putri ayahku, saudara perempuan kakakku,” katanya.
“Dan di masa depan, saya ingin disebut sebagai istri suamiku, kemudian ibu dari putraku.”

‘Bulan dan matahari belum melihat mereka’

Afghanistan terus menjadi negara yang menyanjung patriarki. Sosiolog asal Afghanistan, Ali Kaveh, menilai ‘kehormatan laki-laki’ memaksa perempuan tidak hanya menyembunyikan tubuh, tapi juga nama mereka.

“Dalam masyarakat Afghanistan, perempuan terbaik adalah mereka yang tidak terlihat dan didengar. Seperti kata pepatah, ‘matahari dan bulan belum melihatnya’,” kata Kaveh.

“Laki-laki yang paling keras dan paling tangguh adalah yang paling dihormati dan terhormat di masyarakat. Jika anggota keluarga perempuan mereka liberal, mereka dianggap tidak bermoral dan tidak terhormat.”

Agar perempuan Afghanistan bisa memiliki identitas independen, mereka perlu kemandirian di bidang finansial, sosial, dan emosional, serta dukungan dari parlemen.

Anggapan itu diutarakan Shakardokht Jafari, seorang fisikawan medis asal Afghanistan yang bekerja di Surrey Technology Centre, Inggris.

“Di negara seperti Afghanistan, pemerintah harus mengambil tindakan hukum terhadap mereka yang menyangkal identitas perempuan,” kata Jafari.

Sejak rezim Taliban jatuh dua dekade lalu, komunitas nasional dan internasional berusaha membawa perempuan kembali ke kehidupan publik.

Namun perempuan seperti Rabia masih dilecehkan oleh suami karena memberi tahu nama mereka kepada dokter. Ada risiko yang dihadapi perempuan Afganistan jika mereka berbicara secara terbuka menentang tradisi.

Di Afganistan, para perempuan akan memiliki opsi lebih baik saat keluar negeri. Farida Sadaat adalah seorang pengantin anak. Dia melahirkan bayi pertamanya pada usia 15 tahun.

Baca Juga :  Lihat Daftar Harga Sembako di Jogja: Kenaikan Terbaru dan Dampaknya

Sadaat dan suaminya kemudian berpisah. Dia lantas pindah ke Jerman dengan keempat anaknya.

Sadaat berkata kepada BBC, suaminya tidak hadir dalam kehidupan anak-anaknya, baik secara fisik maupun emosional. Dia yakin tidak memiliki hak untuk menuliskan namanya pada kartu identitas penduduk Afghanistan.

“Saya membesarkan anak-anak saya sendirian. Suami saya menolak menceraikan saya sehingga saya tidak bisa menikah lagi,” katanya.

“Saya meminta presiden Afghanistan untuk mengubah undang-undang dan mencatat nama ibu pada akta kelahiran dan kartu identitas anak.”

Sahar, seorang pengungsi Afganistan di Swedia, pernah bekerja sebagai jurnalis lepas tetapi sekarang bekerja di panti jompo.

Sahar berkata, dia mendukung gerakan ini dari jauh, sejak kampanye hak perempuan itu dimulai. Ketika Sahar pertama kali mendengar gagasan itu, dia memutuskan untuk mengirim pesan di media sosial.

“Saya bangga menulis bahwa nama saya Sahar,” tulisnya. “Nama ibuku adalah Nasimeh, nama nenek keibuanku adalah Shahzadu, dan nama nenek dari pihak ayahku adalah Fukhraj.” @fen/sumber: bbcnews

Baca Berita Menarik Lainnya :