Search
Close this search box.

Bagaimana Hukum Buka Rumah Makan di Siang Ramadan? Begini Penjelasannya

Ilustrasi. /nu.or.id

Bagikan :

VISI.NEWS | BANDUNG – Mencari harta halal merupakan kewajiban tiap muslim, dan Allah mencintai hamba yang mau bekerja. Dalam satu hadits marfu’ riwayat Ibnu Abbas disebutkan:

طَلَبُ الْحَلَالِ جِهَادٌ وَإِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْعَبْدَ الْمُؤْمِنَ الْمُحْتَرِفَ

Artinya, “Mencari rezeki yang halal adalah jihad, dan Allah menyukai hamba yang beriman yang bekerja.” (HR Al-Hakim At-Tirmidzi, At-Thabarani, dan Al-Baihaqi).

Adapun hukum menjual makanan pada siang bulan Ramadan, pada dasarnya adalah diperbolehkan, namun jika diduga kuat, atau bahkan diyakini akan digunakan maksiat, seperti akan dimakan oleh orang yang wajib puasa di siang Ramadan, maka hukum menjualnya menjadi haram.

Jual beli merupakan akad atau transaksi yang dihalalkan dalam syariat Islam, selama memenuhi syarat-syaratnya. Di antaranya adalah barang yang dijual harus barang yang bermanfaat yang dilegalkan dalam Islam.

Termasuk menjual nasi yang ada di warung-warung makan. Dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 275 dijelaskan, Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.

Meskipun hukum jual beli telah dihalalkan syariat, namun jika berpotensi disalahgunakan untuk melakukan kemaksiatan, maka hukumnya dapat berubah.

Jika sebatas adanya kekhawatiran akan digunakan maksiat, maka hukum jual belinya adalah makruh. Sedangkan jika diduga kuat, atau bahkan diyakini akan digunakan maksiat, maka hukum jual belinya menjadi haram.

Salah satu bentuk kemaksiatan adalah tidak melakukan puasa bagi orang yang berkewajiban puasa dan tidak ada uzur atau sebab yang memperbolehkan untuk tidak berpuasa. Seperti wanita haidh, nifas, orang yang sakit, atau musafir yang melakukan perjalanan dengan jarak yang diperbolehkan qashar (kurang lebih 81 km).

Berdasarkan beberapa pertimbangan di atas, maka hukum buka warung makan pada siang hari bulan Ramadan dirinci sebagai berikut:

Baca Juga :  Kejagung Sita Uang Rp 288 Miliar Terkait Kasus TPPU Korporasi Duta Palma

Boleh, jika dipastikan pembeli tidak menggunakannya untuk maksiat, yaitu ketika pembelinya adalah orang-orang yang tidak berkewajiban puasa. Seperti anak kecil, wanita haid, orang yang sakit, dan musafir. Atau bisa jadi pembeli adalah orang yang wajib puasa, namun nasi yang dibeli dibungkus dan dibawa pulang, sehingga ada kemungkinan nasi tersebut untuk persiapan berbuka, atau untuk keluarga yang tidak wajib puasa, semisal untuk anaknya.

Makruh, jika dikhawatirkan akan digunakan maksiat. Seperti ada pembeli yang berkewajiban puasa, dan ada kekhawatiran dari penjual bahwa nasi tersebut akan dimakan di siang hari dalam keadaan wajib puasa.

Haram, jika diduga kuat atau bahkan diyakini akan digunakan untuk maksiat. Seperti ketika diketahui pembelinya adalah orang yang wajib puasa, dan penjual yakin akan dimakan di siang hari, semisal penjual mengenal pembeli adalah orang yang berkewajiban puasa, namun sering tidak puasa.

Syekh Zakariya Al-Anshari menjelaskan dalam kitab Fathul Wahhab menjelaskan:

وَبَيْعِ نَحْوِ رُطَبٍ) كَعِنَبٍ (لِمُتَّخِذِهِ مُسْكِرًا) بِأَنْ يَعْلَمَ مِنْهُ ذَلِكَ أَوْ يَظُنَّهُ فَإِنْ شَكَّ فِيهِ أَوْ تَوَهَّمَهُ مِنْهُ فَالْبَيْعُ لَهُ مَكْرُوهٌ وَإِنَّمَا حُرِّمَ أَوْ كُرِهَ لِأَنَّهُ سَبَبٌ لِمَعْصِيَةٍ مُحَقَّقَةٍ أَوْ مَظْنُونَةٍ أَوْ لِمَعْصِيَةٍ مَشْكُوكٍ فِيهَا أَوْ مُتَوَهَّمَةٍ

Artinya, “Haram menjual semisal kurma segar, seperti anggur, kepada orang yang menjadikannya sebagai minuman keras, dengan gambaran penjual mengetahui atau menduga kuat akan dijadikan hal tersebut. Tetapi jika dia meragukannya atau hanya mengira-ngira saja, maka jual belinya adalah makruh.

Hukum haram atau makruh tersebut dikarenakan penjualan tersebut merupakan sebab dari terjadinya kemaksiatan yang nyata atau yang diduga, atau kemasiatan yang diragukan atau dikira-kira.” (Abu Yahya Zakariya Al-Anshari, Fathul Wahhab, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 2017], juz I, Halaman 286).

Baca Juga :  Seorang Pria Lansia Ditemukan Tak Bernyawa di Saluran Air PLTA Ubrug Sukabumi

Kemudian berkaitan dengan hukum menjual makanan, Syekh Sulaiman Al-Jamal menjelaskan:

قَوْلُهُ وَبَيْعِ نَحْوِ رُطَبٍ إلَخْ) وَمَعَ كَوْنِهِ حَرَامًا فَهُوَ صَحِيحٌ وَمِثْلُ الْبَيْعِ كُلُّ تَصَرُّفٍ يُفْضِي إلَى مَعْصِيَةٍ … وَمِثْلُ ذَلِكَ إطْعَامُ مُسْلِمٍ مُكَلَّفٍ كَافِرًا مُكَلَّفًا فِي نَهَارِ رَمَضَانَ وَكَذَا بَيْعُهُ طَعَامًا عَلِمَ أَوْ ظَنَّ أَنَّهُ يَأْكُلُهُ نَهَارًا كَمَا أَفْتَى بِهِ الْوَالِدُ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى لِأَنَّ كُلًّا مِنْ ذَلِكَ تَسَبَّبَ فِي الْمَعْصِيَةِ وَأَعَانَهُ عَلَيْهَا

Artinya,
“Sekalipun hukum jual belinya haram, namun tetap sah. Sebagaimana jual beli, setiap transaksi yang mendatangkan kemaksiatan hukumnya seperti itu. Begitu juga hukum seorang muslim mukallaf (baligh dan berakal sehat) memberi makanan kepada non nuslim mukallaf, dan juga menjual makanan yang diketahui atau diduga kuat pembeli akan memakannya di siang hari, sebagaimana fatwa Al-Walid (ayah Ar-Ramli)–semoga Allah merahmatinya–karena masing-masing itu menyebabkan dan membantu terwujudnya kemaksiatan.” (Sulaiman Al-Jamal, Hasyiyah Al-Jamal, [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 2013] Juz IV, Halaman 427).

Kesimpulannya, membuka warung makan pada siang Ramadan adalah diperbolehkan, kecuali jika ada dugaan kuat atau keyakinan nasi atau makanan yang dibeli akan dimakan di siang hari oleh orang yang wajib berpuasa, maka hukumnya menjadi haram.

Sebagai solusi, untuk menghindari adanya potensi kemaksiatan, sebaiknya jualan makanan dilakukan di sore hari menjelang berbuka, atau malam hari.

Jika penjualan tetap dilakukan pada siang hari, maka hanya melayani orang-orang yang tidak wajib puasa, seperti anak kecil, orang yang haid, sakit atau musafir.

Sebaiknya makanan tersebut dibungkus, agar tidak ada kekhawatiran warung tersebut digunakan tempat makan orang-orang yang berkewajiban puasa.

Demikian rincian hukum buka warung makan siang hari pada bulan Ramadan.

Wallahu a’lam.

@mpa/nu.or.id/ustadz muhammad zainul millah

Baca Berita Menarik Lainnya :