VISI.NEWS | BANDUNG – Keakraban Presiden Jokowi, Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo di tengah sawah saat panen raya di Kebumen, Jawa Tengah, masih jadi pembicaraan hangat.
Mungkinkan Jokowi jadi bisa jadi king maker untuk pasangan presiden dan wakil presiden 2024-2029?
Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia Yunarto Wijaya dalam dialog di podcastnya Akbar Faisal mengatakan bahwa Jokowi belajar dari SBY pad Pilpres 2014.
“Apakah Jokowi juga akan diam? Ini menarik, karena Jokowi menurut saya dari beberapa statement yang keluar walaupun sangat implisit sebagai seorang Jawa, termasuk puncaknya pada Rakernas Projo. Kita tidak tahu seberapa besar dia akan menjadi king maker, tapi saya pikir adalah sebuah hal yang wajar kalau dia berkaca apa yang terjadi dengan SBY. Betapa tidak produktifnya seorang presiden yang berhasil menang di dua periode tapi tidak berhasil menjadi king maker pada periode berikutnya,” ujarnya.
Bisakah Jokowi menjadi King Maker diluar format PDIP?
“Saya malah melihat Pak Jokowi lebih sulit menjadi King Maker di PDIP. Pak Jokowi itu jelas kalau kita lihat dari pasang surut hubungan Pak Jokowi dengan Ibu Mega. Dari sejarahnya dia kan bukan kader dalam PDIP, bukan juga ketua DPP, dia masuk menjadi kader karena menjadikan PDIP sebagai kendaraan politik, untuk kemudian berkiprah menjadi kepala daerah bahkan menjadi Presiden,” kata Yunarto.
Ruang gerak Jokowi, katanya, secara histori lebih luas di luar PDIP. Itu misalnya ketika dia menjadi presiden, kita lihat kedekatannya dengan Nasdem, kedekatannya dengan Golkar. “Bahkan dalam acara-acara dengan Nasdem atau Golkar dalam becandanya dia lebih plong, karena jelas dia bukan petugas partai Golkar, bukan petugas partai Nasdem,” ungkapnya.
Dia melihat, kalau Jokowi punya upaya menjadi king maker, ruang geraknya akan lebih besar ketika dia lakukan tidak di internal PDIP.
“Pertanyaannya apakah dia bisa?,” kata Yunarto.
Yonarto melihat Jokowi secara lebih realistis masih punya power untuk melakukan itu. “Problem dari seorang presiden menjadi king maker adalah siapa dia. Apakah dia masih dianggap presiden yang masih punya power? Yang masih dihormati sehingga masih punya bargaining position yang tinggi. Itu kan tidak terjadi pada SBY di tahun 2012-2014, power ratingnya selalu dibawah 60%, presiden yang menang dengan angka yang sangat besar di 2009, tapi hanya jadi penonton di 2014, bahkan ketika besannya sendiri maju dia tidak pernah berani menyatakan memberikan dukungan. Itu berimplikasi loh sampai sekarang kepada Demokrat, menjadi partai yang bukan oposisi tapi juga tidak menyatakan mendukung pemerintah. Maka sampai ada istilah menjadi penonton yang terus menerus,” ungkapnya.
Yonarto melihat, Presiden Jokowi belajar dari situ. Tapi apakah Jokowi akan menghadapi situasi yang sama. Satu yang jadi kelemahan yang ada pada Jokowi malah menjadi kelebihannya. Ketika ia dikatakan petugas partai, menjadi ledekan selama ini, tapi malah menjadi keleluasaan dia untuk berkomunikasi dengan partai-partai lain lebih terbuka dibandingkan dengan SBY yang jadi Ketua Partai Demokrat.
Kesepakatan harus dia buat jauh-jauh hari sebelum dia memasuki masa ‘pensiun’. Yonarto juga mengaku kaget ketika dalam Rakernas Projo beberapa waktu lalu ada pernyataan Jokowi mendukung salah satu capres dengan ciri-ciri tertentu yang menjadi perdebatan panjang, padahal Pilres sendiri masih lebih dua tahun lagi.
Tapi Yonarto mengira Jokowi juga menyadari untuk menjadi king maker saat dia masih kuat. Ada gerakan untuk mengunci itu jauh-jauh hari. Ketika dia masih kuat, sisa waktu masih panjang, power ratingnya masih tinggi, daya ikat partai masih kuat, ancaman resufle masih bisa dilakukan, partai-partai masih membutuhkan logistik untuk menjadi bagian kekuasaan, pada titik itulah dia masih bisa melakukan upaya menjadi King Maker. “Kalau menurut saya itu hanya bisa dilakukan kalau dikunci tahun ini. Walaupun tetap ada resiko, sebelum pendaftaran hari terakhir yang namanya politisi tidak bisa dipegang. Barangnya sudah masuk belum tentu dealnya terjadi.@mpa