

Bob Dylan adalah ikon di dunia musik sekaligus sastra. Belum ada lagi seniman modern yang berdiri di atas dua dunia itu sekaligus menembus kesuksesan komersial maupun kritikal sebesar dia. Meski dikenal nama lain seperti, Leonard Cohen, Paul Simon, Patti Smith, tetapu Dylan tetap saja di atas mereka. Secara objektif, Dylan adalah satu-satunya musisi rock yang memenangi Hadiah Nobel untuk Kesusasteraan.
Saya pertama kali mendengar nama Bob Dylan ketika disebutkan dalam sebuah film. Saat itu saya masih duduk di bangku sekolah dasar. Saya belum tahu bahwa nama itu akan terus relevan dalam setiap dasawarsa hidup saya. Film tersebut adalah Dangerous Minds, dengan Michelle Pfeiffer berperan sebagai guru kulit putih yang mencoba menjangkau murid-muridnya di sekolah menengah yang keras.
Dalam satu adegan yang membekas, ia membacakan lirik “Mr. Tambourine Man” dan menyebutnya sebagai puisi. Salah satu muridnya—seorang remaja keras kepala dan penuh perlawanan—terpaku. Rasa penasarannya muncul. Begitu pula saya.
Berikut terjemahan dari salah satu bagian liriknya :
“Meski kutahu kerajaan senja telah kembali menjadi pasir
Menghilang dari genggamanku
Meninggalkanku berdiri buta di sini, namun belum juga tertidur
Letihku membuatku terperangah, kakiku seolah terpatri
Tak ada seorang pun yang kutuju
Dan jalan tua yang kosong itu terlalu mati untuk bermimpi”
Mr Tambourineman – 1965
Momen itu menghantam saya seperti bisikan yang belum sepenuhnya saya pahami. Ada sesuatu yang terungkap: puisi tidak harus tinggal di buku-buku tua atau pelajaran bahasa yang kaku—puisi bisa bernyanyi, bergerak, menghantui, dan melekat lewat musik rock.
Jendela kecil itu membuka dunia yang luas. Bertahun-tahun kemudian, saat SMA, saya menemukan kaset kompilasi Bob Dylan. Ada “Mr. Tambourine Man”, “Lay Lady Lay”, dan “All Along the Watchtower” yang tersangkut di telinga dan imajinasi saya. Kaset itu lengkap dengan foto Dylan di cover-nya, sesosok pria kriting berkesan terlalu introvert dan sederhana untuk seorang rock star. Sembari mengingat apa yang saya dengar di Dangerous Mind, saya mulai penasaran kenapa, tak seperti Elvis dan The Beatles yang saya sudah sangat familiar berkat keluarga saya, Dylan punya reputasi intelektual. Saya mulai tertarik dengan suaranya yang tak indah, terdengar menantang standar keindahan vokal. Lalu, liriknya yang aneh, kadang indah, kadang terasa sangat dalam, semakin menghantui imajinasi. Saya belum memahami semua maknanya, tapi saya merasakannya. Dari momen-momen itu, saya yang semula tak berminat sama sekali dengan puisi mulai tersedot pada dunia kesusasteraan Indonesia maupun dunia.
Kemudian datang masa kuliah. Wellington kota angin, ibu kota Selandia Baru, tempat laut disadur oleh hijaunya perbukitan, mungkin memang diciptakan untuk orang-orang introvert tanggung seperti saya. Di kota itu seharusnya saya belajar soal Ekologi dan Keanekaragaman Hayati di departemen Biologi, tapi saya malah tenggelam dalam perpustakaan, toko vinil, dan lagu-lagu Dylan. Lagu Dylan sendiri memang bukan sekadar latar suara; mereka sendiri adalah perpustakaan. Saya menyelami para penulis yang Dylan rujuk atau pantulkan: Arthur Rimbaud, dengan prosa halusinatifnya yang menghancurkan batas bahasa; Jack Kerouac, yang novelnya dan generasi Beat writers-nya sangat menginspirasi Dylan; Dostoevsky, dengan labirin moralnya; T.S. Eliot, yang fragmen dan ironi puisinya mulai saya dengar dalam lagu-lagu Dylan; dan Dante Alighieri, yang menunjukkan bahwa perjalanan pribadi bisa jadi, atau malah memang, sebuah epos tersendiri.
Tidak hanya itu. Dylan membawa saya menyelam lebih dalam ke tradisi musik yang sebelumnya tidak saya kenal—delta blues, bluegrass Appalachian, kidung gospel, dan rekaman lapangan berdebu dari arsip Alan Lomax. Lewat Dylan, saya menemukan bukan hanya Woody Guthrie, tapi juga para penyanyi rakyat dari berabad-abad lalu. Singkatnya, saya menemukan sesuatu yang bernama etnomusikologi. Musik tiba-tiba bukan sekadar hiburan, ia indikator jiwa sekaligus indikator peradaban.
Saya ingat berkeliaran di toko-toko rekaman, bukan hanya mencari album, tapi jawaban. Saya ingat bolos kuliah mikrobiologi dan sesi-sesi laboratorium, dan justru menggenggam buku-buku puisi kusam karya Rimbaud atau Ginsberg, seolah silabus kuliah saya dibajak oleh Dylan. Saya menghabiskan Chronicles Vol. 1 seperti suatu wahyu, meskipun Tarantula, buku karyanya yang pertama, sejujurnya terasa seperti… sampah. Buku karya John Lennon dari era yang sama, In His Own Write, sedikit lebih menghibur dari Tarantula. Dan ya—saya bahkan mulai mencari jaket korduroi, celana Levi’s yang jatuh pas, dan topi nelayan seperti yang Dylan pakai di awal kariernya. Saya bahkan belajar memainkan gitar dan mandolin di toko-toko musik tua di Jalan Cuba, sekali dua kali mengamen di pojok jalan itu juga, bahkan hal-hal tidak penting seperti jatuh hati pada gadis yang menyerupai Joan Baez.
Tapi lebih dari sekadar estetika, Dylan menawarkan cara melihat dunia yang baru. Tidak seperti kebanyakan penulis lagu, Dylan membuat sastra terasa hidup—bukan sesuatu yang dibekukan dalam museum, tapi sesuatu yang luwes dan tak terduga. Ia tidak sekadar meminjam dari tradisi sastra—ia merakit ulang, dan menciptakan sesuatu yang baru. Lirik-liriknya menolak narasi tunggal; mereka berlapis, penuh suara, dan ironi. Lagu seperti “Desolation Row” bisa dibaca seperti prosa absurdis penuh kecemasan pascamodern dan surealisme. Referensi alkitabiah, rujukan klasik, dan kegelisahan eksistensial membentuk anyaman setebal puisi Eliot atau puisi-puisi Beat.
Berikut sedikit dari Desolation Row:
Bagi perempuan itu, kematian
Terasa begitu romantis
Ia mengenakan rompi besi
Profesinya adalah agamanya
Dosanya adalah ketakberjiwaannya
Dan meskipun matanya
Tertuju pada
Pelangi agung milik Nuh
Ia habiskan waktunya mengintip
Ke dalam Desolation Row (Deretan Kekosongan)
Desolation Row – 1965
Dylan mendapat Hadiah Nobel Sastra bukanlah hal yang mengejutkan—bukan sebagai gestur simbolik terhadap budaya pop, tapi sebagai pengakuan bahwa batas antara lagu dan sastra bukanlah tembok, melainkan sungai. Ia menciptakan bentuk puisi baru bukan meski memakai melodi, tapi karena melodi itu sendiri. Frasa-frasanya, disonansi ritmisnya, keengganannya untuk memberi resolusi—semuanya adalah teknik sastra yang diwujudkan dalam suara. Dalam Dylan, sastra bernyanyi.
Pada penganugerahan Hadiah Nobel, Dylan sendiri tidak datang, suatu insiden yang sempat hampir membuat kesal beberapa anggota komite Hadiah Nobel. Namun, pada acara tersebut, Patti Smith, seorang rock star dari generasi di bawah Dylan, membawakan salah satu lagu Dylan yang paling dianggap sastrawi, Hard Rain’s Gonna Fall. Ini secuil dari lagu yang sebenarnya sangat panjang tersebut;
“Oh, apa yang kau lihat, putraku bermata biru?
Dan apa yang kau lihat, anak mudaku tercinta?
Aku melihat bayi yang baru lahir dikelilingi serigala buas
Aku melihat jalan raya berlian tanpa satu pun yang melintas
Aku melihat dahan hitam dengan darah yang terus menetes
Aku melihat ruangan penuh lelaki, palunya berdarah-darah
Aku melihat tangga putih yang terendam air seluruhnya
Aku melihat sepuluh ribu orang bicara, lidah mereka patah semua
Aku melihat senapan dan pedang tajam di tangan anak-anak kecil”
A Hard Rain’s Gonna Fall – 1963
Di usia tiga puluhan saya, satu album datang kembali seperti hantu—Blood on the Tracks. Dulu saya pernah mendengarnya, tapi terasa lambat dan sulit dipahami. Dylan pernah berkomentar tentang suksesnya album tersebut di pertengahan dasawarsa 1970-an. “Tak terbayangkan pada pikiran saya, bagaimana orang bisa merasa terhubung dengan hal-hal semenyakitkan itu,” kata dia merujuk pada momen hidupnya saat ia baru saja, atau dalam proses perceraian. Ketika pelintiran takdir hidup saya juga mengarah ke krisis serupa, album itu tiba-tiba seperti ranjau yang meledak pada waktunya di benak saya. Bukan dengan lirik-lirik galau klise yang merujuk pada rasa sakit hati, tetapi dengan lirik-lirik prosa yang seolah anekdotal dan unik, yang sejatinya universal. Bagaimana karya Dylan seperti memprediksi pola emosi dalam siklus hidup, ini yang terus menyadarkan saya atas kekuatan seni bercerita, tak hanya Dylan tapi seni bercerita dan sastra luhur secara umum.
Untuk mengambil contoh dalam lirik album itu
“Dia selalu tergesa, terlalu sibuk atau terlalu teler /
Dan semua rencana yang ia susun harus ditunda /
Ia pikir mereka sukses, dia pikir mereka diberkahi /
Dengan benda dan hal-hal duniawi—tapi aku tak pernah terpukau /
Dan saat segalanya runtuh berantakan, aku menarik diri /
Satu-satunya yang kupahami hanyalah terus melangkah /
Seperti burung yang terbang, terbelit dalam biru.”
– Tangled Up in Blue 1975
—itu bukan sekadar lirik lagi. Itu luka. Itu pengakuan. Itu sastra dalam bentuk paling mentah. Dylan, sekali lagi, telah memprediksi cuaca emosional yang bahkan belum saya sadari akan saya rasakan.
Melihat ke belakang, Dylan tak hanya memengaruhi apa yang saya dengar. Ia mengubah apa yang saya baca, bagaimana saya membaca, bagaimana saya berpakaian, bagaimana saya jatuh cinta, dan bagaimana saya memahami patah hati. Ia mengubah saya dari calon ilmuwan menjadi pencari kisah dan lagu seumur hidup. Ia mengajari saya bahwa seni besar bisa sekaligus mengguncang dan melindungi kita; bahwa sastra tak harus tinggal di halaman—ia bisa menari, melolong, berbisik, dan berdarah melalui pengeras suara.
Bob Dylan bukan hanya menulis lirik. Ia menawarkan cara baru untuk memandang dunia—dan seperti semua karya sastra besar, sekali Anda melihat dunia dengan cara itu, Anda tak akan pernah kembali seperti sebelumnya.












