Catatan MUI Terkait UU KUHP Soal Asusila: Belum Memuaskan, Namun Sudah Ada Kemajuan

Editor Ilustrasi./via mui.or.id/ist.
Silahkan bagikan

VISI.NEWS | JAKARTA – Wakil Ketua Komisi Hukum MUI, Dr. Neng Djubaedah, memaparkan beberapa catatan MUI terkait UU KUHP baru, khususnya perkara asusila, agama, dan infokom.

Hal tersebut ia sampaikan saat menjadi narasumber di Halaqah Mingguan Infokom MUI secara virtual pada Rabu, (14/12/2022).

Neng Djubaedah mengatakan bahwa terkait perkara asusila, UU KUHP baru memang belum sepenuhnya mengakomodir masukan dari MUI yang mempertimbangkan hukum Islam, namun sudah ada kemajuan dibandingkan peraturan sebelumnya.

Misalnya, pada KUHP lama, perzinaan bisa dikenakan hukuman hanya bagi orang yang sudah menikah (muhshan). Selain itu, yang berhak mengadu hanya suami/istri yang bersangkutan, disertai perceraian.

Sementara pada UU KHUP baru, tindak pidana perzinaan berlaku untuk setiap orang yang melakukannya dengan orang yang bukan suami/istrinya. Ini artinya berlaku juga untuk orang dewasa yang belum menikah.

“Sudah ada kemajuan,” tuturnya.

Namun, ia menambahkan, dari delik aduan masih belum memuaskan, meski lebih baik dari sebelumnya. Yang berhak mengadu hanyalah suami atau istri bagi yang terikat perkawinan, dan orang tua atau anak bagi yang tidak terikat perkawinan.

Delik aduan yang sama juga berlaku untuk orang yang melakukan kohabitasi (kumpul kebo). Dengan hukuman pidana penjara paling lama 6 bulan/denda kategori II (10 juta).

Menurut dia, delik aduan seperti ini dirasa belum bisa memenuhi rasa keadilan masyarakat yang apabila di wilayahnya terdapat pasangan lelaki dan perempuan (tidak terikat perkawinan, tidak memiliki orang tua/anak kandung), lalu melakukan kohabitasi, maka tokoh/anggota masyarakat tidak berhak mengadukannya.

Kendati demikian, ada beberapa usulan MUI yang diterima, di antaranya hukuman pidana tentang persetubuhan yang menyimpang. Misalnya hubungan seksual dengan hewan yang termasuk kategori penganiayaan hewan, hubungan sesama jenis beserta delik aduannya, dan tindakan percabulan sesama jenis, semua sudah ada payung hukumnya.

Baca Juga :  JADWAL SALAT: Bandung dan Sekitarnya, Selasa (26) - Kamis (28) Oktober 2021

Sementara itu, lanjut dia, yang belum ada hukuman pidananya adalah larangan biseksual bagi suami/istri dan orang yang melacurkan diri, baik pelaku maupun pengguna, hanya mucikari yang mendapat ancaman hukuman.

Adapun terkait aturan informasi dan komunikasi, Neng Djubaedah mengaku bahwa dirinya belum terlalu mendalami, namun jika dilihat sepintas tidak ada masalah dan tidak jauh berbeda dengan yang ada dalam UU ITE. Begitupun dalam masalah agama dan ibadah, tidak ada masalah.

“Meskipun masih jauh dari nilai-nilai Islam, namun sudah ada nilai-nilai Islam di dalamnya, dan UU KUHP ini lebih baik dari UU sebelumnya, dan ini merupakan produk kita sendiri,” beber Neng Djubaedah, dilansir dari laman resmi MUI pusat.

Terakhir, ia juga berpesan agar masyarakat melakukan penguatan nilai-nilai keagamaan, agar terhindar dari tindakan asusila.

“Nilai-nilai agama, dalam hal apa pun perlu ditingkatkan, khususnya dalam ranah keluarga, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, seperti perzinaan, kohebitasi, aborsi. Intinya adalah penguatan agama,” pungkasnya. @fen

Fendy Sy Citrawarga

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Next Post

Nojorono Kudus Serahkan Bantuan Tunai dan Sembako pada Mitra dan Masyarakat Terdampak Gempa Cianjur

Jum Des 16 , 2022
Silahkan bagikanVISI.NEWS | CIANJUR – Gempa yang terjadi pada November 2022 lalu di Cianjur meninggalkan duka yang mendalam. Duka ini tidak hanya dirasakan masyarakat Cianjur semata, melainkan seluruh masyarakat Indonesia turut merasakannya. Gempa dengan skala 5,6 magnitudo tersebut juga mengakibatkan kerugian material maupun nonmaterial. Sebagai bentuk kepedulian terhadap bencana yang […]