VISI.NEWS | BANDUNG – Pemerhati Kepolisian, Dede Farhan Aulawi, menjelaskan pentingnya penggunaan alat uji kebohongan atau “lie detector” dalam penanganan kasus Vina di Cirebon yang kembali mencuat setelah beredarnya film “Vina”. Kasus pembunuhan dan dugaan ruda paksa ini terjadi pada tahun 2016, namun tidak banyak diketahui publik saat itu. Baru setelah film tersebut tayang, perhatian masyarakat meningkat tajam, disertai dengan pemberitaan yang simpang siur dan keterangan yang bertolak belakang di media.
“Kasus ini menjadi teka-teki publik karena banyaknya alibi yang mengalir deras di media sosial,” ujar Dede kepada VISI.NEWS, Selasa (11/6/2024).
Dede menjelaskan bahwa alat uji kebohongan dapat menjadi instrumen penting untuk mengungkap kebenaran di balik berbagai keterangan yang diberikan oleh para pihak yang terlibat.
Dede memaparkan bahwa alat deteksi kebohongan, atau poligraf, dirancang untuk memeriksa tanda-tanda fisik spesifik saat seseorang menjawab pertanyaan. “Perubahan fisiologis seperti denyut nadi, tekanan darah, dan pola pernapasan dapat mendeteksi kebohongan,” jelasnya.
Alat ini mencatat perubahan-perubahan tersebut secara real-time, memberikan indikasi apakah jawaban yang diberikan adalah kebohongan atau kebenaran.
Sejarah penggunaan poligraf di dunia kriminal dimulai oleh John A. Larson, seorang polisi di California, yang mencatat perubahan pola pernapasan dan tekanan darah saat seseorang berbohong. “Larson ingin membuat investigasi polisi lebih ilmiah dan tidak hanya bergantung pada naluri atau ancaman psikologis,” tambah Dede.
Poligraf Larson mencatat perubahan pola pernapasan, tekanan darah, dan denyut nadi secara bersamaan, dan teknologi ini terus berkembang hingga sekarang.
Di Indonesia, penggunaan poligraf dalam pembuktian pidana diatur dalam Perkap No.10 Tahun 2009, yang mengatur tata cara dan persyaratan pemeriksaan teknis kriminalistik. “Poligraf digunakan sebagai alat bantu untuk membuat terang suatu tindak pidana, bukan sebagai alat bukti yang sah di pengadilan,” jelas Dede. Hasil dari poligraf hanya berfungsi sebagai sarana interogasi bagi penyidik.
Dede juga menekankan bahwa uji kebohongan mendeteksi gelombang fisik. “Jika seseorang berbohong, gelombang akan bergetar cepat. Sebaliknya, jika jujur, gelombang tidak akan bergetar dengan cepat,” ujarnya.
Dengan tingkat akurasi sekitar 88-95%, poligraf dapat membantu efisiensi kinerja penyidik, meskipun faktor emosional dan keterampilan pemeriksa dapat mempengaruhi hasil.
“Penggunaan lie detector sebagai alat bantu sangat membantu tugas penyidik dalam mengungkap kasus. Semoga alat ini juga bisa membantu mengungkap kasus Vina, sehingga keadilan dapat segera terpenuhi,” pungkas Dede.
@uli