VISI.NEWS | SOLO – Istana Pura Mangkunegaran dalam sistem pemerintahan di masa lalu, secara khusus menggunakan model busana dan gelar kepangkatan bagi birokrat yang mengemban tugas sehari-hari.
Berdasarkan hasil penelitian tim dosen program studi ilmu sejarah, Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, busana di lingkungan keraton sejak zaman Keraton Mataram sampai perjanjian Giyanti yang memecah keraton menjadi 2, yakni Keraton Surakarta dan Yogyakarta, terjadi perubahan model beberapa kali.
Kepala program studi ilmu sejarah FIB UNS, Dr. Susanto, mengungkapkan temuan itu dalam Focus Group Discusion (FGD)
“Penelitian Gelar dan Model Busana Birokrasi Mangkunegaran Abad XX” dan “Pembuatan Katalog Sumber Sejarah Kewilayahan Kabupaten Kota Mangkunegaran” di perpustakaan “Reksopustaka” Mangkunegaran, Rabu (29/6/2022) siang.
“Ketika Keraton Mataram pecah menjadi dua, model busana surjan dan pranakan yang merupakan tradisi Mataram dipakai di Keraton Kasultanan Yogyakarta. Keraton Kasunanan Surakarta membuat model busana sendiri berupa beskap dan pranakan. Sedangkan Pura Mangkunegaran yang berada di wilayah Keraton Surakarta juga menciptakan dan mengembangkan model busana untuk pejabat birokrasi,” ujar Dr. Susanto.
Dalam melakukan penelitian terhadap arsip rijksblaad yang tersimpan di perpustakaan Reksopustaka, kata dosen ilmu sejarah itu, timnya menemukan fakta sejarah yang mengatur penggunaan busana dan gelar birokrat di lingkungan Pura Mangkunegaran.
Dr. Susanto yang dalam pemaparan hasil penelitian didampingi KGPAA Mangkunegoro X dan dipandu Tunjung W Soetirto, menyebut contoh busana dan gelar pejabat di lingkungan terendah tingkat kelurahan, di antaranya busana dari jenjang lurah, demang, penghulu dan seterusnya yang berupa beskap, sikepan dan lain-lain dengan simbol-simbol kepangkatan yang berbeda-beda.
“Kami tidak menemukan sumber sejarah seperti rijksblaad yang mengatur gelar dan busana birokrasi seperti itu di keraton lain. Di perpustakaan Reksapustaka terdapat 5 rijksblaad yang memuat perubahan busana birokrasi Pura Mangkunegaran,” jelasnya.
Busana dalam tradisi keraton, menurut Dr. Susanto, bukan sekadar bungkus yang menutup tubuh, tetapi ada kaitan dengan politik, sosial dan budaya.
Semasa pemerintah kolonial di bawah pimpinan Daendels pada Agustus 1908, Pura Mangkunegaran membentuk pasukan militer yang disebut Legiun Mangkunegaran. Setelah pembentukan pasukan yang bermarkas di sisi timur Pamedan Mangkunegaran tersebut, KGPAA Mangkunegoro VII kalau menghadap Sunan Paku Buwono di Keraton Surakarta mengenakan pakaian militer dengan simbol-simbol barat.
“Secara sosial dan politik, menempatkan Mangkunegoro yang berpakaian militer tidak harus duduk di lantai tetapi di kursi. Bahkan, Mangkunegoro juga berbicara dengan bahasa Melayu, bukan dengan bahasa Jawa seperti kerabat keraton lainnya. Jadi, busana bukan hanya mengubah hubungan fisik ,tetapi juga hubungan sosial dan politik,” tutur Dr. Susanto lagi.
Dalam kaitan sosial politik itu juga, Dr. Susanto juga mengungkap, dalam pertemuan antara KGPAA Mangkunegoro IV dengan Belanda di Pesanggrahan Langenharjo, pemegang tahta Pura Mangkunegaran itu menciptakan busana yang kemudian dinamakan “Langenharjan”.
“Saat itu semua yang hadir harus mengenakan jas. Padahal Mangkunegoro IV mengenakan kain dan keris di belakang. Saat itu juga muncul ide menciptakan busana baru dengan mengubah jas rompi model barat yang bagian belakangnya berekor panjang. Ekor jas dipotong agar dapat dipakai untuk mengenakan kain batik dan bisa memakai keris. Busana model jas yang dipadu dengan busana tradisional kain dan blangkon itu dinamakan Langenharjan,” ungkapnya.
Menanggapi hasil penelitian tersebut KGPAA Mangkunegara X sebagai pemegang tahta Istana Mangkunegaran, menyatakan, hasil penelitian dan pembuatan katalog yang dilakukan prodi ilmu sejarah FIB UNS akan sangat bermanfaat bagi pengembangan Pura Mangkunegaran serta pelestarian budaya yang hidup.
“Pura Mangkunegaran itu kehidupan. Di alamnya ada kehidupan sosial dan budaya. Selama ini, yang dikenal masyarakat hanya pariwisata dengan bangunannya, tetapi tidak sampai ke perpustakaan Reksapustaka. Ke depan, arah pengembangan Pura Mangkunegaran akan fokus pada kehidupan sosial dan budaya yang sudah ada sejak Mangkunegoro I,” katanya.
Penguasa istana yang masih berusia relatif muda itu, menegaskan, Pura Mangkunegaran adalah bangunan hidup dengan berisi kehidupan itu sendiri. Dia sebagai penerus dinasti Mataram akan mengembangkan hidup dan kehidupan Mangkunegaran tanpa meninggalkan akarnya.
“Kalau mencari akar hidup dan kehidupan Mangkunegaran, ada di perpustakaan Reksopustaka. Saya akan melakukan restorasi dengan sistem manajemen yang baik, untuk mengangkat dan mengembangkan Reksopustaka,” tandasnya. @tok