VISI.NEWS | BANDUNG – Cancel culture adalah fenomena sosial di mana individu—terutama figur publik—menghadapi penolakan atau boikot karena perkataan, tindakan, atau karya mereka dianggap bertentangan dengan norma yang berlaku. Fenomena ini umumnya terjadi di media sosial, seperti X, di mana masyarakat menggalang petisi atau seruan massal untuk menghentikan karier atau pengaruh seseorang.
Istilah cancel culture pertama kali populer pada tahun 2017, ketika kasus pelecehan seksual yang melibatkan Harvey Weinstein mencuat ke publik. Sejak saat itu, banyak tokoh publik yang tersandung skandal mengalami tekanan sosial hingga kehilangan pekerjaan dan reputasi mereka.
Alasan seseorang mengalami cancel culture cukup beragam, mulai dari terlibat skandal, membuat pernyataan kontroversial, menghasilkan karya yang dianggap tidak sesuai dengan nilai budaya, hingga melakukan tindakan yang dinilai merugikan negara atau komunitas tertentu.
Fenomena ini membawa dampak besar, baik bagi individu yang terkena cancel culture maupun masyarakat luas. Bagi individu, efeknya bisa berupa kehilangan pekerjaan, pengucilan sosial, hingga gangguan kesehatan mental seperti depresi berat. Sementara bagi masyarakat, cancel culture dapat meningkatkan kesadaran terhadap isu-isu sosial, tetapi di sisi lain juga dapat membatasi kebebasan berpendapat.
Kontroversi seputar cancel culture pun tak terhindarkan. Beberapa pihak menganggapnya sebagai alat untuk menegakkan akuntabilitas sosial, sementara yang lain menilai praktik ini sebagai bentuk persekusi digital atau cyberbullying. Psikolog dari Universitas Gadjah Mada, Koentjoro, berpendapat bahwa cancel culture dapat berkembang menjadi bentuk main hakim sendiri di media sosial, yang pada akhirnya dapat merusak kondisi mental seseorang.
Meskipun bisa menjadi sarana untuk menuntut pertanggungjawaban, cancel culture juga memiliki sisi negatif yang berpotensi menimbulkan ketidakadilan bagi individu yang menjadi target. Oleh karena itu, fenomena ini tetap menjadi perdebatan yang kompleks di era digital saat ini. @ffr