Oleh Aep S Abdullah
HABIS sudah apa yang dimiliki Mang Pe’i. Ya hartanya, ya harga dirinya. Juga seluruh pendukungnya yang selalu menjanjikan kemenangan padanya untuk kembali berkuasa dalam pemilihan kepala desa (pilkades). Mereka semua tiba-tiba menghilang, raib seperti bayang-bayang.
Kekalahannya dalam pilkades tahun ini tinggal menyisakan puing-puing kebanggaan. Rasa percaya dirinya sebagai calon kepala desa yang merasa paling diunggulkan, tinggal kedongkolan.
Mang Pe’i terpekur. Harta dan kekuasaan ternyata tidak menjaminnya lolos sebagai kepala desa. Para pendukung yang menjanjikan kemenangan, ternyata hanya bualan besar, yang telah memenjarakan dirinya dalam rasa percaya diri yang berlebihan. Ia lengah oleh kepongahan. Hingga selesai perhitungan suara, ia baru sadar kekuatan dan dukungan yang dihembuskan padanya seperti balon besar yang kemudian pecah. Memecahkan jantungnya.
Mang Pe’i sendiri sebetulnya sudah berpikir bagaimana kalau di tengah gegap gempita dukungan ini ia kalah. Hati kecilnya sudah meniatkan dengan sepenuh hati kalau kalah maka ia harus siap. Namun kekalahan ternyata tidak seperti yang dibayangkan sebelumnya, sangat menyakitkan. Terlebih, sang pemenang Mang Adun adalah orang yang dalam beberapa tahun terakhir menjadi seterunya. Bukan mustahil, sang pemenang sebagai penguasa baru, akan berbalik menggunakan kekuasaan untuk mengamputasi semua kekuasaan yang dimilikinya, dan membuatnya menjadi lebih terhina. “Audzubillahimindzalik,” desah Mang Pe’i.
Mang Pe’i terus berpikir agar tidak sampai jatuh ke lubang paling dalam pada karir politik lokal di desanya. Ia mulai berpikir, bagaimana agar sisa hartanya pun bisa tumbuh lagi.
Ia memang memiliki beberapa perusahaan kecil dan menengah, tapi setelah tak berkuasa, mungkin berbagai masalah akan muncul. Bahkan, lawan-lawan politiknya bisa saja mengadukannya ke polisi, kejaksaan atau mungkin ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menelusuri bagaimana aliran dana yang dimilikinya selama ia berkuasa. Aparat penegak hukum (APH) yang dulu saat ia berkuasa, bisa kompromis apakah masih bisa bersikap manis. Saat hartanya sudah tidak dapat lagi menolongnya.
Akhirnya, seluruh anggota keluarga dikumpulkan. Semuanya diminta saran dan masukkannya untuk masa depan Mang Fe’i. Pendapat dan ide pun mengalir dari otak cemerlang keluarga Mang Pe’i. Mulai dari ide curang dan negatif untuk menjatuhkan kades yang baru terpilih sampai ide positif untuk kembali bangkit dan menata kehidupannya yang lebih baik lagi. Beberapa diantaranya ada yang menyalahkan Mang Fe’i, “Ceuk saya oge... “
Semuanya ditumpahkan dalam diskusi keluarga hari itu. Tapi dari maghrib sampai menjelang subuh, tak satu pun ide yang bisa disimpulkan. Sampai semua orang terpekur diam mencari ilham.
Akhirnya, salah seorang keluarganya yang sejak awal diam, teriak memecahkan keheningan, “Eureka!” (Baca: Yureka). Seperti teriakan Albert Einstein saat menemukan rumus hukum kekekalan energinya.
“Naon eta teh? (Apa itu?),” kata saudara-saudara yang lainnya berbarengan.
“Yuk urang elingan kabeh (Mari kita ingatkan semua)“.
“Pasrahkeun we ayeuna mah ka Alloh, da eleh meunang mah Alloh nu nangtukeun, urang mah ngan bisa ikhtiar (Pasrahkan saja sekarang sih pada Alloh, karena kalah menang Alloh yang menentukan, kita sih cuma bisa ikhtiar) .
“Ceuk Alloh, bisa jadi aranjeun benci kana hiji perkara, padahal eta teh kacida hadena pikeun aranjeun. Jeung bisa jadi (oge) aranjeun resep kana hiji perkara, padahal eta kacida gorengna pikeun aranjeun. Allah maha uninga, tapi anjeun mah moal terang (Alloh berkata, boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui), ” ujarnya mengutip QS. Al-Baqarah ayat 216.
Mang Fe’i pun manggut-manggut. Entah paham atau capek dan ngantuk. ***