VISI.NEWS | SOLO – Sineas papan atas Indonesia dengan segudang prestasi, Garin Nugroho Riyanto yang biasa dikenal dengan Garin Nugroho, mendapat gelar kehormatan doktor honoris causa (Dr HC) dari Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta bidang seni penciptaan film.
Penganugerahan gelar doktor honoris causa yang pertama di ISI Surakarta kepada pekerja film kelahiran Yogyakarta, 6 Juni 1961, yang menghasilkan banyak karya bermutu tersebut, digelar di depan sidang senat terbuka ISI Surakarta di Pendapa Agung GPH Djojokusumo, kampus Kentingan, Selasa (6/12/2022).
Prof. I Pande Made Sukerta, promotor Garin Nugroho dalam pengantarnya, menyatakan, sebagai pekerja film Garin menghasilkan banyak karya film yang termasuk kategori art.
Selain memproduksi film sebagai sutradara dan penulis skenario, Garin juga banyak menulis buku, artikel tentang film, kritik film dan sebagainya, serta menjadi pembicara dalam seminar maupun pertemuan-pertemuan tentang perfiman baik di dalam dan luar negeri.
“Sebagai sutradara, karya perdana Garin ‘Cinta Dalam Sepotong Roti’ tahun 1991 meraih penonton terbanyak dan mendapat 6 penghargaan. Kemudian film ‘Bulan Tertusuk Ilalang, ‘Puisi Tak Terkuburkan’ dan ‘Daun di Atas Bantal’ juga meraih banyak penghargaan,” ujar Prof. Made Sukerta.
Di dunia seni penciptaan film, kata promotor, Garin Nugroho merupakan pelopor generasi baru perfilman nasional yang karya-karyanya mampu menembus berbagai festival di mancanegara, di antaranya Festival Film Cannes.
Prof. Pande Made Sukerta menyebutkan, visi semua film karya Garin Nugroho bertumpu pada kultur Nusantara. Dalam pembuatannya, semua film karyanya melalui riset mendalam.
“Karya-karya terakhir Garin, seperti ‘Selendang Merah’, ‘Opera Jawa’, ‘Setan Jawa’ yang diputar di 7negara, dan ‘Daun di Atas Bantal’, adalah karyanya yang penting bagi referensi perfilman Indonesia. Karena, Garin melakukan pekerjaan akademis dan pekerjaan kultural secara bersamaan, serta menawarkan sisi kemanusiaan dan kultural di Indonesia,” jelasnya.
Garin yang termasuk pelopor kebangkitan perfilman nasional 80-an dengan 65 penghargaan, dalam orasi ilmiah berjudul “Strategi Budaya Sebagai Oase Masyarakat Sipil yang Demokratis”, melontarkan pertanyaan mendasar kenapa kita tidak menjadikan kebudayaan sebagai
panglima atau sebagai oase masyarakat sipil yang demokratis.
“Merujuk kebudayaan sebagai prioritas berbangsa, dalam sejarah Indonesia mencatat,.seluruh filosofi , aspek juridis hingga sosiologi berbangsa, senantiasa berbasis pada kebudayaan dalam berbagai perspektif, baik mikro ataupun makro. Dalam perspektif mikro, kebudayaan terkait keseluruhan hasil karsa, cipta dan rasa manusia Indonesia. Manifestasi kebudayaan berupa berbagai bentuk dan jenis karya seni beserta aktivitasnya,” kata Garin.
Perspektif kebudayaan dalam arti luas, menurut Garin harus dilihat sebagai cara berpikir, bertindak
dan bereaksi manusia bangsa Indonesia dalam menghadapi
perkembangan dinamis dunia yang terus berubah. Hal itu guna menumbuhkan masyarakat sipil yang demokratis dalam keadaban terus menerus.
“Pada gilirannya, kebudayaan menjadi layaknya oasis, sebuah ekosistem cara berpikir, bertindak dan bereaksi dari individu bangsa dan masyarakatnya. Perspektif kebudayaan dalam arti luas, tidak bisa tumbuh dalam cara kerja dan ukuran hanya satu aspek, seperti politik atau ekonomi saja. Kerja berbangsa harus berbasis kebudayaan sebagai suatu
ekosistem, layaknya sebuah ekosistem taman di sebuah oasis,” tandasnya.
Dalam orasi ilmiah yang diseling pemutaran penggalan-penggalan film karyanya, Garin mengungkapkan, perjalanan karya-karyanya sebagian besar terkait latar belakang era revolusi industri 1.0 – 2,0.
Sebanyak 8 penggalan film, di antaranya “Tjokroaminoto”, “Sugiyo”, “Puisi Tak Terkuburkan”, “Cinta Dalam Sepotong Roti”, “Aku Ingin Menciummu Sekali Saja”, “Opera Jawa”, “Setan Jawa” dan “Kucumbu Tubuh Indahmu.”
Dia menyebutkan film “Tjokroaminoto” terkait dengan sejarah awal “Syarikat Islam” sebagai organisasi politik pertama di masa kolonial. Film “Nyai” dia adaptasi dari novel “Bumi Manusia” awal abad 20 yang fokus pada isu Islam, mistisme dan perubahan dunia dari revolusi 1.0-2.0.
Dalam penganugerahan gelar kehormatan yang semarak dan dihadiri sejumlah artis film tersebut, Dr (HC) Garin Nugroho mendorong agar kebudayaan menjadi daya hidup berkebangsaan. Sehingga, kebudayaan menjadi oase masyarakat sipil yang kritis, produktif dan demokratis. @tok