VISI.NEWS | BANDUNG – Dalam Islam, judi adalah salah satu perbuatan yang dilarang dan haram hukumnya. Penjelasan terkait larangan berjudi berdasarkan firman Allah SWT dalam QS. Al-Maidah [50] ayat 90:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْاَنْصَابُ وَالْاَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطٰنِ فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji (dan) termasuk perbuatan setan. Maka, jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung.”
Abu Al Muzhaffar As-Sam’ani, dalam Tafsir as-Sam’ani, jilid I, [Riyadh, Darul Wathan, 1997], halaman 61 mengatakan bahwa ayat ini turun menceritakan tentang permainan judi yang dilakukan oleh orang-orang Arab pada masa lalu.
Permainan judi tersebut dilakukan dengan menggunakan kambing [hewan ternak]. Orang-orang akan membeli kambing dan menyembelihnya. Kemudian, daging kambing tersebut akan dibagi menjadi 28 bagian.
Bagian-bagian daging kambing yang berjumlah 28 tersebut akan dipertaruhkan. Orang-orang akan bertaruh pada bagian daging kambing mana yang mereka inginkan. Bagian daging kambing yang menang akan menjadi milik orang yang bertaruh pada bagian tersebut.
Permainan judi ini dianggap sebagai perbuatan haram dalam Islam. Hal ini karena permainan judi termasuk dalam kategori gharar, yaitu transaksi yang mengandung unsur ketidakpastian.
Abu Muzhaffar berkata;
قَالَ الْأَصْمَعِي: كَانَ ميسرهم على الْجَزُور، فَكَانُوا يشْتَرونَ جزورا وينحرونه، ويجعلونه على ثَمَانِيَة وَعشْرين سَهْما،
Artinya: “Asma’i berkata: Perjudian mereka adalah dengan seekor hewan ternak, mereka membeli hewan ternak dan menyembelihnya, dan mereka menjadikannya sebagai 28 bagian.”
Kemudian terkait pertanyaan saudara, bagaimana hukum seorang istri, anak, dan keluarga yang memakan makanan hasil judi dari ayahnya, maka akan kami coba jawab satu persatu.
KH M. Sjafi’i Hadzami, dalam buku 100 Masalah Agama, jilid 3, halaman 286 mengatakan bahwa seseorang yang sudah dewasa, termasuk anak dan istri, yang mengetahui bahwa sesuatu yang dimakannya itu adalah sesuatu yang diharamkan oleh Allah dan Rasulullah, maka wajib ditinggalkan. Artinya jangan dimakan. Pasalnya, jika sesuatu yang haram dan diketahui bahwa itu berasal dari yang haram, maka kelak di akhirat akan dituntut.
Sebagamaina dijelaskan oleh Syekh Zainuddin al-Malibary dalam kitab Fathu al-Mu’in, halaman 67 bahwa jika seseorang mengetahui barang tersebut secara lahiriah tidak baik [haram], maka orang tersebut akan dituntut di akhirat.
فائدة لو أخذ من غيره بطريق جائز ما ظن حله وهو حرام باطنا فإن كان ظاهر المأخوذ منه الخير لم يطالب في الآخرة وإلا طولب قاله البغوي.
Artinya: “Faidah: Jika seseorang mengambil sesuatu dari orang lain dengan cara yang sah, tetapi ia mengiranya halal, padahal sebenarnya haram secara bathin, maka jika orang yang memberinya itu tampak baik, maka ia tidak akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat. Namun jika tidak [zahir barang tersebut tidak baik, maka ia akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat. Hal ini dikatakan oleh Imam Al-Baghawi.”
Hal serupa juga ditegaskan oleh Imam Nawawi dalam kitab Raudhatut Thalibin, jilid 7 halaman 337 bahwa jika seorang diundang makan, dan ia mengetahui bahwa makanan yang dihidangkan dalam undangan tersebut haram, maka haram baginya untuk memenuhi undangan tersebut.
Hal ini karena memakan makanan haram adalah dosa.
دعاه مَن أكثر ماله حرام، كرهت إجابته كما تكره معاملته. فإن علم أن عين الطعام حرام، حرمت إجابته
Artinya: “Seorang muslim yang diundang oleh seseorang yang sebagian besar hartanya haram, maka ia makruh untuk memenuhi undangan tersebut, sebagaimana ia makruh untuk melakukan transaksi dengannya. Jika ia mengetahui bahwa makanan yang dihidangkan haram, maka haram baginya untuk memenuhi undangan tersebuttersebut”.
Dalam kasus saudara penanya, jika saudara sudah dewasa dan ibu saudara sudah mengetahui bahwa makanan yang dimakan merupakan hasil dari judi slot, yang dilarang oleh agama dan negara, maka seyogianya saudara tidak memakannya.
Terkecuali dalam kondisi darurat, misalnya kalau tidak memakan makanan tersebut akan menimbulkan celaka dan kerusakan, maka dibolehkan memakannya dengan sekadar untuk bertahan hidup.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Maidah [5] ayat 3;
فَمَنِ اضْطُرَّ فِيْ مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِّاِثْمٍۙ فَاِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
Artinya: “Maka, siapa yang terpaksa karena lapar, bukan karena ingin berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Selanjutnya, KH M. Sjafi’i Hadzami mengatakan bahwa jika seseorang kanak-kanak yang belum dewasa, yang belum mampu untuk mencari nafkah buat dirinya, dalam artian hidupnya tergantung dari nafkah bapak dan ibunya, maka dalam keadaan yang demikian anak-anak tersebut dibebaskan dari dosa dan diperbolehkan karena belum dibebani taklif syar’i.
Terkait dengan ayah saudara, seyogianya senantiasa diingatkan bahwa hukum menafkahi keluarga dari harta yang haram adalah haram. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah [2] ayat 188 yang berbunyi:
وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَآ اِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ اَمْوَالِ النَّاسِ بِالْاِثْمِ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
Artinya: “Janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.”
Dengan demikian menafkahi keluarga dari harta yang haram akan menimbulkan dampak negatif, baik bagi pemberi maupun penerima nafkah.
Bagi pemberi nafkah, ia akan mendapatkan dosa dan mendapat murka dari Allah SWT. Bagi penerima nafkah, ia akan mendapatkan harta yang haram dan akan terbiasa dengan hal-hal yang haram. Sebagaimana dikatakan oleh Imam Ghazali dalam kitab Bidayatul al Hidayah, [Kairo; Maktabah Madbuly, 1993], halaman 56;
وأما البطن: فاحفظه من تناول الحرام والشبهة، واحرص على طلب الحلال، فإذا وجدته فاحرص على أن تقتصر منه على ما دون الشبع، فإن الشبع يقسي القلب، ويفسد الذهن، ويبطل الحفظ، ويثقل الأعضاء عن العبادة والعلم، ويقوي الشهوات، وينصر جنود الشيطان. والشبع من الحلال مبدأ كل شر، فكيف من الحرام وطلب الحلال فريضة على كل مسلم، والعبادة مع أكل الحرام كالبناء على السرجين.
Artinya: “Adapun perut, maka jagalah dari memakan yang haram dan syubhat, dan bersungguh-sungguhlah untuk mencari yang halal. Jika engkau menemukannya, maka bersungguh-sungguhlah untuk membatasi diri darinya hanya sampai batas kenyang. Karena kenyang akan mengeraskan hati, merusak pikiran, membatalkan hafalan, memberatkan anggota badan untuk beribadah dan belajar, memperkuat nafsu, dan menolong pasukan setan.”
Kenyang dari yang halal adalah awal dari segala keburukan, maka bagaimana dengan yang haram? Mencari yang halal adalah kewajiban bagi setiap Muslim, dan beribadah dengan memakan yang haram seperti membangun di atas pasir.
Kesimpulannya, jika istri dan anak mengetahui bahwa penghasilan suami dan ayahnya dari uang haram, maka mereka wajib untuk menolaknya. Tidak boleh memakan atau menggunakan uang haram tersebut. Terkecuali dalam kondisi yang darurat.
@uli/nu.or.id