VISI.NEWS | BANDUNG – Dalam sejarah perpolitikan Indonesia, kepemimpinan perempuan di bidang politik mendapat perhatian para ahli hukum Islam. Secara lebih khusus bahtsul masail NU berulang kali membahas kepemimpinan perempuan di bidang politik, yaitu tentang hukum perempuan menjadi anggota DPR/DPRD, hukum perempuan menjadi kepala desa, dan kedudukan perempuan dalam Islam. Hukum Perempuan Menjadi Anggota DPR/DPRD
Dalam Konferensi Besar Nahdlatul Ulama 1947 M, para ahli hukum Islam di lingkungan Nahdlatul Ulama mendapatkan pertanyaan berkaitan hukum perempuan menjadi anggota DPR/DPRD, apakah boleh atau tidak? Merespon pertanyaan ini, pada waktu itu ulama ahli hukum Islam membolehkannya dengan beberapa syarat, yaitu ‘afifah (menjaga kehormatan diri), ahli dalam bidang terkait, menutup aurat, mendapatkan izin dari yang berhak memberi izin, aman dari fitnah, dan tidak menjadi sebab timbulnya kemungkaran.
Ulama pada waktu itu memandang bahwa DPR/DPRD adalah badan permusyawaratan untuk menentukan hukum, bukan untuk memutuskan hukum secara langsung.
Karenanya, perempuan masih mendapatkan ruang untuk memainkan perannya. Hal ini sebagaimana hakim disunnahkan bermusyawarah dengan ahli hukum lain ketika terjadi perbedaan pandangan dan pertentangan dalil atas suatu hukum.
Dalam konteks ini, maksud ‘ahli hukum’ menurut segolongan ulama mazhab Syafi’iyah adalah orang-orang yang fatwanya dapat diterima, sehingga memasukkan orang buta, budak (dalam konteks masih berlakunya perbudakan), dan perempuan.
(وَيُنْدَبُ) عِنْدَ اخْتِلاَفِ وُجُوْهِ النَّظَرِ وَتَعَارُضِ اْلأَدِلَّةِ فِيْ الحُكْمِ (أَنْ يُشَاوِرَ الْفُقَهَاءَ) لِقَوْلِهِ تَعَالَى وَشَاوِرْهُمْ فِي اْلأَمْرِ. قَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ. كَانَ النَّبِيُّ r مُسْتَغْنِيًا عَنْهَا وَلَكِنْ أَرَادَ أَنْ تَصِيْرَ سُنَّةً لِلْحُكَّامِ إِلَى أَنْ قَالَ الْمُرَادُ بِالْفُقَهَاءِ كَمَا قَالَهُ جَمْعٌ مِنَ اْلأَصْحَابِ الَّذِيْنَ يُقْبَلُ قَوْلُهُمْ فِي اْلإِفْتَاءِ فَيَدْخُلُ اْلأَعْمَى وَالْعَبْدُ وَالْمَرْأَةَ
Artinya, “Dan ketika terjadi perbedaan pandangan dan kontradiksi dalil dalam suatu hukum maka hakim disunahkan bermusyawarah dengan para ahli hukum, sesuai firman Allah ta’la: “Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu” (QS Ali Imran: 159). Al-Hasan Al-Bashri berkata: “Nabi saw tidak perlu musyawarah, namun beliau ingin menjadikannya sebagai tradisi bagi para juru hukum … Yang dimaksud dengan ahli hukum adalah mereka yang diterima fatwanya, maka termasuk orang buta, budak dan wanita. (Muhammad Al-Khathib As-Syirbini, Mughni Al-Muhtaj, (Mesir: Dar al-Kutub al-Arabiyah, 1329 H), juz IV, halaman 371; dan Tim LTN PBNU, Ahkamul Fuqaha, [Surabaya, Khalista: 2019], halaman 296).
Dari jawaban dan agrumentasi seperti itu, dapat dipahami bahwa kebolehan perempuan menjadi pemimpin politik kala itu adalah sebagai pihak mitra pengambil keputusan, bukan sebagai pengambil keputusan itu sendiri.
Hukum Perempuan Menjadi Kepala Desa Ruang lingkup peran politik perempuan pada waktu berikutnya masih sangat sempit. Meski terdapat sedikit kelonggaran, perempuan dalam perspektif hukum fiqih boleh menjadi Kepala Desa sebagai pengambil kebijakan di tingkat bawah, itupun hanya dalam kondisi darurat. Demikian rumusan hukum yang diputuskan dalam Rapat Dewan Partai Nahdlatul Ulama pada 25 Oktober 1961. (Tim LTN PBNU, 338).
Argumentasinya masih sama, yaitu Kepala Desa merupakan pengambil kebijakan yang masih diidentikkan dengan hakim dalam memutuskan hukum.
Meski demikian, rumusan hukum ini sangat menarik karena menampilkan pendapat Ibnu Jarir At-Thabari yang menyatakan bahwa perempuan boleh menjadi hakim yang memutuskan seluruh masalah, baik berkaitan dengan persoalan harta maupun lainnya.
قَالَ الطَّبَرِي يَجُوْزُ اَنْ تَكُوْنَ حَاكِمًا عَلَى اْلإِطْلاَقِ فِيْ كُلِّ شَيْءٍ
Artinya, “Imam At-Thabari berpendapat, perempuan boleh menjadi hakim secara mutlak dalam hal apapun.” (Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujathid wa Nihayatul Muqtashid, (Beirut, Darul Kitab Al-Arabi: 2006), juz II, halaman 707).
Kedudukan Perempuan dalam Islam
Rumusan hukum yang lebih luas membuka kesempatan bagi perempuan untuk berkiprah di bidang politik muncul dalam Keputusan Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama tentang Masail Al-Diniyyah Al-Maudhu’iyyah pada 17-20 Nopember 1997 di Nusa Tenggara Barat.
Dalam rumusan tersebut dikatakan: “Dalam konteks peran-peran publik menurut prinsip-prinsip Islam, wanita diperbolehkan melakukan peran-peran tersebut dengan konsekuensi bahwa ia dapat dipandang mampu dan memiliki kapasitas untuk menduduki peran sosial dan politik tersebut.
Dengan kata lain bahwa kedudukan perempuan dalam proses sistem negara-bangsa telah terbuka lebar, terutama perannya dalam masyarakat majemuk ini, dengan tetap mengingat bahwa kualitas, kapasitas, kapabilitas dan akseptabilitas bagaimanapun, harus menjadi ukuran, sekaligus tanpa melupakan fungsi kodrati wanita sebagai sebuah keniscayaan.
Partisipasi perempuan dalam sektor non kodrati merupakan wujud tanggung jawab NU dalam ikut memprakarsai transformasi kultur, kesetaraan yang pada gilirannya mampu menjadi dinamisator pembangunan nasional dalam era globalisasi dengan memberdayakan perempuan Indonesia pada proporsi yang sebenarnya.
Rumusan hukum demikian berangkat dari argumentasi pokok bahwa perempuan sama sederajat dengan laki-laki. Karenanya asalkan kualitas, kapasitas, kapabilitas dan akseptabilitas terpenuhi maka perempuan boleh aktif dalam dunia politik dalam segala posisi. Hal ini sesuai dengan dalil-dalil pokok hukum agama, Al-Qur’an dan Al-Hadits, yang memberikan kesetaraan kedudukan perempuan dengan laki-laki. Di antaranya sebagai berikut:
وَمَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ يُرْزَقُونَ فِيهَا بِغَيْرِ حِسَابٍ
Artinya, “Dan barangsiapa mengerjakan amal yang saleh baik laki-laki maupun perempuan sedang ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rezeki di dalamnya tanpa hisab.” (QS Al-Mukmin: 40).
إنَّ النِّساءَ شَقَائِقُ الرِّجَالِ (رَوَاهُ أَحْمَدُ وَأَبُو دَاوُدَ وَالتِّرْمِذِيُّ)
Artinya, “Sesungguhnya perempuan itu laksana saudara kandung laki-laki.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan At-Tirmidzi).
النَّاسُ سَوَاسِيَةٌ كَأَسْنَانِ الْمُشْطِ (رَوَاهُ أَحْمَدُ وَأَبُو الزُّبَيْرِ)
Artinya, “Manusia itu sama dan setara laksana gigi sisir.” (HR. Ahmad dan Abul Zubair). Ayat dan hadits di atas adalah sebuah realita pengakuan Islam terhadap hak-hak wanita secara umum dan anugerah kemuliaan dari Allah swt.
Dari sinilah kemudian muncul rumusan hukum yang membolehkan perempuan untuk berkiprah secara luas di bidang politik, baik menjadi anggota DPR/DPRD, Presiden, dan lain sebagainya. Rumusan ini identik dengan pendapat Ibnu Jarir At-Thabari yang menyatakan bahwa perempuan boleh menjadi hakim yang memutuskan seluruh masalah. Wallahu a’lam.
@nia/nu.or.id