Oleh Aa Nurjaman
PAMERAN Tunggal Lukisan Cat Air Nanang Widjaya pada tanggal 26 Januari – 26 Februari 2025 di Bellevue Art Space, Cinere, Depok diselenggarakan dalam rangka menyambut “Perayaan Tahun Bahun Baru Imlek”. Perayaan ‘Imlek’ merupakan ungkapan rasa syukur karena kita sudah menjalani satu tahap perubahan kehidupan untuk menuju babak baru yang inovatif. Dalam menjalani perubahan berikutnya, kita mestinya bertekad untuk tidak tergantung lagi kepada sistem lama yang menjadi arus utama, karena perubahan yang akan kita jalani ke depan lebih bersifat menyeluruh sesuai dengan arus kehidupan global.
Karya-karya lukisan Nanang Widjaya dalam pameran ini bisa dianggap ‘metafora perubahan’ kehidupan kita sebagai ‘Back to Basic Characters’. Karakter kita yang diawali oleh budaya agraris di masa lalu, yang kemudian berangsur-angsur menjadi ‘budaya industri’ di masa kini. Perubahan dari ‘desa’ menjadi ‘kota’ disadari oleh Nanang Widjaya, bahwa perubahan yang akan datang tidak selalu berpijak kepada suatu sistem, tetapi mesti membangun sistem-sistem baru sesuai dengan keperluan zamannya.






Oleh karenanya Nanang Widjaya menggali kembali karakter dasar karyanya supaya mampu membangun karakter personalnya ketika menyusuri perkembangan seni rupa kontemporer dewasa ini.
Karya-karya lukisan Nanang Widjaya mengingatkan kita kepada para pelukis Eropa yang datang ke pulau Jawa pada abad ke-16 untuk melukiskan alam Nusantara melalui teknik ‘on the spot’. Proses melukis ‘on the spot’ merupakan dasar dari teknik melukis yang kemudian menjadi dasar pembelajaran ‘teknik melukis akademik’ di perguruan-perguruan tinggi seni di seluruh dunia.
Pada awal perjalanan kepelukisannya, Nanang Widjaya menjalani proses melukis di studio. Lama-kelamaan proses yang ia jalani terasa membosankan karena tidak merasakan getaran ruh dari karya-karyanya. Ia hanya mendapatkan ketrampilan melukis realistik, dengan kemahiran menyusun komposisi, sementara dinamika realitas objek yang bergerak setiap saat tidak nampak sebagaimana adanya.
Karena pertimbangan itu, sekitar 10 tahun lalu ia memulai melukis ‘on the spot’ dengan menggunakan media cat air di atas kanvas, suatu media dasar dalam proses pembelajaran seni rupa akademik. Kekuatan teknik melukis ‘on the spot’ menekankan kekuatan sketsa yang dikenal dengan sebutan ‘satu tarikan garis’ dan ‘satu polesan warna-warna’, seperti dapat kita lihat antara lain lukisan yang berjudul “Klenteng Tong Pek Biok Pecinan Semarang” (2024) yang mengungkapkan perayaan tahun baru Imlek, lukisan “Kalasan Temple” (2024), “Borobudur Temple (2024) dan “Prambanan Temple (2024) yang memperlihatkan keluhuran budaya kita di masa lalu, lukisan “Pasar Pecinan” (2024) yang memperlihatkan hiruk-pikuk masyarakat kota, lukisan “Kampung Nelayan (2024) yang menggambarkan perjuangan masyarakat kota pantai, lukisan “Barong Bali” (2024) yang memperlihatkan warisan budaya yang masih eksis hingga kini, dan “The Warrior” (2023) yang mengungkapkan jiwa kita untuk selalu siap berperang.
Karya-karya Nanang Widjaya memperlihatkan kekuatan karakter garis-garis dan sapuan warna yang khas dalam proses melukis cepat.
Polemik Lukisan On The Spot
Proses melukis dengan teknik ‘on the spot’ seperti yang dijalani Nanang Widjaya, pada akhir abad ke-16 merupakan kegiatan para pelukis Eropa di pulau Jawa yang kemudian menjadi tradisi yang menular kepada para pelukis pribumi, yang tidak bisa dipungkiri menjadi ‘titik awal’ terbentuknya ‘seni rupa Indonesia modern’. Karya-karya lukisan pemandangan alam kemudian populer hingga mampu mengundang para pelancong Eropa untuk berkunjung ke pulau Jawa. Kepopuleran lukisan-lukisan pemandangan alam, pada abad ke 20 mendapat penentangan dari S. Sudjojono, salah satu tokoh pendiri ‘Persagi’ (Persatuan Ahli Gambar Indonesia).
Karya-karya lukisan ‘pemandangan alam Nusantara’, dalam pandangan Sudjojono, hanya sebagai karya-karya ‘Mooi Indie’ yaitu barang souvenir yang molek, yang tidak mengungkapkan realitas rakyat Hindia yang mengenaskan di bawah penjajahan Belanda.
Para penulis seni rupa Indonesia pada dekade berikutnya seperti Kusnadi, Trisno Sumardjo, Oesman Efendi, Dan Suwaryono berpendapat bahwa ‘sejarah seni rupa Indonesia modern’ dimulai pada era ‘Persagi’. Titik awal perjalanan sejarah seni lukis modern Indonesia dimulai oleh ‘ideologi nasionalisme’ yang digaungkan Sudjojono melalui ungkapan ‘seni sebagai jiwa ketok’ ketika menjawab tulisan Henry van Velthuijzen yang mengkritisi pameran kelompok ‘Persagi’ di toko buku Kunstzaal Kolff pada 1939. Berdasarkan ‘ideologi nasionalisme’ itu para penulis seni rupa merasa tidak perlu mendata para pelukis masa kolonial yang menjadi titik awal masuknya seni lukis Barat modern ke Indonesia. Para pelukis Eropa itu akhirnya banyak yang hilang dari pendataan para penulis sejarah seni rupa Indonesia.
Para penulis yang sezaman dengan Sudjojono mengetahui bahwa karya-karya lukisan ‘Mooi Indie’ yang erat korelasinya dengan hasrat para pelancong Eropa bisa memakmurkan senimannya. Lukisan-lukisan ‘Mooi Indie’ dianggap tanda mata khas Indonesia. Sejalan dengan kegiatan melukis pemandangan, para pelukis ‘Mooi Indie’ juga mengerjakan order lukisan yang bertolak pada kompromi objek, lukisan portrait dan lain sebagainya. Hegemoni gaya lukisan ‘Moi Indie’ membangkitkan idealisme Sudjojono dan kawan-kawan untuk melawan, antara lain dengan mendirikan Persagi pada 1938. Sikap dan eksistensi Sudjojono bersama para pelukis ‘Persagi’ menumbuhkan pengaruh yang mendalam terhadap para pelukis era pasca kemerdekaan Republik Indonesia.
Kendati demikian, Sudjojono harus mengakui bahwa perlawanannya kepada seni lukis ‘Moi Indie’ tidak sepenuhnya berhasil. Jenis karya-karya lukisan itu terus berjaya sampai masa pendudukan tentara Jepang di Indonesia tahun 1942-1945. Bahkan dalam ‘Keimin Bunka Sidhoso’ (Pusat Kebudayaan Jepang di Indonesia) di samping Sudjojono, mengajar pula Basuki Abdullah sebagai tokoh ‘Mooi Indie’ terkemuka.
Ketika Jepang Hengkang tahun 1945, pelukis-pelukis nasionalis Indonesia, termasuk Sudjojono, serta-merta mendirikan sanggar, antara lain: ‘PTPI’, ‘SIM’, ‘Prabangkara’, ‘Pelukis Rakyat’, ‘Seniman’, ‘Bumi Tarung’ dan lain sebagainya. Untuk apa sanggar-sanggar itu? Hendra Gunawan, pendiri sanggar ‘Pelukis Rakyat’ menyatakan, “… selain untuk mengkoordinasi potensi para pelukis, mereka juga berbondong-bondong melukis karya-karya ‘Mooi Indie’ untuk menyejahterakan perut para seniman, yang sudah kelaparan sejak sebelum kemerdekaan.”
Ihwal Istilah Mooi Indie
Istilah ‘Mooi Indie’ yang terdapat dalam beberapa tulisan Sudjojono digunakan untuk menyebut karya-karya para pelukis Eropa era kolonialisme dan juga karya-karya para pelukis ‘Pribumi’ yang melukis pemandangan alam, seperti Raden Mas Pirngadi, Wakidi, Abdullah Suriosubroto dan Basuki Abdullah. Karya-karya para pelukis itu hanya digunakan untuk menarik lebih banyak orang-orang Eropa supaya datang ke Indonesia yang akan mengeruk kekayaan alam Indonesia sebagai negara jajahan Belanda. Peristiwa terbentuknya istilah ‘Mooi Indie’ inilah yang kiranya perlu diluruskan.
Istilah ‘Mooi Indie’ (bahasa Belanda) berasal dari suatu judul reproduksi karya-karya Du Chattel di Amsterdam yang diterbitkan sebagai ‘portofolio’ pada tahun 1930, tetapi kemudian istilah itu dimanfaatkan Soedjojono untuk mendiskreditkan karya-karya lukisan pemandangan alam yang dianggap tidak menyuarakan keadaan masyarakat Hindia (Indonesia) yang sedang diperas oleh bangsa Belanda. Soedjojono melalui istilah ‘Mooi Indie’ bisa disimpulkan sebagai penyingkiran lukisan-lukisan ‘pemandangan alam Hindia’ dari proses pembentukan seni rupa Indonesia modern.
Kendati pada akhirnya, para pelukis ‘Mooi Indie’ seperti Jan Frank, F. J. du Chattel, Isaac Israels, Romualdo Locatelli, Henry van Velthuijzen, Ernest Dezentje, Antonio Blanco, Walter Spies, Antonio Payen, Raden Saleh, Abdullah Suryosubroto, Wakidi, Mas Pirngadi dan Basuki Abdullah akhir-akhir ini diakui sebagai para maestro seni lukis Indonesia, sebagaimana Sudjojono, Affandi dan Hendra Gunawan.
Istilah ‘Mooi Indie’ sebagai ‘wacana pasar’ pernah bergulir pada konsorsium seni di TIM pada tahun 1988. Pada diskusi itu, Agus Darmawan Tantono melontarkan ‘wacana ekonomisasi seni rupa’ sebagai ‘paradigma utama’ seni rupa Indonesia dimasa depan yang dimulai oleh pasar lukisan ‘maestro’. Tetapi wacana ini ditolak oleh sejumlah pemikir seni, yang menginginkan seni rupa Indonesia kelihatan ‘suci’ beridealisme tinggi. Para pemikir seni mengatakan ‘ekonomisasi seni rupa’ tak lebih dari halusinasi para pedagang lukisan dari ‘Pasar Glodok’.
Ihwal ‘ekonomisasi’ sebagai paradigma seni rupa modern-kontemporer, terus berkelanjutan ketika para seniman akademik berlahiran. Pada awal tahun 2000, ketika bom seni lukis kontemporer Cina dan Jepang mengoyak Seni Rupa Asia Tenggara, menumbuhkan kekhawatiran sejumlah pemikir seni di Indonesia. Dan karena para pelukis Cina dan Jepang didukung oleh insfrastruktur yang sangat tertata, mereka hanya memerlukan waktu 5 tahun untuk melumatkan karakter seni lukis Indonesia kontemporer. Dari peristiwa itu, disadari atau tidak, paradigma seni rupa Indonesia adalah ‘ekonomisasi’, yang berhasil menyeret para pengamat, kritikus, dan kurator untuk terlibat erat dengan para promotor yang “menggoreng” sejumlah pelukis, menyusun berbagai tema pameran, mendisplay, menuliskan kompromi kuratorial, menawarkan dan menjual di berbagai event ‘Art Fair’ dan ‘Balai Lelang’ seni rupa.
Penggalian Karakter
Nanang Widjaja mencermati bahwa ‘ekonomisasi seni rupa’ yang dulu dianggap tabu oleh sejumlah pemikir seni, kini dijalaninya dengan menggali karakter dasar supaya karya-karyanya memiliki karakter personal. Seniman yang unggul adalah seniman yang siap berperang. Maka semenjak sepuluh tahun lalu, Nanang Widjaya, menekuni proses melukis ‘on the spot’ di alam perkotaan yang kompleks melalui teknik cat air di atas kanvas sebagai dasar perwujudan karakternya.
Nanang Widjaya akhirnya berhasil mempopulerkan kembali karya-karya lukisan cat air yang selama ini dianggap karya lukisan kelas dua. Aktivitas Nanang Widjaya menularkan inspirasi kepada para pelukis cat air antara lain dengan berdirinya ‘Kolcai’ (Kelompok Pelukis Cat Air Indonesia) yang mampu beraktivitas hingga ke mancanegara. Kini, karya-karya lukisan cat air akhirnya mampu berkiprah dalam konstelasi seni lukis Indonesia kontemporer.
Demikianlah pameran karya-karya lukisan Nanang Widjaya di Bellevue Art Space terselenggara dalam rangka turut menyemarakan ‘Imlek’ tahun ini. Selamat berpameran.
Jogjakarta, 15 Januari 2025