VISI.NEWS – Agresifitas pengabdian Prawita Genppari dalam memajukan pariwisata Indonesia sudah tidak diragukan lagi. Dedikasi dan loyalitasnya selama ini diberikan sebagai wujud nyata sebuah kecintaan dan pengabdian pada bangsa dan negara melalui jalur kepariwisataan.
“Komitmen ini bukan sekedar ‘komat kamit’ saja, tetapi secara riil sungguh – sungguh terus dilakukan, dan diantaranya turut membidani kelahiran desa – desa wisata di tanah air tercinta ini. Tidak sekedar membantu kelahiran, tapi juga turut membesarkan dan mendampingi dengan penuh kasih sayang tumbuh kembangnya sehingga benar – benar bisa menjadi desa mandiri dan masyarakatnya sejahtera “, ujar Ketua Umum (Ketum) Pecinta Ragam Wisata Nusantara Gerakan Nasional Pecinta Pariwisata Indonesia (Prawita Genppari) Dede Farhan Aulawi kepada VISI.NEWS, disela-sela kesibukannya di Jakarta, Senin (24/8).
Hal tersebut dia sampaikan karena sebelumnya telah mengunjungi beberapa desa untuk mewujudkan dan mengembangkan desa wisata seperti di Cihanjuang- Pageur ageung, Legok Awi- Sodong hilir, dan Bojong kapol – Bojong Gambir. Semua berada di wilayah Kabupaten Tasikmalaya suatu kawasan dengan sejuta wisata. “Kalau berwisata seminggu di Tasik, tentu tidak cukup untuk meng-eksplor semua potensi wisatanya. Kabupaten Tasikmalaya bisa menjadi magnet dan pusat gravitasi pariwisata,” ujar Dede.
Dede juga memberi penjelasan dengan merujuk pada UU No. 32 Tahun 2004 tantang Pemerintah Daerah dan UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Perencanaan daerah itu sebaiknya di tempuh secara partisipatif dan berasal dari bawah (bottom up planning) yaitu bermula dari desa. Perencanaan pembangunan saat ini terlihat lebih desentralistik dan partisipatif, yang memungkinkan pemerintah daerah menghasilkan perencanaan daerah yang sesuai dengan konteks lokal serta proses perencanaan pembangunan daerah partisipatif dan berangkat dari desa.
Aksesibilitas
Untuk menjadi sebuah desa wisata, kata Dede, kriterianya harus memiliki aksesbilitas yang baik, memiliki obyek-obyek alam, seni budaya, legenda, makanan lokal, dan sebagainya. Juga dukungan yang tinggi dari masyarakat dan aparat desa terhadap desa wisata. Keamanan desa yang baik. Akomodasi, telekomunikasi, dan tenaga kerja yang memadai. Iklim yang sejuk, dan berhubungan dengan obyek wisata yang lain.
Dari sekian banyak kriteria atau persyaratan yang harus dipenuhi dalam mewujudkan desa wisata, katanya, pemenuhan “aksesibilitas” biasanya dianggap cukup dominan. Meskipun pengertian aksesibilitas ini bisa diperdebatkan, namun faktanya banyak yang bersandar pada kekurangan infrastruktur seperti jalan, jembatan, dermaga atau bandara. “Padahal dalam prakteknya wisatawan datang dari suatu tempat ke tempat lain itu substansinya adalah mencari sesuatu yang tidak ada di tempat asalnya. Jadi infra struktur jangan selalu didefinisikan dengan jalan tol, jembatan yang refresentatif dan sebagainya,” tandas Dede.
Dede juga menjelaskan bahwa teori pelaksanaan perencanaan pembangunan desa wisata melalui pendekatan bottom up planning di Desa, dimulai dari bawah dalam rapat koordinasi pembangunan daerah yang akan diusulkan pada tingkat yang lebih tinggi dimulai dari Musrenbang Desa, Musrenbang Kecamatan, Rakorbang Kota dan Rakorbang Provinsi.
Pelaksanaan perencanaan pembangunan desa wisata, kata Dede, biasanya terdiri dari enam tahap sesuai dengan teori Blakely, yaitu pertama, pengumpulan dan analisis data. Kedua, pemilihan strategi pembangunan, seperti menentukan tujuan dari pembangunan desa wisata, menyusun strategi dan target pembangunan desa wisata. Ketiga, pemilihan proyek-proyek pembangunan. Keempat, pembuatan rencana tindakan. Tahap ini terdiri dari menentukan dan mengembangkan input yang menjadi masukan untuk proses pembangunan desa wisata, seperti alternatif sumber pembiayaan dan mengidentifikasi struktur pembangunan desa wisata dengan membuat rincian paket kegiatan wisata dan rincian harga setiap paket wisata. Kelima, Penentuan rincian proyek. Pada tahap ini perencana telah membuat rencana bisnis dan pengembangan desa wisata yang dikelola dengan sistem satu pintu. Keenam, persiapan rencana secara keseluruhan. Pada tahap ini perencana telah menyiapkan jadwal implementasi desa wisata mulai dari soft opening sampai grand opening. Kemudian perencana telah menyusun perencanaan secara keseluruhan melalui DED (Detail Engineering Design).
Bagi daerah-daerah yang kebetulan memiliki keragaman sumber daya alamnya, kata Dede, tentu menjadi keuntungan sendiri, selama kreatif dalam memoles setiap potensinya. Apalagi di lingkungannya mampu menjaga kearifan lokal, seni dan budaya daerah, serta ciri – siri khusan yang menjadi ke-khas-an daerah tersebut tentu akan menjadi unggulan. Pelestarian lingkungan, pelestarian budaya dan pemberdayaan masyarakat akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari rencana pembangunan.
Partisipasi Masyarakat
“Sementara terkait dengan tingkat partisipasi masyarakat, cara yang paling mudah adalah dengan pengukuran 7 variabel pokok yang disebut dengan Sapta Pesona, yaitu Keamanan, Ketertiban, Kebersihan, Kesejukan, Keindahan, Keramah-tamahan, dan Kenangan. Dari 7 variabel di atas, pada umumnya masalah – masalah yang terkait dengan ketertiban masyarakat dan kebersihan lingkungan selalu menjadi PR dan pekerjaan besar aparatur pemerintahan setempat. Setelah itu soal keindahan dan keramah-tamahan, karena kadangkala suka ada tangan – tangan usil yang mengganggu keindahan atau kebersihan. Begitupun dengan keramah-tamahan kolektif masyarakatnya, artinya yang ramah itu bukan hanya tour guide atau penjual warung makanan saja, tetapi juga seluruh masyarakat yang berada di seitarnya agar para turis merasa aman dan nyaman berkunjung ke objek wisata tersebut “, pungkas Dede menutup percakapan.@mpa