VISI.NEWS | BANDUNG – Ulama ahli tafsir Al-Qur’an terkemuka Prof Muhammad Quraish Shihab diminta menjelaskan tentang Israil dan Yahudi. Ia mengatakan, secara umum ada tiga kata, paling tidak, yang digunakan al-Qur’an yang menunjuk kepada keturunan Nabi Ya’qub as.
Hal itu ia uraikan dalam sebuah kajian di kanal Youtube Bayt Al-Qur’an,
Bani Israil
Kata Bani Israil diulang sekitar empat puluh dua (42) kali dalam Al-Qur’an. Ada juga kata Israil yang diulang tiga (3) kali. Kedua, kata Yahûd, yang merupakan keturunan Nabi Ya’qub. Ketiga, kata Ahlul Kitab. “Tetapi tiga ini berbeda-beda,” ungkap Prof Quraish.
Kata Bani Israil, pada dasarnya digunakan oleh al-Qur’an untuk menunjuk keturunan Nabi Ya’qub as sebelum masa Nabi Muhammad saw, tidak menunjuk keturunan Nabi Ya’qub yang ada pada masa Nabi Muhammad saw. Itu satu perbedaanya.
Sementara kata Yahûd, yang pertama, menunjuk kepada keturunan Yahûda. Sebagaimana diketahui, Nabi Ya’qub mempunyai 12 orang anak, salah satunya bernama Yahûda. Kedua belas anaknya ini saling bertengkar, seperti dalam cerita Nabi Yusuf dalam Al-Qur’an. Keturunan dari Yahûda itulah yang dibicarakan oleh al-Qur’an, dan yang disebut Yahûd.
Kata Yahûd ini kalau digunakan oleh al-Qur’an, maka bukan lagi menunjuk kepada mereka yang hidup sebelum masa Nabi Muhammad saw yang ada Bani Israilnya itu, tetapi menunjuk pada umumnya mereka yang hidup pada masa Nabi Muhammad SAW. Prof Quraish menyebut Al-Qur’an surat al-Maidah ayat 82 sebagai contohnya berikut.
۞ لَتَجِدَنَّ اَشَدَّ النَّاسِ عَدَاوَةً لِّلَّذِيْنَ اٰمَنُوا الْيَهُوْدَ وَالَّذِيْنَ اَشْرَكُوْاۚ وَلَتَجِدَنَّ اَقْرَبَهُمْ مَّوَدَّةً لِّلَّذِيْنَ اٰمَنُوا الَّذِيْنَ قَالُوْٓا اِنَّا نَصٰرٰىۗ ذٰلِكَ بِاَنَّ مِنْهُمْ قِسِّيْسِيْنَ وَرُهْبَانًا وَّاَنَّهُمْ لَا يَسْتَكْبِرُوْنَ
Artinya, “Pasti akan engkau dapati orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. Pasti akan engkau dapati pula orang yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang yang berkata, ‘Sesungguhnya kami adalah orang Nasrani’. Hal itu karena di antara mereka terdapat para pendeta dan rahib, juga karena mereka tidak menyombongkan diri.”
Adapun Bani Israil yang berbicara tentang keturunan Nabi Ya’qub itu, ada yang baik ada yang buruk. Namun, jika kata yang digunakan adalah Yahud, pasti menunjukkan celaan. Hal ini sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an surat al-Maidah ayat 64 berikut. seperti ayat: wa qâlatil-yahûdu yadullâhi maghlûlah, ghullat aidîhim wa lu‘inû bimâ qâlû,…(QS. Al-Maidah: 64).
وَقَالَتِ الْيَهُوْدُ يَدُ اللّٰهِ مَغْلُوْلَةٌۗ غُلَّتْ اَيْدِيْهِمْ وَلُعِنُوْا بِمَا قَالُوْاۘ
Artinya, “Orang-orang Yahudi berkata, “Tangan Allah terbelenggu (kikir).” Sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu. Mereka dilaknat disebabkan apa yang telah mereka katakan…”
Al-Qur’an menggunakan kata Yahûd, sebagaimana ayat di atas, untuk menunjuk kaum keturunan Yahûda, tidak lagi menunjuk kepada keturunan Nabi Ya’qub yang bersifat buruk.
Ahlul Kitab
Adapun istilah ahlul kitab itu penganut kitab suci yang di dalamnya termasuk Nasrani dan orang-orang Yahudi. Mereka itu oleh al-Qur’an dikatakan laisu sawa, tidak sama mereka itu, ada yang baik. “Jadi kalau kita berkata Yahûd dalam konteks uraian al-Qur’an tentang Ahlul kitab, ada enggak yang baik? Kalau dia gunakan kata Ahlul Kitab, maka itu ada yang baik. Tapi kalau dia gunakan kata Yahûd, itu pasti buruk. Jelas, kan?” terang penulis Tafsir Al-Mishbah.
Yahudi
Lalu siapa yang dimaksud Yahudi? Yaitu penganut agama Yahudi, walaupun dia bukan keturunan Yahûda yang menganut agama Yahudi. Itu dikatakan demikian karena ada orang-orang yang menganut agama Yahudi yang sebenarnya bukan dari Bani Israil, walaupun sedikit sekali, karena agama Yahudi itu bukan agama dakwah. Mereka hanya mau sendiri saja sebagai orang-orang yang dicintai Allah. Hal ini terekam dalam Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 24 berikut.
ذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ قَالُوْا لَنْ تَمَسَّنَا النَّارُ اِلَّآ اَيَّامًا مَّعْدُوْدٰتٍۖ وَّغَرَّهُمْ فِيْ دِيْنِهِمْ مَّا كَانُوْا يَفْتَرُوْنَ
Artinya, “Demikian itu disebabkan bahwa mereka berkata, “Api neraka tidak akan menyentuh kami, kecuali beberapa hitungan hari saja.” Mereka teperdaya dalam agamanya oleh apa yang selalu mereka ada-adakan.”
“Iya kan, itu orang Yahudi begitu, merasa diri angkuh,” imbuh Penulis buku Membumikan Al-Qur’an itu.
Lebih lanjut, Prof Quraish menjelaskan bahwa orang Yahudi ini memiliki sifat egosentris, sehingga dicela. Lalu ia mencontohkan Nabi, yang itu merupakan cerminan umatnya.
Sewaktu Nabi Muhammad hijrah, sudah terkejar di Gua Tsur, Sayyidina Abu Bakar gemetar. Nabi menegaskan bahwa Allah SWT bersama kita yang menunjukkan makna kebersamaan. Hal ini terekam dalam Al-Qur’an surat at-Taubah ayat 40.
اِلَّا تَنْصُرُوْهُ فَقَدْ نَصَرَهُ اللّٰهُ اِذْ اَخْرَجَهُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا ثَانِيَ اثْنَيْنِ اِذْ هُمَا فِى الْغَارِ اِذْ يَقُوْلُ لِصَاحِبِهٖ لَا تَحْزَنْ اِنَّ اللّٰهَ مَعَنَاۚ فَاَنْزَلَ اللّٰهُ سَكِيْنَتَهٗ عَلَيْهِ وَاَيَّدَهٗ بِجُنُوْدٍ لَّمْ تَرَوْهَا وَجَعَلَ كَلِمَةَ الَّذِيْنَ كَفَرُوا السُّفْلٰىۗ وَكَلِمَةُ اللّٰهِ هِيَ الْعُلْيَاۗ وَاللّٰهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ
Artinya, “Jika kamu tidak menolongnya (Nabi Muhammad), sungguh Allah telah menolongnya, (yaitu) ketika orang-orang kafir mengusirnya (dari Makkah), sedangkan dia salah satu dari dua orang, ketika keduanya berada dalam gua, ketika dia berkata kepada sahabatnya, “Janganlah engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.”
Maka, Allah menurunkan ketenangan kepadanya (Nabi Muhammad), memperkuatnya dengan bala tentara (malaikat) yang tidak kamu lihat, dan Dia menjadikan seruan orang-orang kafir itu seruan yang paling rendah. (Sebaliknya,) firman Allah itulah yang paling tinggi. Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” Hal ini berbeda ketika Nabi Musa hampir terkejar. Ia hanya menunjuk dirinya saja.
Demikian ini diceritakan Al-Qur’an dalam surat as-Syu’ara ayat 62.
قَالَ كَلَّاۗ اِنَّ مَعِيَ رَبِّيْ سَيَهْدِيْنِ
Artinya, “Dia (Musa) berkata, “Tidak! Sesungguhnya Tuhanku bersamaku. Dia akan menunjukiku.”
Sifat orang Yahudi yang kedua sangat materialistis, yaitu segala sesuatu harus dilihat dengan nyata. Itu sebabnya al-Qur’an mengecam mereka. Nabinya pun, Nabi Musa as pernah satu ketika bermohon kepada Tuhan seperti termaktub dalam Al-Qur’an surat al-A’raf ayat 138 dan 143 berikut. QS al-A’raf ayat 138.
وَجَاوَزْنَا بِبَنِيْٓ اِسْرَاۤءِيْلَ الْبَحْرَ فَاَتَوْا عَلٰى قَوْمٍ يَّعْكُفُوْنَ عَلٰٓى اَصْنَامٍ لَّهُمْۚ قَالُوْا يٰمُوْسَى اجْعَلْ لَّنَآ اِلٰهًا كَمَا لَهُمْ اٰلِهَةٌۗ قَالَ اِنَّكُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُوْنَ
Artinya, “Kami menyeberangkan Bani Israil (melintasi) laut itu (dengan selamat). Ketika mereka sampai kepada suatu kaum yang masih tetap menyembah berhala, mereka (Bani Israil) berkata, “Wahai Musa, buatlah untuk kami tuhan (berupa berhala) sebagaimana tuhan-tuhan mereka.” (Musa) menjawab, “Sesungguhnya kamu adalah kaum yang bodoh.”” QS al-A’raf ayat 143.
وَلَمَّا جَاۤءَ مُوْسٰى لِمِيْقَاتِنَا وَكَلَّمَهٗ رَبُّهٗۙ قَالَ رَبِّ اَرِنِيْٓ اَنْظُرْ اِلَيْكَۗ قَالَ لَنْ تَرٰىنِيْ وَلٰكِنِ انْظُرْ اِلَى الْجَبَلِ فَاِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهٗ فَسَوْفَ تَرٰىنِيْۚ فَلَمَّا تَجَلّٰى رَبُّهٗ لِلْجَبَلِ جَعَلَهٗ دَكًّا وَّخَرَّ مُوْسٰى صَعِقًاۚ فَلَمَّآ اَفَاقَ قَالَ سُبْحٰنَكَ تُبْتُ اِلَيْكَ وَاَنَا۠ اَوَّلُ الْمُؤْمِنِيْنَ
Artinya,”Ketika Musa datang untuk (bermunajat) pada waktu yang telah Kami tentukan (selama empat puluh hari) dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, dia berkata, “Ya Tuhanku, tampakkanlah (diri-Mu) kepadaku agar aku dapat melihat Engkau.” Dia berfirman, “Engkau tidak akan (sanggup) melihat-Ku, namun lihatlah ke gunung itu. Jika ia tetap di tempatnya (seperti sediakala), niscaya engkau dapat melihat-Ku.”
Maka, ketika Tuhannya menampakkan (keagungan-Nya) pada gunung itu, gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan.
Setelah Musa sadar, dia berkata, “Mahasuci Engkau. Aku bertobat kepada-Mu dan aku adalah orang yang pertama-tama beriman.”” “Ini dua sifatnya. Itu sebabnya, atau itu salah satu sebab mengapa mereka dikecam. Tetapi kita lihat lagi sekarang, bagaimana Islam berhadapan dengan orang Yahudi yang ini,” sambung Prof Quraish. Seperti dikatakan sebelumnya, ada Yahudi yang baik.
Ada istri Nabi orang Yahudi, yaitu Sayyidah Shofiyyah. Istri Nabi, seorang Yahudi. Ada Abdullah Ibni Salam dan Mukhairiq, keduanya orang hebat, Yahudi. “Tetapi kesan umum, kalau Yahudi itu jelek,” katanya. Tak ayal, ia menegaskan bahwa ada Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 105.
اِنَّآ اَنْزَلْنَآ اِلَيْكَ الْكِتٰبَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَآ اَرٰىكَ اللّٰهُۗ وَلَا تَكُنْ لِّلْخَاۤىِٕنِيْنَ خَصِيْمًاۙ
Artinya, “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Nabi Muhammad) dengan hak agar kamu memutuskan (perkara) di antara manusia dengan apa yang telah Allah ajarkan kepadamu. Janganlah engkau menjadi penentang (orang yang tidak bersalah) karena (membela) para pengkhianat.”
Prof Quraish menjelaskan, ayat itu turun karena ada seorang Muslim mencuri. Pemilik itu mencari barang curiannya, lalu orang Muslim yang mencuri ini berkata,“Yang mencuri itu orang Yahudi itu.”Dia bohong. Nabi Muhammad saw sebagai manusia cenderung hatinya membenarkan bahwa seorang Muslim pasti tidak bohong.
Padahal orang tersebut berbohong dan orang Yahudi tidak mencuri. Turunlah ayat di atas untuk menegur Nabi, bahwa orang yang berkhianat tidak boleh untuk dibela. Sekalipun dalam hal ini Muslim dan merugikan Yahudi, yang secara umum dianggap buruk. “Jadi, kalau orang Yahudi baik, boleh ndak kita bela? Ini hati-hati ini, iya kan?” tanya Prof Quraish, seraya mengajak berpikir. Alumnus Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, itu juga mencontohkan ayat lain, yakni surat al-Maidah ayat 8.
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ لِلّٰهِ شُهَدَاۤءَ بِالْقِسْطِۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ عَلٰٓى اَلَّا تَعْدِلُوْاۗ اِعْدِلُوْاۗ هُوَ اَقْرَبُ لِلتَّقْوٰىۖ وَاتَّقُوا اللّٰهَۗ اِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌۢ بِمَا تَعْمَلُوْنَ
Artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak (kebenaran) karena Allah (dan) saksi-saksi (yang bertindak) dengan adil. Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlakulah adil karena (adil) itu lebih dekat pada takwa. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.”
“Yahudi banyak, ada yang baik, ada yang buruk. Sampai sekarang, ada seperti itu,” pungkas Prof Quraish.
@mpa/nu.or.id