VISI.NEWS | JAKARTA – Jelang satu tahun pemerintahan, Presiden Prabowo Subianto terus menegaskan pentingnya percepatan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) untuk mendukung transisi energi Indonesia. Dalam pertemuan dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) di Istana Negara, Presiden Prabowo meminta agar PLTS yang mampu menghasilkan 80-100 gigawatt segera dibangun. Permintaan ini menggambarkan ambisi pemerintah untuk mewujudkan target 100% bauran energi terbarukan pada 2060, yang telah disampaikan dalam Sidang MPR Agustus lalu.
Namun, di balik ambisi besar tersebut, Koalisi Transisi Bersih yang terdiri dari sejumlah organisasi masyarakat sipil menilai bahwa pendekatan transisi energi yang dilakukan oleh pemerintah saat ini tidak cukup transformatif. Koalisi tersebut menyatakan bahwa upaya transisi energi yang terus mengacu pada target bauran energi justru berpotensi merugikan lingkungan dan masyarakat, serta menguntungkan kelompok-kelompok korporasi besar yang masih terlibat dalam bisnis energi kotor.
Manajer Kampanye Satya Bumi, Sayyidatiihayaa Afra, dalam peluncuran riset terbaru Koalisi Transisi Bersih, mengungkapkan bahwa transisi energi di Indonesia lebih berfokus pada pergantian teknologi, bukan pada transformasi sistem tata kelola energi. Hal ini membuat transisi energi cenderung menguntungkan korporasi besar yang masih mengoperasikan energi kotor, seperti batubara dan minyak. “Transisi energi seharusnya menjadi urusan publik, namun justru bergantung pada bisnis energi kotor yang dikelola oleh korporasi besar,” kata Afra.
Energi adalah sektor yang sangat padat modal, diperkirakan mencapai Rp3.500 triliun, namun sayangnya, negara belum memberikan ruang bagi masyarakat untuk terlibat dalam pengelolaan energi. Banyaknya ruang konflik kepentingan dalam proyek transisi energi juga menambah masalah. Koalisi Transisi Bersih menemukan bahwa setidaknya 28 individu yang tergolong Politically Exposed Persons (PEPs), yang memiliki posisi strategis dalam pemerintahan, terlibat dalam bisnis energi kotor, yang mempengaruhi arah kebijakan transisi energi.
Dalam risetnya, Koalisi Transisi Bersih mengidentifikasi enam grup usaha besar yang memegang peran dominan dalam proyek transisi energi Indonesia, namun juga terlibat dalam bisnis energi kotor. Grup-grup tersebut antara lain Barito Pacific, Adaro, Medco, Wilmar, Jhonlin, dan Sinar Mas. Mereka diduga terlibat dalam sejumlah praktik kontroversial, seperti perampasan lahan, pelanggaran HAM, hingga kerusakan lingkungan. Salah satu contoh konkret adalah penghilangan sebuah kampung di Kampung Cibitung, Pengalengan, Jawa Barat, akibat ledakan pipa Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Wayang Windu yang dikelola oleh PT Star Energy, anak usaha Grup Barito Pacific.
Tidak hanya itu, proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Kayan Mentarang yang dikelola oleh Grup Adaro juga berpotensi merusak lingkungan dan mengakibatkan pemindahan ribuan keluarga. Rencana proyek ini mencakup pembebasan lahan seluas 22.604 hektar di Kalimantan Utara, yang akan menenggelamkan tempat tinggal dan lahan perkebunan masyarakat setempat.
Selain masalah lingkungan, keterlibatan PEPs dalam bisnis energi terbarukan juga semakin menambah kompleksitas. Nama-nama besar seperti Rudy Suparman dari Barito Pacific dan Marsillam Simanjuntak dari Medco terlihat berada di balik proyek-proyek besar energi terbarukan. Wilmar, yang terlibat dalam kasus korupsi ekspor biodiesel, juga menerima subsidi besar dari pemerintah dalam bentuk kebijakan biodiesel B40. Subsidi ini menguntungkan perusahaan-perusahaan besar, sementara kerugian negara mencapai Rp11 triliun.
Koalisi Transisi Bersih juga menemukan adanya sejumlah keterlibatan PEPs di Grup Wilmar, seperti Sutanto, mantan Kapolri, dan MP Parulian Tumangor, mantan Bupati Dairi. Keterlibatan mereka menggarisbawahi potensi penyalahgunaan kebijakan yang menguntungkan elit bisnis. “28 individu yang terlibat harus menjadi fokus perhatian publik, agar transisi energi tidak menjadi bancakan elit,” tegas Afra.
Amalya Reza, Manajer Kampanye Bioenergi Trend Asia, mengungkapkan pentingnya demokratisasi energi, yang memberi ruang bagi masyarakat untuk mengelola energi secara mandiri. Menurutnya, Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dan Rencana Umum Energi Daerah (RUED) seharusnya memasukkan sistem pengelolaan energi berbasis komunitas. Namun kenyataannya, sebagian besar kebijakan energi justru lebih menguntungkan korporasi besar, yang memperlemah peran masyarakat dalam transisi energi.
Dalam beberapa kasus, proyek-proyek transisi energi juga mendapat kemudahan hukum, seperti status Proyek Strategis Nasional (PSN) yang diberikan kepada proyek PLTA Kayan. Status ini membuat proyek tersebut lebih kebal hukum meskipun terdapat banyak kerusakan lingkungan yang ditimbulkan. Ini menunjukkan adanya potensi penyalahgunaan kekuasaan yang semakin meminggirkan kepentingan masyarakat.
Wakil Ketua KPK 2015-2019, La Ode M. Syarif, mengingatkan pentingnya transisi energi yang adil dan bersih, dengan tetap menjaga keberlanjutan lingkungan dan menghindari praktik-praktik korupsi. Menurut La Ode, energi terbarukan seharusnya menjadi energi bersih, tetapi jika dikelola dengan cara yang salah, transisi energi justru bisa merugikan banyak pihak, terutama masyarakat yang paling terdampak langsung.
Cita-cita transisi energi Indonesia harusnya bukan hanya sekedar pergantian teknologi, tetapi juga untuk menghadirkan energi hijau yang bersih, berkeadilan, dan ramah lingkungan. Pemaknaan transisi energi sebagai proses yang hanya mengutamakan target bauran energi terbarukan tanpa memperhatikan dampak sosial dan lingkungan akan membuat Indonesia semakin jauh dari target net-zero carbon. Pendekatan transisi energi yang transaksional dan menguntungkan segelintir elit ini justru berpotensi membawa Indonesia mundur, jauh dari cita-cita energi berkeadilan dan swasembada energi.
@uli












