VISI.NEWS – Karima (23 tahun) merupakan nama warga Amerika Serikat setelah menjadi muslimah. Dia bercerita, tinggal di keluarga yang tak peduli pada agama sempat membuatnya merasa sangat agnostik.
‘’Keluarga saya tidak pernah religius. Ibu saya selalu merendahkan agama yang terorganisasi, sedangkan ayah saya adalah seorang ateis penuh,’’ ujar dia, Ahad (9/8).
Namun, ketika usianya menginjak 16 tahun, dirinya merasa menemukan secercah cahaya dari keberadaan Tuhan. Menurutnya, perkenalan pada Islam dimulai di sekolah menengah ketika mendapat tugas kelompok di kelas sejarah.
Dalam tugas itu, dirinya ditunjuk untuk meneliti salah satu festival agama, Iduladha yang biasa dilakukan muslim. Setelah mengetahui asal-usulnya, Karima langsung terkejut, meski keinginan untuk mengetahui Islam lebih dalam dirasanya.
‘’Itu terus melekat pada diri saya,’’ tambah dia.
Sebagai pengumpul informasi utama untuk festival itu, Karima tak menyia-nyiakan kesempatan untuk belajar agama yang asing baginya. Hingga ia tiba di satu titik dan jatuh cinta pada Islam.
‘’Saya hanya mendengar hal-hal mengerikan tentang Islam, tapi belum pernah bertemu muslim sebelumnya, jadi itu mengejutkan saya,’’ tuturnya.
Pada saat yang sama, ia mengaku ingin langsung menjadi mualaf, namun ada kendala besar yang ia rasa menghalanginya. Tak sampai di situ, untuk memastikannya, Karima lalu membandingkan kebaikan dan makna dari setiap agama lain, meski itu hanya keinginan pribadinya.
Sadar tak ada yang mendekati, ia semakin mantap belajar Islam lebih lanjut. Terlebih ketika sebagian besar agama ia sebut merupakan ciptaan manusia.
‘’Sampai suatu waktu, saya berjalan pulang dari sekolah, mengeluarkan transliterasi syahadat dan tulisan tangan saya. Saya mengatakannya (syahadat) di depan Gereja Mormon,’’ ucap dia.
Meski merasa gugup saat melafalkan kalimat itu, Karima mengakui ada rasa senang yang tersembunyi. Dia mengatakan, rasa tersebut dimungkinkan bagian dari cobaan Allah SWT. (bersambung)/@fen/sumber: republika.co.id/aboutislam.net