VISI.NEWS | JAKARTA – Bulan Ramadan merupakan ladang pahala yang berlimpah bagi umat Islam. Bulan yang penuh keberkahan, pengampunan, dan rahmat dari Allah Taala bagi siapa pun hamba-Nya yang melakukan kebajikan.
Tak heran selaras dengan pengertian di atas, Prof Quraish Shihab dalam bukunya Lentera Al-Qur’an menyebutkan bahwa lafal ‘Ramadhan’ berasal dari kata ‘irmadha’ yang berarti “membakar” atau “mengasah”.
Lafal tersebut bermakna dihapusnya dosa-dosa manusia, habis terbakar, dikarenakan kesadaran dan amal saleh yang diperbuat. Pada bulan tersebut juga dijadikan sebagai waktu untuk mengasah dan mengasuh jiwa manusia.
Mengutip dalam buku “Menyikap Tabir Puasa Ramadhan” karya KH Cholil Nafis, Ketua MUI Bidang Dakwah dan Ukhuwah disebutkan hampir semua anugerah dan kemuliaan yang diturunkan oleh Allah Taala terjadi pada malam hari.
Peristiwa-peristiwa tersebut di antaranya yaitu waktu turunnya Al Quran (Nuzulquran), Isra dan Mikraj, dan malam Qadar (Lailatulkadar).
Bahkan disebutkan pula ciri orang yang gemar beribadah dan taat pada Allah SWT yaitu mereka yang menjaga diri untuk salat dan bermunajat pada Allah SWT pada waktu tengah malam.
Qiyamullail, menghidupkan malam-malam Ramadan. Allah Taala berfirman dalam surat Al Isra ayat 79:
وَمِنَ الَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهٖ نَافِلَةً لَّكَۖ عَسٰٓى اَنْ يَّبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا
مَّحْمُوْدًا
“Dan pada sebagian malam, lakukanlah salat tahajud (sebagai suatu ibadah) tambahan bagimu: mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji.”
Kiai Cholil dalam bukunya menjelaskan mendirikan malam dengan beragam ibadah, termasuk salat malam merupakan tradisi yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw., para sahabat, dan ulama salaf.
Orang yang tengah bermunajat pada hakikatnya sedang mendekatkan diri pada-Nya, mengagungkan keesaan Allah SWT semata, serta tunduk khusyuk memohon ampunan-Nya. Qiyamullail sebagai wasilah mendapat kemuliaan yang telah Allah sebutkan dalam surat Al Isra ayat 79 di atas.
Perintah untuk melakukan ibadah di malam hari pada surat Al Isra tersebut dicontohkan langsung oleh Rasulullah saw. yang tidak pernah meninggalkan salat malam. Sebagaimana yang dikisahkan oleh Aisyah r.a. dalam hadis, yaitu:
أَنَّ نَبِيَّ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُوْمُ مِنَ اللَّيْلِ حَتَّى تَتَفَطَّرَ قَدَمَاهُ فَقَالَتْ عَائِشَةُ لِمَ تَصْنَعُ هَذَا يَا رَسُوْلَ اللهِ وَقَدْ غَفَرَ اللهُ لَكَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ قَالَ أَفَلَا أُحِبُّ أَنْ أَكُوْنَ عَبْدًا شَكُوْرًا
“Sungguh Nabi saw. salat malam hingga kedua telapak kakinya merekah. ‘Aisyah berkata kepada baginda: mengapa engkau melakukan hal ini wahai Rasulullah, padahal Allah telah mengampuni dosa-dosamu yang telah lalu dan yang akan datang. Baginda bersabda: “Apakah aku tidak ingin menjadi hamba yang banyak bersyukur?” (HR Bukhari).
Selain itu, qiyamullail juga sebagai sarana melatih diri. Kiai Cholil menyebutkan bahwa ibadah di malam hari merupakan sarana untuk melatih diri menghindari perbuatan maksiat. Karenanya dapat dikatakan pula sebagai terapi untuk melembutkan hati dan merevitalisasi asa.
Suasana hening yang tercipta pada malam hari mampu melepaskan penatnya hiruk pikuk berbagai kegiatan yang dilakukan pada siang hari. Oleh karenanya, salah satu cara mengobati hati yang keras dan sulit menerima nasihat yaitu dengan mengistikamahkan salat malam.
Ibadah puasa yang dilakukan dengan disertai dengan memperbanyak qiyamullail adalah cara untuk menggapai kesucian fitrah.
Sebab bulan Ramadan yang dipenuhi keberkahan dan dilipatgandakannya pahala semua amalan sangat lekat dengan qiyamullail. Ibadah yang dilakukan jauh dari pengamatan orang lain karena didirikan pada waktu malam lebih menghindari diri dari sifat pamer (riya’).
Karenanya, ibadah puasa dijadikan sebagai sarana pelatihan diri, sedangkan salat sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Wallahu’alam. @fen/sumber: mui.or.id