VISI.NEWS | BANDUNG – Bagi banyak masyarakat Indonesia, kerupuk adalah pelengkap penting yang selalu ada di meja makan. Bahkan, cara menyajikan dan mengonsumsinya telah menjadi inspirasi bagi orang Belanda pada masa kolonial.
Kerupuk, yang terbuat dari tepung tapioka, sering kali dipadukan dengan ikan atau bumbu lainnya untuk menciptakan rasa gurih yang menggoda. Meski sering dianggap sebagai camilan, kerupuk memiliki sejarah panjang di Nusantara. Jenis kerupuk rambak, yang terbuat dari kulit hewan seperti sapi atau kerbau, sudah dikenal sejak berabad-abad lalu dan tercatat dalam berbagai prasasti dan naskah kuno. Di masa lalu, rambak bahkan diperdagangkan sebagai komoditas.
Namun, sejarawan kuliner Fadly Rahman dari Universitas Padjadjaran menyebutkan bahwa tidak banyak yang mengetahui mengapa kerupuk begitu vital di meja makan masyarakat Indonesia. Ia justru menyoroti bagaimana orang Belanda, yang hidup di Hindia Belanda, meniru kebiasaan makan orang Indonesia, termasuk keberadaan kerupuk dalam hidangan mereka.
“Mereka (Belanda) melihat kerupuk ini sebagai pelengkap. Kalau enggak ada kerupuk, (makan jadi) enggak lengkap,” ujar Fadly.
Menurut Fadly, orang Belanda mengenal konsep rijsttafel, yaitu cara makan yang melibatkan penyajian berbagai hidangan dari seluruh wilayah Nusantara. Dalam rijsttafel, hidangan utama biasanya berupa nasi dengan lauk-pauk dan sayuran, di mana kerupuk dan sambal menjadi pelengkap yang tak terpisahkan.
Bahkan dalam lagu yang dipopulerkan oleh Wieteke van Dort, seorang seniman kelahiran Surabaya berdarah Belanda, kerupuk disebut sebagai bagian penting dalam hidangan yang ia rindukan dari Indonesia. Dalam lagu berjudul *Geef Mij Maar Nasi Goreng*, ia menyebutkan kerupuk udang sebagai pelengkap nasi goreng yang nikmat.
Bagi Fadly, hal ini menegaskan bahwa kerupuk sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya makan Indonesia yang juga diadopsi oleh orang Belanda pada masa kolonial. @ffr