VISI.NEWS | KAB. BANDUNG – Ketua Robithoh Ma’ahid Islamiyah (RMI) Nahdlatul Ulama Kabupaten Bandung, H. Budi Faisal Farid, S.Sos., mengungkapkan program Santri Migranpreneur terus berproses dengan dukungan pendanaan dari Bank Nano Syariah. Dari target 4.000 santri, baru 20 orang yang siap diberangkatkan ke Jepang dengan estimasi biaya Rp1 miliar. Program ini dijalankan sejak Januari hingga Juni 2025, dan pada Juli-Agustus mendatang angkatan pertama akan berangkat magang ke Jepang.
Salah satu tonggak penting program ini terjadi saat acara Makan Bergizi Gratis (MBG) 23 Mei lalu yang disaksikan langsung oleh Prabowo Subianto. Sayangnya, dari 1.000 titik yang tersedia secara nasional, hanya 40 pesantren yang hadir saat itu. RMINU Kabupaten Bandung akan mengajukan 40 titik agar bisa bersinergi langsung dengan PCNU Kabupaten Bandung, dengan syarat legalitas, ketersediaan lahan, dan kesiapan dana.
RMINU pun telah menjalin berbagai kemitraan strategis. Setelah menandatangani MoU dengan AP2LN pada 16 Mei 2024, asosiasi penyelenggara pelatihan itu juga menggandeng LPK Mirage di Jatinangor untuk pelatihan santri. Sejumlah pesantren seperti Bustanul Wildan (Cileunyi), Istiqomah (Pacet), Al Misbah (Tegalluar), dan Al Husaeni (Ciparay) sudah ikut serta. Dana Rp50 juta per santri disediakan oleh Bank Nano dan bisa dicicil selama setahun. Hingga kini, dari komitmen pendanaan Rp270 miliar, baru sebagian kecil yang terserap.
Budi Faisal menyebutkan bahwa program Santri Migranpreneur merupakan respons atas realita bahwa tak semua lulusan pesantren ingin menjadi kyai, ustaz, atau PNS. Banyak yang kini memilih menjadi pengusaha, pekerja migran, atau pelaku UMKM. “Ini bentuk ikhtiar agar santri tidak hanya jago kandang tapi bisa go international,” ujarnya.
Salah satu contoh sukses adalah santri bernama Cepi Maulana yang sudah lulus pelatihan Bahasa dan budaya Jepang di BLK Ponpes Bustanul Wildan. Program ini berjalan atas kolaborasi RMI, AP2LN, LPK Mirage, dan Bank Nano Syariah. “Cepi akan berangkat ke Jepang pada batch pertama. Ini inspirasi untuk pesantren lainnya,” jelas Budi.
Menurut Budi, transformasi pesantren adalah keniscayaan di era modern. “Transformasi bukan berarti meninggalkan nilai lama. Kita tetap menjaga nilai tradisi, namun tetap terbuka pada inovasi,” katanya. Ia menjelaskan, lima rukun pesantren—kyai, santri, masjid, asrama, dan kurikulum—masih dijaga, tetapi dengan pendekatan lebih terbuka terhadap teknologi dan pengembangan SDM.
Saat ini, dari sekitar 500 pesantren di Kabupaten Bandung, baru 280 yang terdaftar resmi di RMI. Sebagian besar masih belum memiliki Izin Operasional Pesantren (IJOP), yang penting untuk mengakses bantuan pemerintah. RMI aktif melakukan pendampingan untuk mempercepat legalisasi tersebut. “Kalau tidak punya izin, mereka akan kesulitan berkembang,” ujarnya.
Terkait program MBG, Budi mendorong agar pesantren tidak hanya menjadi penerima manfaat tetapi ikut ambil peran aktif. “Kami mendorong agar pesantren mengajukan diri sebagai lokasi dapur MBG atau Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG). Minimal satu dapur per kecamatan dari pesantren anggota RMI,” pungkasnya.
@uli