Khutbah I
الْحَمْدُ للَّهِ الَّذِي لَمْ يُقَّدِرْلانْتِهَاءِ عِزَّتِهِ نَحْوًا وَلاَقِطْرًا، وَلَمْ يَجْعَلْ لِمَرَاقِي أَقْدَامِ الْأَوْهَامِ وَمَرْعَى سَهَامِ الْأَنْهَامِ إِلَى حِمَى عَظَمَتِهِ تَجْرًى، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَ لَا شَرِيكَ لَهُ يَعْجِزُ قُلُوْبُ الْمُتَفَكِّرِيْنَ عَنْ إِدْرَاكِ جَلَالِهِ نَظْرًا، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ شَهَادَةً تُبَلِّغُنَا تَدَبُّرًا وَتَفَكَّرًا، حَتَّى نَعْلَمَ خَيْرًا وَشَرًا وَنَفْعًا وَضَرًا، وَعُسْرًا وَيُسْرًا، وَفَوْزًا وَخُسْرًا. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ سَيِّدِ وَلَدِ آدَمَ وَإِنْ كَانَ لَمْ يَعُدَّ سَيَّادَتَهُ فَخْرًا، صَلَاةً تُبْقِي لَنَا فِي عُرْصَاتِ الْقِيَامَةِ عُدَّةً وَدَخْرًا، وَعَلَى أَلِهِ وَأَصْحَابِهِ الَّذِيْنَ أَصْبَحَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ فِي سَمَاءِ الدِّيْنِ بَدْرًا، وَلِطَوَائِفِ الْمُسْلِمِيْنِ صَدْرًا، وَسَلِّمْ تَسْلِيمًا كَثِيرًا
أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا النَّاسُ، إِتَّقُوا الله فَقَدْ فَازَ مَنْ أَعْطَاهُ وَاتَّقَاهُ، وَقَدْ خَابَ مَنْ كَذَّبَهُ وَعَصَاهُ. قَالَ الله تَعَالَى فِي كِتَابِهِ الْكَرِيمِ (الَّذِيْنَ يَذْكُرُونَ اللَّهِ قِيَامًا وَقُعُوْدًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلاً) . وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (تَفَكَّرُوْا فِي خَلْقِ اللَّهِ وَلَا تَتَفَكَّرُوْا فِي اللَّهِ فَإِنَّكُمْ لَا تَقْدِرُوْا قَدْرَهُ)
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah,
Pada kesempatan khutbah ini, izinkanlah khatib berpesan. Mari kita senantiasa meningkatkan takwa kepada Allah SWT dalam keadaan bagaimana pun. Baik dalam keadaan suka maupun duka, dalam keadaan lapang maupun sempit, dalam keadaan sehat maupun sakit, dan seterusnya. Dengan ketakwaan itulah kita akan dapat mendapat kemuliaan di sisi Allah SWT. Dan ketakwaan itu pula yang akan membukakan pintu kemudahan bagi urusan kita, baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Tidak perlu berputus asa, meski berulang kali mungkin kita berbuat kesalahan, sebab selalu ada harapan untuk kembali kepada-Nya. Namun, begitu juga sebaliknya, kasih sayang Allah yang begitu luasnya jangan sampai disalahpahami sebagai kesempatan untuk mengabaikan perintah dan larangan-Nya. Justru, kesempatan yang masih terbuka itu harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk selalu bersungguh-sungguh dalam bertakwa, yakni melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah,
Tafakkur merupakan ibadah yang sangat utama dan sangat besar faedahnya. Allah SWT telah memerintahkan hamba-Nya untuk bertafakkur atau merenung. Dan Allah SWT juga memberi pujian atas orang-orang yang setiap saat selalu merenung dan berpikir.
Allah SWT berfirman:
اِنَّ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَاٰيٰتٍ لِّاُولِى الْاَلْبَابِۙ الَّذِيْنَ يَذْكُرُوْنَ اللّٰهَ قِيَامًا وَّقُعُوْدًا وَّعَلٰى جُنُوْبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُوْنَ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۚ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هٰذَا بَاطِلًاۚ سُبْحٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia. Maha Suci Engkau. Lindungilah kami dari azab neraka.’” (QS. Ali ‘Imran: 191)
Ibn Abbas r.a menceritakan dalam riwayatnya, bahwa suatu saat ada satu kaum memikirkan tentang Dzat Allah SWT, lalu mereka ditegur oleh Nabi Muhammad SAW, seraya bersabda:
تَفَكَّرُوْا فِي خَلْقِ اللهِ وَلَا تَتَفَكَّرُوْا فِي اللهِ، فَإِنَّكُمْ لَنْ تَقْدِرُوْا قَدْرَهُ
“Berpikirlah (renungkanlah) tentang mahluk Allah, jangan berpikir tentang Dzat Allah, karena kalian sesungguhnya tidak akan bisa mencapainya.” (HR. Baihaqi)
Bahkan dalam Kitab Risalatul Mu’awanah karya Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad, ada satu riwayat yang berbunyi:
تَفَكُّرُ سَاعَةٍ خَيْرٌ مِنْ عِبَادَةِ سَنَةٍ
“Berpikir sesaat itu lebih baik dari ibadah satu tahun”
Dikatakan pula oleh Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad:
وَاعْلَمْ أَنَّ صَلَاحَ الدُّنْيَا وَالدِّيْنِ مَوْقُوْفٌ عَلَى صِحَّةِ التَّفَكُّرِ
“Ketahuilah bahwasanya kebaikan dunia dan agama tergantung pada kesehatan atau kejernihan berpikir”.
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah,
Banyak sekali anjuran bertafakkur, baik di dalam Al-Quran maupun di dalam Hadis Nabi. Dikisahkan dalam sebuah riwayat; Pada satu malam Nabi Muhammad SAW menangis, entah apa yang membuatnya sampai begitu. Datanglah Bilal r.a menghampirinya, lalu berkata: “Ada apa, ya Rasul, sampai engkau seperti ini? Bukankah engkau telah diampuni dosa-dosamu, yang terdahulu maupun yang akan datang?” Nabi berkata, “Celaka kamu, Bilal, bagaimana aku tidak menangis, sedangkan Allah SWT telah menurunkan padaku malam ini ayat:
اِنَّ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَاٰيٰتٍ لِّاُولِى الْاَلْبَابِۙ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal.” (QS. Ali ‘Imran: 190)
Kemudian Nabi melanjutkan perkataannya, “Sungguh celaka orang yang membaca ayat ini dan tidak tafakkur atau merenungkannya.” (HR. Ibnu Hibban)
Karena itu, mengenai tafakkur itu dikatakanlah pula oleh para ulama sholeh terdahulu, bahwa pikiran itu adalah pancaran dari hati, dan jika pikiran itu hilang maka tidak akan lagi bersinar.
اَلْفِكْرَةُ سِرَاجُ الْقَلْبِ فَإِذَا ذَهَبَتْ فَلَا إِضَاءَةَ لَهُ
“Pikiran itu adalah pancaran dari hati, jika pikiran itu hilang maka tidak akan lagi bersinar.”
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah,
Ketahuilah, bahwa tafakkur itu sesunggunya adalah sumber pengetahuan. Mungkin selama ini kita hanya mengetahui keutamaannya saja dan tidak mengetahui apa sebenarnya yang dimaksud tafakkur itu sendiri. Tentang bagaimana caranya, tentang apa kita bertafakkur, dan apa buah yang bisa diperoleh dari bertafakkur.
Mengenai hal itu, Imam Al-Ghazali dalam Kitab Ihya’ Ulumuddin mendefinisikan, bahwa tafakkur adalah merenungkan dua hal yang saling berkaitan sehingga bisa menghasilkan satu kesimpulan yang benar. Dalam hal ini madkhal (obyek) tafakkur ada empat macam, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Al-Ghazali:
Pertama, tentang kemaksiatan. Hendaknya setiap saat kita merenung tentang berapa kesalahan yang kita lakukan dalam keseharian kita, mulai dari pagi sampai malam, dan kesalahan-kesalahan kita pula pada hari kemarin. Sehingga dengan begitu kita akan menyesalinya dan segera bertaubat serta tidak akan mengulanginya. Dengan kata lain, kita kapan pun dan di mana pun senantiasa muhasabah (mengoreksi diri).
Kedua, tentang ketaatan kepada perintah Allah SWT. Kita harus melihat diri kita, bagaimana melaksanakan kewajiban-kewajiban kita, terutama ibadah fardhu kita. Apakah sudah terpenuhi syarat dan rukunnya agar diterima di sisi Allah SWT? Bagaimana kita menyempurnakan dan menjaganya agar jangan sampai teledor dalam menjalankannya. Dengan semua ini kita akan bisa dan mampu meningkatkan ibadah kepada Allah SWT, ikhlas menunaikannya sebagai wujud pengabdian dan rasa syukur kita terhadap-Nya.
Ketiga, tentang sifat-sifat yang tercela. Sudahkah kita membersihkan hati kita dan mengobatinya dari penyakit hati? Seperti hasud, ‘ujub, sombong, riya’ dan sebagainya. Kita harus merenung, bagaimana cara membersihkan hati kita, sehingga dengan kebersihan hati itu kita akan semakin mendekatkan diri kita kepada Allah SWT.
Keempat, tentang sifat-sifat mahmudah (terpuji). Hendaknya seseorang berpikir, apakah sudah memiliki sifat-sifat ini. Sudahkah berprilaku baik, bersyukur, jujur, sabar, khauf, raja’, dan ikhlas dalam beribadah? Ketahuilah bahwa semua ini tidak akan mungkin dicapai tanpa ilmu, dan ilmu itu tak akan bisa diperoleh tanpa tafakkur (berpikir dan merenung).
Lalu Imam Al-Ghazali melanjutkan, bahwa buah tafakkur itu adalah ilmu, ahwal (keadaan diri kita), dan amal perbuatan dengan ditopang pengetahuan tersebut.
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah,
Dengan i’tibar (mengambil hikmah atau pelajaran) akan bertambahlah ilmu kita. Dengan dzikir akan bertambahlah kecintaan kita pada Allah SWT. Dan dengan tafakkur itu akan bertambahlah takwa kita. Demikian Syaikh Hatim berfatwa.
Sementara Imam Syafi’i juga berkata; “Berdiamlah sejenak sebelum berbicara, dan dapatkanlah pengetahuan itu dengan tafakkur. Barang siapa yang ucapannya tidak mengandung hikmah, maka tiadalah berguna dia, dan barang siapa diamnya tidak bertafakkur, maka dia termasuk orang-orang yang lalai.”
Mari kita mencoba menilik dan merenungkan ayat berikut:
وَفِيْٓ اَنْفُسِكُمْ ۗ اَفَلَا تُبْصِرُوْنَ
“(Begitu juga ada tanda-tanda kebesaran-Nya) pada dirimu sendiri. Maka, apakah kamu tidak memperhatikan?” (QS. Ad-Dzariyat: 21)
Ayat ini mengisyaratkan kita untuk berpikir tentang proses kejadian manusia. Pada mulanya manusia – Nabi Adam AS – diciptakan dari tanah, kemudian proses selanjutnya, secara terus menerus manusia berasal dari setetes air yang menjijikkan dan sangat hina. Seandainya dibiarkan sebentar saja, akan rusak oleh hembusan udara.
Lalu bagaimana Allah SWT meletakkan dan mencampurnya dengan ovum di dalam rahim, bagaimana pula menjadikannya gumpalan darah, kemudian segumpal daging. Lalu membentuknya dengan wujud yang menakjubkan, diberi telinga, mata, hidung, mulut dan sebagainya. Sampai kemudian menjadi makhluk paling sempurna di antara yang lainnya, dan pada akhirnya ditiupkanlah ruh di dalamnya. Kemudian ditentukan pula ajalnya. Betapa luar biasa kejadian itu. Sungguh Maha Suci Allah SWT.
Penggambaran itu telah dijelaskan oleh Allah dalam Surat Al-Mu’minun ayat 12-15:
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ مِنْ سُلٰلَةٍ مِّنْ طِيْنٍ ۚ ثُمَّ جَعَلْنٰهُ نُطْفَةً فِيْ قَرَارٍ مَّكِيْنٍ ۖ ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظٰمًا فَكَسَوْنَا الْعِظٰمَ لَحْمًا ثُمَّ اَنْشَأْنٰهُ خَلْقًا اٰخَرَۗ فَتَبَارَكَ اللّٰهُ اَحْسَنُ الْخٰلِقِيْنَۗ ثُمَّ اِنَّكُمْ بَعْدَ ذٰلِكَ لَمَيِّتُوْنَ ۗ
“Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dari sari pati (yang berasal) dari tanah. Kemudian, Kami menjadikannya air mani di dalam tempat yang kukuh (rahim). Kemudian, air mani itu Kami jadikan sesuatu yang menggantung (darah). Lalu, sesuatu yang menggantung itu Kami jadikan segumpal daging. Lalu, segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang. Lalu, tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian, Kami menjadikannya makhluk yang (berbentuk) lain. Maha Suci Allah, sebaik-baik pencipta.Kemudian, sesungguhnya kamu setelah itu benar-benar akan mati.”
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah,
Buah dari tafakkur adalah ilmu dan memahami dengan baik tentang hal-hal baru yang belum pernah diketahui sebelumnya. Ketika ilmu sudah diperoleh berubahlah hati nurani. Ketika nurani mengalami perubahan, niscaya berubahlah tingkah laku kita sehingga menjadi lebih baik.
Dengan demikian, tafakkur merupakan kunci dan permulaan semua kebaikan serta perilaku terpuji. Dan seseorang akan menjadi lebih bijaksana dengan bertafakkur. Maka, hendaknya kita setiap saat bertafakkur merenung tentang ciptaan Allah SWT. Dengan begitu, kita akan mengetahui keagungan Sang Pencipta. Kita akan lebih bisa menghayati betapa kita hanyalah satu bagian yang kecil dari beraneka ragam makhluk Allah SWT. Sungguh Maha Besar Allah, Maha Suci Allah.
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَ لَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ وَنَفَعَنَا وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الْآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ فَاسْتَغْفِرُوهُ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ
Khutbah II
اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى اٰلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
أَمَّا بَعْدُ، فيَآايُّهاالنّاسُ، اِتَّقُوا اللهَ تَعَالَى وَذَرُوا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَحَافِظُوْا عَلَى الطَّاعَةِ وَحُضُورِ الْجُمُعَةِ والْجَمَاعَةِ. وَاعْلَمُوا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيه بِنَفْسِهِ وَثَنَّى بِمَلائكةِ قُدْسِهِ. فَقالَ تَعَالَى ولَمْ يَزَلْ قائِلاً عَلِيمًا: إِنَّ اللهَ وَملائكتَهُ يُصَلُّونَ على النَّبِيِّ يَآ أَيّها الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وسَلِّمُوا تَسْلِيْمًا اللَّهمَّ صَلِّ وسَلِّمْ على سيِّدِنا محمَّدٍ وعلى آلِ سيِدِنَا محمَّدٍ كَما صَلَّيْتَ على سيِّدِنا إِبراهِيمَ وعلى آلِ سيِّدِنَا إِبراهِيمَ في الْعالَمِينَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ. اللَّهمَّ وَارْضَ عَنِ الْخُلَفَاءِ الرّاشِدِينَ الَّذينَ قَضَوْا بِالْحَقِّ وَكانُوا بِهِ يَعْدِلُونَ أَبي بَكْرٍ وعُمرَ وعُثْمانَ وعلِيٍّ وَعَنِ السِّتَّةِ الْمُتَمِّمِينَ لِلْعَشْرَةِ الْكِرامِ وعَنْ سائِرِ أَصْحابِ نَبِيِّكَ أَجْمَعينَ وَعَنِ التَّابِعِينَ وتَابِعِي التَّابِعِينَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسانٍ إِلَى يَومِ الدِّينِ. اللَّهمَّ لا تَجْعَلْ لِأَحَدٍ مِنْهُمْ فِي عُنُقِنَا ظَلَامَةً ونَجِّنَا بِحُبِّهِمْ مِنْ أَهْوَالِ يَومِ الْقِيامَةِ.
اَللَّهُمَّ اهْدِنَا لِصِلَةِ أَرْحَامِنَا، وَاحْفَظْنَا مِنَ الْقَطِيْعَةِ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ. اَللَّهُمَّ أَصْلِحْ بَيْنَ الْمُتَخَاصِمِيْنَ مِنَ الْأَقَارِبِ وَالْأَصْدِقَاءِ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ.
اَللَّهُمَّ أَعِزَّ الْإِسْلَامَ والمُسْلِمِيْنَ وأَهْلِكِ الْكَفَرَةَ وَالمُشْركِينَ، ودَمِّرْ أَعْداءَ الدِّينِ، اَللَّهمَّ آمِنَّا فِي دُوْرِنَا وأَصْلِحْ وُلَاةَ أُمُوْرِنَا، وَاجْعَلِ اللَّهُمَّ وِلَايَتَنا فِيمَنْ خافَكَ وَاتَّقَاكَ، اللَّهمَّ آمِنَّا فِي دُوْرِنَا وأَصْلِحْ وُلَاةَ أُمُوْرِنَا، وَاجْعَلِ اللَّهُمَّ وِلَايَتَنا فِيمَنْ خافَكَ وَاتَّقَاكَ.
اللَّهمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْياءِ مِنْهُمْ والْأَمْواتِ بِرَحْمَتِكَ يَا وَاهِبَ الْعَطِيَّاتِ. اللَّهمَّ ادْفَعْ عَنَّا الْبَلَاءَ والوَباءَ والزِّنا والزَّلَازِلَ وَالمِحَنَ وَسُوءَ الفِتَنِ ما ظَهَرَ مِنْها وما بَطَنَ عَنْ بَلَدِنا هَذا خاصَّةً وعَنْ سائِرِ بِلَادِ الْمُسلمينَ عامَّةً يا رَبَّ الْعَالَمِينَ.رَبَّنا آتِنا في الدّنيا حَسَنَةً وَفي الآخرة حَسَنَةً وقِنَا عَذَابَ النَّارِ.
عِبادَ اللهِ، إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ والْإِحْسان وإِيتاءَ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الْفَحْشاءِ والْمُنْكَرِوَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ، فَاذْكُرُوا اللهَ العَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوهُ على نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَاسْئَلُوهُ مِنْ فَضْلِهِ يُعْطِكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ
@mpa/laduni.id