Search
Close this search box.

Komnas Haji: Pemerintah Harus Proaktif Soal Kebijakan Saudi

Suasana Masjidilharam di tengah pandemi Covid-19./republika.co.id/ist.

Bagikan :

VISI.NEWS – Pemerintah Arab Saudi membuka kembali umrah secara bertahap mulai 4 Oktober 2020. Namun, penyelenggaraan umrah fase pertama itu hanya diperuntukkan bagi warga Saudi dan ekspatriat. Seiring dengan keputusan membuka umrah di tengah pandemi ini, Saudi juga meluncurkan aplikasi umrah bernama I’tamarna. Aplikasi tersebut mengatur masuknya jemaah umrah, jemaah salat, hingga pengunjung.

Menanggapi ini, Ketua Komnas Haji dan Umrah, Mustolih Siradj, mengatakan bahwa semua perubahan yang terjadi terkait penyelenggaraan umrah harus dibicarakan melalui pemerintah ke pemerintah (G to G). Dalam hal ini, ia menekankan agar pemerintah Indonesia terus proaktif menyikapi kebijakan-kebijakan Saudi terkait umrah tersebut, sembari terus menyiapkan regulasi yang kompatibel dengan situasi saat ini.

“Misalnya, dengan sesegera mungkin menerbitkan protokol umrah secara komprehensif dari pendaftaran, pemberangkatan, penyelenggaraan ibadah sampai pemulangan,” kata Mustolih, Jumat (2/10) seperti dilansir Republika.co.id.

Terkait dengan aplikasi umrah yang dirilis Saudi, Mustolih berpandangan bahwa umrah di masa depan memang akan berbasis digital, sebagai konsekuensi dari migrasi sistem konvensional ke sistem digitalisasi ekonomi. Karena selain ibadah, penyelenggaraan umrah juga harus dipahami sebagai kegiatan bisnis.

Ia mengatakan, era ekonomi digital mengandalkan kecepatan dan efisiensi. Hal itu harus segera ditanggapi oleh pemerintah Indonesia, sebagaimana ketika sistem haji berubah menjadi E-Hajj.

Maka, menurutnya, integrasi data mutlak terjadi tidak bisa terhindarkan. Sebagai konsekuensinya, karena Saudi merupakan negara tujuan/tuan rumah, pemerintah Indonesia mau tidak mau harus menyesuaikan.

“Poin terpenting dari sistem elektronik semacam ini adalah pentingnya perlindungan data jemaah jangan sampai bocor. Karena banyak data pribadi yang merupakan wilayah konfidensial. Misalnya data biometrik, riwayat kesehatan, dan sebagainya,” ujarnya.

Selain syarat protokol kesehatan yang ketat, Saudi memberikan ketentuan bahwa jemaah umrah yang diperbolehkan dibatasi, yakni antara usia 18-65 tahun. Mustolih menilai, ketentuan pembatasan usia tersebut tidak lepas dari pandemi Covid-19.

Baca Juga :  Bocoran Menteri PU: Prabowo Berkantor di IKN 17 Agustus 2028

Pasalnya, jemaah di atas usia 65 tahun merupakan kelompok usia yang rentan terpapar virus corona, terlebih bagi mereka yang memiliki penyakit bawaan. Sedangkan usia di bawah 18, kata dia, menyangkut kedisiplinan calon jemaah dalam menjalankan protokol kesehatan dalam proses menjalankan ibadah umrah.  

Pembukaan umrah ini dilakukan dalam 3 fase. Fase pertama dibuka 4 Oktober 2020 dengan kuota sebanyak 6.000 orang per hari. Selanjutnya, fase kedua pada 16 Oktober 2020 sebanyak 15 ribu jemaah. Fase ketiga umrah dilaksanakan pada 1 November 2020 dengan kuota sebanyak 20 ribu jemaah.

Jemaah mancanegara akan mulai diizinkan umrah di fase ketiga. Namun demikian, pemerintah Saudi sendiri belum menentukan negara mana saja yang tidak diperbolehkan mengirim jemaahnya ke tanah suci. Mustolih berpandangan, bisa jadi Indonesia berada di kelompok negara yang dicegah mengirimkan jemaah umrah, apabila penanganan Covid-19 di tanah air masih belum kunjung membaik. Namun demikian, hal demikian menurutnya harus terus dibicarakan dengan pihak pemerintah Saudi.

“Sebab, Arab Saudi memiliki kepentingan menjaga teritorialnya dari pandemi, atau dengan kata lain umrah jangan sampai menjadi cluster baru Covid-19,” tambahnya. @fen

Baca Berita Menarik Lainnya :