VISI.NEWS | BANDUNG – Guru Besar Ilmu Hukum dari Universitas Lampung (Unila), Prof. Rudy, menyatakan bahwa proses pembentukan Undang-Undang (UU), Peraturan Pemerintah (PP), dan Peraturan Menteri (Permen) di Indonesia selama ini sering kali kurang melibatkan masyarakat yang menjadi objek terdampak aturan. Hal ini disampaikannya pada Rabu (26/6/2024).
“Ini berarti peraturan perundang-undangan tersebut (UU, PP, Permen) tidak mengikutsertakan masyarakat dalam pembentukannya atau kurangnya partisipasi publik sebagai salah satu syarat peraturan perundang-undangan yang baik,” ungkap Prof. Rudy.
Menurutnya, peraturan-peraturan dalam nomenklatur peraturan perundang-undangan yang berbeda ini sering menimbulkan polemik akibat kurangnya suara publik. Dia mencontohkan dengan adanya penolakan terhadap RUU Penyiaran, PP Tapera, hingga Permendikbud tentang UKT.
“Untuk RUU Penyiaran memang ada indikasi penundaan karena tekanan publik. Sedangkan untuk Tapera dan UKT bukan termasuk RUU karena Tapera yang dipermasalahkan adalah PP sebagai turunan dari UU Tapera yang sudah sejak tahun 2016 disahkan. UKT permasalahannya di peraturan menteri yang mengatur soal UKT,” jelasnya.
Prof. Rudy menekankan bahwa untuk menyelesaikan polemik RUU, perlu dilakukan pendalaman permasalahan yang ada, terutama yang menjadi poin penolakan publik. “Jika sudah disahkan seperti UU Tapera, maka bisa diajukan pengujian UU, sedangkan Permen UKT tinggal diganti saja karena kewenangannya penuh di menteri,” tambahnya.
Dia juga mengungkapkan bahwa proses pembentukan UU tidaklah mudah karena terdapat berbagai tahapan yang perlu dilalui hingga pengesahan. Rudy menyoroti bahwa jika suatu UU disahkan dengan penghapusan pasal secara langsung, maka berpotensi terjadi kekosongan hukum dari pasal yang berkait.
“Kekosongan hukum (terjadi) dari penormaan pasal yang bermasalah tersebut. Kekosongan ini bisa berlangsung lama karena perubahan UU memiliki syarat-syarat tertentu, misalnya salah satunya usia UU,” jelasnya.
Terkait jangka waktu penundaan RUU, Prof. Rudy menyebutkan bahwa penundaan yang terlalu lama juga tidak baik karena dapat menyebabkan nasib RUU tersebut menjadi serupa dengan pembentukan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang memakan waktu puluhan tahun sebelum disahkan.
“Akibatnya Indonesia puluhan tahun memakai produk kolonial dalam mengatur hukum pidana,” terang Ketua Lakpesdam PWNU Lampung itu.
Dalam konteks ini, Prof. Rudy mengajak semua pihak untuk lebih memperhatikan dan melibatkan masyarakat dalam setiap tahap pembentukan peraturan perundang-undangan agar hasilnya lebih baik dan dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat.
@maulana