Search
Close this search box.

Lawan Krisis Iklim dengan Pelestarian Pangan Lokal dan Konservasi Mata Air

Bagikan :

VISI.NEWS | JAKARTA – Hari Pangan Sedunia yang diperingati setiap 16 Oktober menjadi momentum untuk merenungkan kembali arti pangan. pada tahun ini FAO mengangkat Water is Life, Water is Food, Leave No One Behind sebagai tema peringatan hari pangan sedunia. Pada hari pangan ini FAO menyoroti air sebagai fondasi kehidupan dan makanan. Dengan peringatan hari pangan sedunia diharapkan mendorong kesadaran masyarakat dunia tentang pentingnya mengelola air secara bijak karena ketersediaan sumber daya yang berharga ini semakin terancam dengan urbanisasi pertumbuhan penduduk yang pesat, pembangunan ekonomi dan perubahan iklim.

Tantangan besar yang dihadapi negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, adalah krisis multidimensi berupa perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, pandemi, melebarnya kesenjangan ekonomi, ketidakstabilan sistem keuangan, kelangkaan pangan, ekstremisme ideologis, dampak sosial yang merusak dari digitalisasi, meningkatnya kerusuhan sosial dan politik, migrasi paksa berskala besar, dan meningkatnya bahaya perang serta kolonialisme. Pangan menjadi salah satu sektor yang memicu serta sekaligus mendapatkan ancaman serius dengan krisis multidimensi tersebut.
Pada dimensi krisis iklim, masyarakat lokal harus berhadapan dengan ketidakpastian lingkungan hidup. Tahun ini misalnya, menurut BMKG sumber suhu panas yang terjadi sejak awal Mei lalu disebabkan oleh fenomena El Nino yang berpotensi membuat kemarau panjang di tahun 2023. Kemarau panjang diperkirakan akan menyebabkan kekeringan di sebagian besar wilayah Indonesia.

Dampak terbesar dari kemarau panjang tersebut adalah terjadinya penurunan produksi pangan dan krisis pasokan air bersih. Masyarakat lokal yang tinggal di wilayah paling terdampak harus beradaptasi dengan fenomena tersebut dengan sangat sedikit pilihan yang mampu diambil.
Sektor pertanian di Indonesia sangat rentan terhadap perubahan iklim. Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat yang rawan kekeringan, merupakan provinsi yang paling berisiko mengalami kerawanan pangan (USAID, 2022).

Koalisi Pangan Baik telah mengkaji persepsi masyarakat terkait dampak perubahan iklim di Kabupaten Flores Timur, dengan lokasi pengambilan sampel data meliputi Desa Kawalelo, Desa Aransina, Desa Hewa, dan Desa Hokeng Jaya. Hasilnya, pertanian tidak optimal dalam kondisi seperti ini. Curah hujan yang tidak bisa diprediksi berdampak pada ketersediaan air untuk kegiatan pertanian. Masyarakat merasakan musim kemarau yang berkepanjangan berdampak pada kekeringan lahan budidaya pertanian. Hal ini menyebabkan sering terjadinya gagal panen. Di samping itu, beberapa tahun terakhir terjadi intensitas hujan yang tinggi namun jumlah hari hujan yang pendek sehingga menyebabkan banjir.

Baca Juga :  Unggul Quick Count Pilgub, Dedi Mulyadi Ucapkan Terima Kasih kepada Warga Jabar

Keberagaman Pangan Lokal
Indonesia memiliki tingkat keragaman yang sangat tinggi. Terkait keanekaragaman hayati, data dari Badan Pangan Nasional 2023 menunjukan bahwa Indonesia memiliki 77 jenis tanaman pangan sumber karbohidrat, 75 jenis sumber protein, 26 jenis kacang-kacangan, 389 jenis buah-buahan, 228 jenis sayuran, serta 110 jenis rempah dan bumbu, serta 40 jenis bahan minuman.

Indonesia adalah rumah bagi 50 – 70 juta masyarakat adat, sekitar 18 – 25% dari total populasi (IWGIA, n.d). Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki keberagaman sumber daya alam yang berlimpah dengan masyarakat yang multikultur. Hal tersebut mendorong terbentuknya keberagaman pengetahuan dan kearifan lokal masyarakat Indonesia. Namun, tantangan krisis multidimensi memberikan pengaruh besar pada pengetahuan asli dan lokal yang telah dimiliki oleh masyarakat Indonesia. Hal tersebut ditandai dengan adanya interupsi terhadap pengetahuan lokal masyarakat saat bersentuhan dengan keadaan krisis tersebut, termasuk sektor pangan.

Maria Mone Soge, sebagai salah satu Local Champion Koalisi Pangan Baik, dalam rilis yang diterima VISI.NEWS, Jumat (20/10/2menyampaikan peningkatan ketahanan masyarakat melalui sumberdaya lokal menjadi sangat penting. Pangan lokal dapat membantu masyarakat dalam menghadapi perubahan iklim dengan meningkatkan ketahanan pangan dan kemandirian komunitas. Dalam situasi krisis seperti bencana alam atau perubahan cuaca yang ekstrem, memiliki akses terhadap pangan lokal yang beragam dapat menjadi pertahanan dalam menjaga ketersediaan pangan masyarakat.

“Pangan lokal mampu tumbuh dan beradaptasi dengan kondisi iklim dan lingkungan setempat. Keanekaragaman hayati yang telah beradaptasi dengan iklim lokal biasanya lebih tahan terhadap perubahan iklim. Dengan mempertahankan produksi pangan lokal, komunitas dapat mengurangi ketergantungan pada pangan impor dan mempertahankan akses terhadap sumber daya pangan dalam menghadapi perubahan iklim yang tidak pasti, ” ujar Maria.

Baca Juga :  Maskapai di Palembang Siap Turunkan Harga Tiket Pesawat Selama Nataru

Sementara itu, Manajer Program Ekosistem Pertanian Yayasan Kehati, Puji Sumedi menyampaikan pentingnya keberagaman pangan lokal juga menjadi pesan kuat yang harus kita lakukan sebagai salah satu aksi mengatasi krisis iklim dan tantangan pangan dan pertanian. “Pentingnya menjaga keanekaragaman hayati dan biodiversitas lingkungan menggambarkan bahwa ketahanan pangan masyarakat menjadi lebih kuat ketika tersedia beragam pangan lokal. Ketika gagal panen terjadi pada satu jenis tanaman tertentu akibat perubahan iklim atau bencana lainnya, masih ada beberapa jenis lain yang bisa menjadi cadangan pangan untuk dikonsumsi” ungkap Puji.

Adapun, Said Abdullah, Koordinator Nasional Koalisi Rakyat Untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) mengemukakan bahwa Indonesia akan menghadapi bonus demografi pada beberapa tahun ke depan, antisipasi krisis tersebut terutama yang menyangkut sektor pertanian dan pangan menjadi keniscayaan. Tidak hanya karena lebih dari setengah penduduknya bergantung pada sektor ini namun juga karena krisis tersebut dapat berdampak pada sistem pertanian dan pangan nasional.

“Gangguan pada sistem pertanian dan pangan turut mempengaruhi derajat kesehatan dan ketahanan pangan masyarakat. Data FAO, UNICEF, WHO, IFAD, dan WFP menunjukkan sekurangnya terdapat 735 juta orang kelaparan saat ini. Sebanyak 1/3 penduduk dunia tidak memiliki akses makanan memadai. Terdapat 150 juta anak balita stunting dan sebanyak 45 juta anak mengalami wasting. Situasi tersebut terjadi karena adanya gangguan pada sistem pertanian dan pangan” kata Said

Aksi Iklim oleh Local Champion
Komunitas anak muda Gebetan (Gerep Blamu Tapobali Wolowutun) di Desa Tapobali, Kabupaten Lembata, menanam sorgum dan beberapa tanaman pangan lokal lainnya sebagai bentuk pelestarian pangan lokal yang adaptif terhadap perubahan iklim. Meskipun kondisi topografi Desa Tapobali cenderung kering dan berbatu, mereka tak patah semangat.

Mereka menyadari sorgum merupakan solusi alternatif bagi desa mereka, di mana tanaman pangan yang butuh banyak air seperti padi sulit tumbuh. Selain untuk konsumsi sehari-hari, dari tanaman pangan ini, Gebetan juga merintis wirausaha berbasis pangan lokal. Mengingat pentingnya air bagi kehidupan, komunitas ini juga mengkonservasi mata air dengan menanam bambu dengan mengajak tokoh masyarakat, tokoh adat, anak muda dan kelompok perempuan.

Baca Juga :  Menko ESDM Bahlil: Kabar Penutupan SPBU Shell di Indonesia Hanya Isu Belaka

Maria Mone Soge dari Desa Hewa, Kabupaten Flores Timur, memimpin anak-anak muda lainnya untuk menanam, mengolah dan menjual pangan lokal dan mengkampanyekannya ke masyarakat sekitar.

Anak-anak muda ini sadar bahwa keberagaman pangan lokal merupakan salah satu solusi dalam menghadapi perubahan iklim. Menamakan kelompoknya sebagai WeTan HLR (Hewa Lewo Rotan), anak-anak muda ini juga menanam pucuk merah di sekitar desa dan menanam bambu di sekitar aliran sungai dan mata air desa mereka sebagai upaya konservasi air dan mengurangi konflik rebutan air akibat kekeringan.

Beralih ke Flores bagian barat, komunitas anak muda yang tergabung di Momang Lino di Manggarai melakukan sosialisasi perubahan iklim di sekolah, kampus, desa dan berbagai pameran. Mereka menunjukkan apa yang telah mereka lakukan di desa masing-masing: menanam dan mengolah berbagai pangan lokal, mendokumentasikan benih-benih lokal dan merintis wirausaha pangan lokal.

Advokasi ke pemangku kebijakan juga dilakukan oleh Momang Lino. Mereka berharap pemerintah lebih sadar akan dampak perubahan iklim dan mau membantu masyarakat agar mampu bertahan menghadapi perubahan iklim, terutama dalam sektor pangan dan pertanian.

Berbekal pengetahuan lokal dan informasi yang dimiliki, upaya melawan krisis iklim telah diinisiasi oleh para Local Champion di Flores dan Lembata. Menghadapi tantangan ke depan harus dilakukan upaya perubahan dengan kolaborasi aksi bersama anak-anak muda.

Menjadi tidak berarti apa-apa ketika program dan kebijakan diarahkan hanya pada peningkatan produksi sementara petani, perempuan dan kaum muda di desa terus miskin dan bisa jadi kemudian mati.
Pelibatan kelompok rentan seperti anak muda, perempuan, kelompok disabilitas dan masyarakat adat menjadi penting dalam memperkuat ketahanan pangan di tengah ancaman perubahan iklim. Kelompok ini seringkali tidak direkognisi, tidak didengar suaranya, atau bahkan dipandang sebagai aktor yang tidak penting. Memastikan bahwa tidak ada pihak atau kelompok yang tertinggal atau dipinggirkan adalah keharusan dalam mewujudkan transisi iklim yang berkeadilan.

@mpa

Baca Berita Menarik Lainnya :