VISI.NEWS | BANDUNG – Masih banyak penghulu di Jawa Barat yang belum memenuhi kompetensi dasar, seperti kemampuan membaca Al-Qur’an, pemahaman fikih munakahat, serta penguasaan pada teknologi informasi. Karena itulah dibutuhkan kajian-kajian yang dapat meningkatkan kapasitas para penghulu yang akan berdampak pada peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat.
Demikian dikemukakan Subkoordinator Seksi Kepenghuluan Kanwil Kementerian Agama Jawa Barat, Dedi Slamet Riyadi, M.Ag., ketika berbicara dalam acara Kajian Munakahat di Bulan Ramadan melalui aplikasi zoom, Selasa (5/4/2022).
Kegiatan tersebut dibuka Kabag Tata Usaha Kanwil Kemenag Jabar, Drs. H. Ajam Mustajam, didamping Kabid Urais, Drs. H. Ahmad Patoni. Acara tersebut bekerja sama dengan Apri Jabar.
Menurut Dedi, ketika uji kompetensi berlangsung, ketika para penghulu ditanya tentang ayat Al Quran yang menjadi dasar hukum persyariatan nikah, malah yang dikemukakan ayat tentang kebolehan poligami yakni QS An-Nisa: 3.
“Padahal dalam Al Quran banyak ayat yang menjadi dasar tentang pernikahan. Demikian juga hadis-hadis Nabi saw.,” katanya, dilansir dari laman jabarkemenag.go.id.
Selain itu, lanjutnya, di antara para penghulu banyak yang ketika menyampaikan mukadimah sebelum pernikahan, seringkali mengulang-ulang tema khutbah yang sama. Mengulang ayat dan hadis yang itu-itu saja. Para penghulu harus belajar membuat variasi tema, supaya apa yang disampaikannya tidak monoton.
“Kepada para penghulu yang terbiasa menulis, silakan membagikan teks khutbah nikahnya yang variatif. Banyak ayat Al Quran dan hadis yang bisa dikutip. Banyak penghulu yang sering mengutip QS Ar-Rum ayat 21, misalnya. Tapi sayangnya, ketika ditanya bagaimana penjelasannya, banyak yang tidak tahu. Itu salah satu permasalahan kita,” ujarnya.
Kitab Nikah
Pada kesempatan tersebut, Dedi Slamet Riyadi juga membahas “Kitab Nikah” yang ditulis Syekh Muhammad bin Taqiyuddin Abubakar Ad-Dimasqy. Dedi mengupas tentang arti asal dari “nikah” yang berarti penyatuan. Secara syariat, hal itu berarti sebuah ikatan atau perjanjian. Di dalamnya terdapat beberapa rukun dan syarat.
Dipergunakan secara umum dipakai juga untuk menyebutkan akad dan jimak (persetubuhan). Akad berarti ikatan, yaitu mengikat laki-kaki dan perempuan. Suatu perjanjian yang agung. Ketika terikat, tidak jadi lagi manusia bebas semaunya. Di antara keduanya terdapat hak masing-masing dan kewajiban yang harus dipahami dengan baik.
Para ulama berbeda pendapat tentang hakikat pernikahan. Apakah nikah itu akad ataukah persetubuhan? Sebagian ulama berpendapat, hakikat penikahan itu ialah jimak. Kelompok kedua, memandang hakikat penikahan adalah akad. Sementara kelompok ketiga, berpendapat baik akad ataupun jimak memiliki kesetaraan. Pendapat yang paling sahih adalah yang menyebutkan akad sebagai hakikat pernikahan.
Dedi juga menjelaskan tentang pernikahan beda agama. Menurutnya, sejak dulu masalah ini sudah ada. Al Quran sudah menyatakan keharaman pernikahan seperti itu. Islam sudah membuat aturan tegas untuk menjaga keutuhan, kebaikan, dan kesejahteraan komunitasnya. Karena itu, persoalan ini tidak ada lagi tawar -menawar.
“Islam menetapkan, seorang Muslim tidak boleh menikahi non-Muslim. Dalam urusan ini, hanya ada pilihan, ambil atau tinggalkan. Silakan yang non-Muslim masuk Islam, atau yang Muslim keluar dari Islam. Itu pilihannya. Tidak ada tawar menawar,” tegasnya.
Sementara itu saat membuka acara tesebut, Ajam Multajam menyampaikan dua hal penting. Pertama, kajian ilmu itu hendaknya jangan hanya untuk memenuhi kepuasan peribadi. Tapi juga untuk masyarakat yang dilayani. Kedua, selaku ASN harus mengutamakan pelayanan lebih baik kepada masyarakat.
“Karena itu, kajian-kajian yang akan disampaikan hendaknya juga menyangkut hal-hal berkaitan dengan hak dan kewajiban pelayanan. Juga dibahas tentang dosa jika meninggalkan pelayanan. Selaku ASN, kita harus bisa memberikan kepuasaan pelayanan pada umat di wilayah masing-masing,” tutur Ajam Multajam. @fen