Search
Close this search box.

Membaca Ika Ismurdiyahwati

Bagikan :

Oleh Dr. Anna Sungkar

DALAM tradisi Aristoteles, manusia didefinisikan sebagai hewan rasional, yang mempunyai bahasa sehingga dapat hidup sebagai makhluk sosial dalam komunitas bersama dengan rekan-rekannya. Heidegger mengembangkan pemikiran Aristoteles ini menjadi konsep zoe, yaitu makhluk hidup yang memiliki dan terasuki oleh ucapan atau bahasa. Demikian juga zoe merupakan konsep meng-Ada, khususnya bagaimana manusia menjadi “hidup” dalam artian “meng-Ada (exist) di dunia”. Bagi Heidegger, exist di dunia atau berada-dalam-dunia didefinisikan melalui berbicara. Cara mendasar keberadaan manusia dalam dunianya adalah berbicara tentang dirinya kepada orang lain. Dalam bukunya “Being and Time”, ia mengatakan untuk exist, manusia itu harus berbuat sesuatu, menghasilkan sesuatu, berjumpa dengan seseorang, berdiskusi, mendefinisikan sesuatu, membuat sesuatu menjadi berguna, menyimpan sesuatu dan melepaskan sebagian benda-benda yang dulu melekat padanya. Dengan itu, dunia adalah suatu realitas ciptaan manusia yang terdiri atas teman-teman, rumah, hobi, buku bacaan, pemikiran, tontonan, kucing peliharaan, yang ada dalam “alam pikirannya”. Artinya, dunia adalah kita sendiri yang membangunnya dan kemudian kita sendiri yang mengisinya.

Paragraf di atas merupakan pembuka untuk memahami mengapa Ika Ismurdiyahwati berkarya. Ia berkarya karena mempunyai persepsi tersendiri terhadap dunia dan kemudian ia sampaikan wacana atau diskursusnya itu kepada orang lain melalui karya seni. Diskursus itu berupa simbol-simbol yang berguna untuknya agar dapat menyampaikan wacananya secara bebas. Namun di balik itu, pemirsa juga mempunyai hak untuk membaca simbol-simbol tersebut secara berbeda. Atau barangkali pembacaan pembaca atas simbol menjadi berbeda 180 derajat dengan yang dimaksud Ika pada awalnya. Itu menjadi sebuah resiko yang tidak bisa dihindari. Paul Ricoeur melihat dunia itu sebagai sebuah “text” yang harus “dibaca” atau ditafsirkan. Demikian pula dalam melihat manusia, sejauh keberadaan manusia diekspresikan melalui wacana atau diskursus, maka wacana itu sesungguhnya merupakan suatu undangan manusia untuk menafsirkan orang atau manusia lain. Dengan itu, menafsir simbol-simbol yang disampaikan Ika dapat juga menjadi piranti untuk “membaca” Ika sebagai manusia. Menurut Gadamer, kehidupan manusia itu adalah sebuah struktur tafsir atau hermeneutika.

Baca Juga :  5 Jus Mujarab untuk Asam Urat dan Kolesterol Tinggi

Ika menggunakan benda-benda dalam kehidupan sehari-hari: tali, rajutan, batu, kaca, kawat berduri, kursi, sarung tangan, dan ruangan itu sendiri, sebagai simbol-simbol untuk menyampaikan diskurus tentang dirinya sebagai perempuan dan sebagai anggota masyarakat. Walau Ika seorang intelektual dan mendapat kesempatan menempuh pendidikan S3 yang jarang didapati oleh perempuan Indonesia pada umumnya, namun ia merasakan adanya keterbatasan yang tetap melekat pada dirinya. Atau bisa saja ia tidak mengalami pembatasan dari masyarakatnya, namun ia melihat banyaknya hambatan atau keterbatasan yang masih dialami perempuan pada umumnya. Memang hal itu terjadi. Bahwa masyarakat Indonesia masih menganut budaya patriarki yang seringkali menempatkan perempuan di bawah laki-laki.

Hal itu pernah terjadi Inggris, alkisah ada seorang perempuan bernama Mary Wollstonecraft yang lahir pada tahun 1759 di London. Ayahnya membuang-buang uang untuk membeli minuman dan melakukan kekerasan kepada ibunya ketika mabuk. Mary hanya disekolahkan sampai SD saja untuk belajar membaca dan menulis. Sementara kakaknya Ned, dikirim ke sekolah yang bagus di mana ia menerima pendidikan penuh. Dengan sekolah yang minim, pekerjaan yang tersedia untuk Mary hanyalah pembantu rumah tangga. Sehingga Mary kemudian belajar secara otodidak. Selanjutnya, ia mulai menulis. Dalam semua tulisannya, ia menganjurkan pendidikan yang lebih baik bagi anak perempuan, agar mendapatkan pekerjaan yang lebih terhormat. Pada tahun 1785 Mary Wollstonecraft akhirnya membangun sekolah sendiri di Stoke Newington di mana ia bertemu orang-orang seperti Thomas Paine, Dr. Richard Price, William Godwin (kemudian menjadi suaminya), yang semuanya merupakan pengagum filsuf besar John Locke yang berpendapat bahwa manusia mempunyai hak yang sama untuk laki-laki dan perempuan. Tidak hanya itu, Mary kemudian menggunakan seni sebagai alat perjuangannya, ia menulis puisi, novel, dan buku anak-anak serta esei-esei filosofis.

Baca Juga :  Pilkada 2024, Pakar Komunikasi Stikosa AWS Ingatkan Potensi Hoaks Berbasis AI

Mary Wollstonecraft berpendapat bahwa perempuan berhak atas pendidikan setara dengan laki-laki yang sesuai dengan posisinya di masyarakat. Karena ia berpendapat selama ini perempuan diindoktrinasi sejak kecil untuk percaya bahwa kecantikan adalah gerbang kerajaan wanita, sedangkan tubuh mereka sudah bukan miliknya lagi, tetapi akan terkunci dalam sangkar emas yang merupakan penjara kerajaan laki-laki. Menarik bahwa Mary menggunakan seni untuk melepaskan diri dari penjara itu. Leo Tolstoy seorang novelis terkenal Rusia mengatakan, “seni adalah aktivitas di mana seseorang, setelah mengalami emosi, dengan sengaja mentransmisikannya kepada orang lain”. Selama hidupnya, Tolstoy dikenal menulis berdasarkan pengalaman hidupnya, seperti karyanya yang paling terkenal, “War and Peace” yang banyak menggunakan pengalamannya selama Perang Krimea. Dan apakah definisi seni menurut Tolstoy adalah yang terbaik atau tidak, intinya adalah orang melihat seni berdasarkan bagaimana mereka mengalaminya. Frank Lloyd Wright, arsitek terkenal yang tinggal di Chicago, ketika ia hidup pernah mengatakan bahwa seni itu sebuah penemuan dan pengembangan prinsip-prinsip dasar alam agar menjadi bentuk-bentuk indah yang cocok untuk digunakan manusia. Sementara, Elbert Hubbard beranggapan bahwa seni itu bukan sesuatu, tetapi ia adalah suatu cara. Sebuah penguasaan, cara ideal dalam melakukan sesuatu. Itulah kiranya yang sedang dilakukan Ika dalam mencipta karyanya.

Penggunaan benang, tali, kawat berduri merupakan simbol-simbol yang merefleksikan belenggu masyarakat terhadap perempuan. Dan hal itu diperkuat dengan lilitan dan rajutan yang menyimbolkan penjara terhadap kiprah perempuan demikian struktural sehingga ia nampak indah namun sebenarnya suatu bencana bagai kebebasan dan keleluasan perempuan. Batu, walau ia nampak sekilas sebagai pemberat dari rajutan, namun benda itu juga dirajut oleh struktur masyarakat sehingga ia tetap beku dan tidak bergerak. Kiranya itulah makna yang terbaca dari karya-karya Ika dalam pameran ini. Terasa ada fleksibilitas dalam instalasi karya yang disesuaikan dengan ruang namun esensinya tetap sama: keinginan untuk membebaskan diri dari belenggu yang dibalut oleh norma-norma, aturan, tabu, dan sanksi sosial yang berusaha mengekang perempuan untuk maju lebih jauh.

Baca Juga :  Polisi di Sukabumi Robohkan Rumah Reyot Milik Nenek Juariah untuk Dibangun Kembali

Sudah menjadi teorema umum bahwa karya seni yang baik adalah karya yang menunjukkan keseimbangan antara aspek diskursus dengan sisi estetis. Dalam mengejawantahkan lilitan yang membelenggu, Ika menggabungkan unsur yang kasar seperti batu, kaca dan kawat dengan unsur yang halus yaitu rajutan benang. Dari sana tercipta puisi yang mengambarkan peristiwa tarik menarik antara yang kasar dengan yang halus, yang keras dengan yang lembut. Lilitan-litan itu pun mempunyai pola, yaitu pola menyilang dan memancar. Hal itu untuk mengundang tanya dan curiosity ke pemirsa bahwa ada lilitan yang menuju atau keluar dari pusat, atau ditarik dan menarik beban, dalam hal ini kaca. Penggunaan warna putih pada lilitan juga mengesankan mata sehingga karya terlihat menonjol dalam merespon ruang. Selanjutnya, kita serahkan ke pemirsa apakah mereka merasakan adanya himpitan atau belenggu yang sama setelah melihat karya-karya Ika ini. Atau sebaliknya, pemirsa justru merasa tercerahkan dengan instalasi yang disuguhkan.***

  • penulis, kurator seni rupa.

Baca Berita Menarik Lainnya :