Oleh Abdul Majid Ramdhani
BANTEN dikenal sebagai tanah para jawara — keras, gagah, dan penuh semangat perjuangan. Namun, di balik ketegasan itu, Banten juga menyimpan kelembutan yang datang dari para ulama. Di sanalah, kekuatan ilmu dan keberanian berpadu menjadi satu. Salah satu nama besar yang tak boleh dilupakan dari tanah ini adalah KH. Muhammad Thohir, pendiri Pondok Pesantren Pelamunan — kini dikenal sebagai Pondok Pesantren Moderat At-Thohiriyah di Serang, Banten. Pesantren ini berdiri sejak tahun 1929, menjadi saksi perjalanan panjang dakwah, keilmuan, dan khidmah Abuya Thohir bagi umat.
“Abuya Thohir lahir di Kampung Bale Batu, Taktakan, Serang, sekitar tahun 1898,” tutur KH. Mochammad Thohir, Lc., salah satu dzuriyat sekaligus Dewan Pengasuh Pondok Pesantren At-Thohiriyah Pelamunan. Dari garis keturunan yang bersambung pada para ulama besar, Abuya Thohir tumbuh di lingkungan yang sarat nilai keagamaan. Ayahnya, Abuya Sayyidi bin Abuya Abdul Hayyi, dikenal luas sebagai sosok alim dan zuhud. Dari sinilah, semangat mencari ilmu dan berkhidmah itu tumbuh dan berakar dalam jiwa muda Thohir kecil.
Perjalanan ilmunya tak berhenti di Serang. Abuya muda menapaki jalan panjang thalabul ‘ilmi ke berbagai pesantren. Salah satu guru yang paling berpengaruh dalam hidupnya adalah Syekh Tubagus Ma’mun Al-Bantani, ulama besar dari Lontar. Dari beliau, Abuya Thohir menimba ilmu Al-Qur’an secara talaqqi hingga mendapat sanad yang bersambung kepada para ulama qira’at di Makkah. Suatu hari, gurunya berkata dengan nada berpesan, “Jika engkau ingin menyempurnakan ilmu ulumul Qur’an dan qira’atmu, sementara aku sudah tiada, pergilah ke muridku di Buntet, Cirebon — namanya Kiai Abbas.”


Pesan itu diingat kuat oleh Abuya Thohir. Setelah menimba ilmu hadis kepada Hadrotus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari di Tebuireng, Jombang — ia hendak pulang ke Banten. Namun di tengah perjalanan, ia teringat pesan sang guru. Maka, alih-alih pulang, ia justru berbelok arah ke Cirebon, menuju Pondok Pesantren Buntet. Di sana ia bertemu KH. Abbas Buntet, ulama kharismatik sekaligus pejuang kemerdekaan. Kepada beliau, Abuya Thohir menyempurnakan ilmu Al-Qur’an dan kemudian dipercaya untuk mengajar kitab kuning. Dari sinilah tampak bahwa ilmunya tidak hanya mendalam, tapi juga diakui para guru besar sezamannya.
“Abuya Thohir bahkan memondokkan dua putranya, KH. Jueni dan KH. Zaini, di Pesantren Buntet. Itu bentuk rasa hormat dan keyakinannya pada sanad keilmuan,” kenang Kiai Mochammad Thohir. Keikhlasan Abuya dalam mencari ilmu menjadi teladan turun-temurun. Ia bukan hanya belajar, tapi juga menghidupkan ilmu itu kembali di tanah kelahirannya.
Sekembalinya ke Banten, Abuya Thohir meneruskan pesantren ayahnya di Bale Batu. Namun, santri yang datang makin banyak. Persediaan air di daerah itu menipis, membuat aktivitas belajar terganggu. “Kiai Ya’qub, salah satu muridnya, memberi saran agar beliau pindah ke Pelamunan,” ujar Kiai Mochammad Thohir. Di sana air melimpah, tanah subur, dan aksesnya mudah dijangkau. Maka, pada tahun 1929 M, Abuya Thohir mendirikan Pondok Pesantren Pelamunan yang kelak menjadi salah satu pesantren tertua dan paling berpengaruh di Banten.
“Belum sah jadi kiai kalau belum pernah mengaji kepada KH. M. Thohir Pelamunan,” begitu ujar para ulama Banten zaman dulu. Ucapan itu bukan sekadar sanjungan, melainkan bentuk pengakuan atas keilmuan dan keberkahan sosok Abuya Thohir. Di bawah bimbingannya, ratusan santri datang dari berbagai penjuru, menimba ilmu agama dan akhlak. Suara tilawahnya merdu, bacaan shalatnya penuh kekhusyukan. Setiap Jumat subuh, ia membaca Surat As-Sajdah dan Al-Insan — tradisi yang masih dilestarikan santri At-Thohiriyah hingga kini.
Dari sisi keluarga, Abuya Thohir menikah dengan Nyai Siti Wasi’ah dari Pulo Ampel, Serang. Dari pernikahan itu lahirlah empat anak: KH. Jueni, KH. Zaini, Siti Maryam, dan KH. Lujaini. Dari merekalah, pesantren ini kemudian bercabang ke berbagai wilayah — termasuk Lampung, tempat KH. Jueni gugur sebagai syahid saat Agresi Militer Belanda II. Setelah Nyai Wasi’ah wafat, Abuya Thohir menikah dengan Nyai Anjar dari Ketengahan dan dikaruniai empat anak lagi, salah satunya Prof. KH. Yumni Thohir, tokoh Nahdlatul Ulama dan penceramah ulung yang dikenal hingga tingkat nasional.


Meski hidup di masa penjajahan, Abuya Thohir tetap mengajarkan cinta tanah air. Dalam setiap pengajiannya, ia menanamkan semangat perjuangan tanpa kehilangan kelembutan. Ia percaya, mencintai bangsa adalah bagian dari iman. Maka tak heran jika banyak muridnya yang kemudian ikut berjuang, baik di medan tempur maupun lewat pendidikan.
KH. M. Thohir wafat pada 25 Ramadhan 1961, meninggalkan warisan ilmu dan keteladanan yang terus hidup hingga kini. Namanya tetap harum di hati masyarakat Banten, bukan karena gelar atau jabatan, melainkan karena ketulusan dan keberkahannya.
Penamaan At-Thohiriyah pada pesantren ini bukan sekadar simbol, tetapi penegasan bahwa ruh perjuangan Abuya Thohir masih berdenyut di sana. Setiap lantunan ayat, setiap pengajian kitab kuning, seolah menjadi gema dari perjuangan sang pendiri — seorang ulama yang menyalakan lentera ilmu dari Pelamunan untuk menerangi Nusantara.
Dan jika hari ini kita menelusuri lorong-lorong pesantren At-Thohiriyah, mungkin kita masih bisa merasakan kehadiran beliau dalam setiap nafas perjuangan itu — tenang, tulus, dan selalu mengajarkan, bahwa ilmu sejati adalah yang disertai adab dan pengabdian.***












