VISI.NEWS | BANDA ACEH – Hari ini, Senin (26/12/2023), tepat 19 tahun lalu, Aceh mengalami bencana alam terparah dalam sejarahnya. Gempa bumi berkekuatan 9,3 SR yang terjadi di dasar Samudera Hindia pada 26 Desember 2004 pukul 07.58 WIB memicu gelombang tsunami setinggi 30 meter yang menerjang pantai-pantai di Aceh dan sekitarnya.
Tsunami tersebut merenggut nyawa lebih dari 220.000 orang, termasuk 170.000 orang di Aceh³. Selain itu, tsunami juga menghancurkan ratusan ribu bangunan, infrastruktur, dan fasilitas umum. Kerugian materi akibat bencana ini diperkirakan mencapai 4,5 miliar dolar AS.
Masyarakat Aceh yang selamat dari bencana tersebut masih mengingat dengan jelas momen-momen mengerikan yang mereka alami. Salah satunya adalah Siti Mutmainnah (47), seorang ibu rumah tangga yang tinggal di Banda Aceh. Ia mengatakan bahwa ia dan keluarganya sempat berlari ke arah masjid saat merasakan gempa yang sangat kuat.
“Kami kira itu hanya gempa biasa, tapi ternyata ada tsunami. Kami melihat air laut naik dan membawa banyak puing-puing. Kami panik dan berusaha mencari tempat yang tinggi. Alhamdulillah, kami bisa selamat di atap masjid, tapi banyak tetangga dan saudara kami yang hilang,” ujarnya.
Siti mengaku bahwa ia masih trauma dengan bencana tersebut. Ia sering mimpi buruk dan merasa takut jika ada gempa lagi. “Sampai sekarang, saya masih trauma. Saya selalu ingat wajah-wajah orang yang saya kenal yang menjadi korban. Saya juga takut jika ada gempa lagi, apalagi jika dekat dengan laut. Saya selalu waspada dan siap-siap untuk mengungsi,” katanya.
Siti bukanlah satu-satunya korban yang masih trauma. Suharyo (60), seorang nelayan yang tinggal di Meulaboh, juga mengalami hal yang sama. Ia mengatakan bahwa ia kehilangan istri dan dua anaknya akibat tsunami. Ia sendiri selamat karena sedang berada di laut saat itu.
“Saya tidak tahu apa yang terjadi saat itu. Saya hanya merasakan gempa yang lama dan keras. Saya lihat air laut surut dan naik lagi. Saya kira itu fenomena alam biasa. Tapi ternyata, itu adalah tsunami. Saya baru tahu ketika saya kembali ke darat. Saya lihat rumah saya sudah tidak ada. Istri dan anak-anak saya juga tidak ada. Saya sangat sedih dan shock,” tuturnya.
Haryo mengatakan bahwa ia sempat depresi dan tidak mau melaut lagi. Ia merasa tidak ada lagi artinya hidup. Namun, berkat bantuan dari keluarga, teman, dan relawan, ia bisa bangkit dan melanjutkan hidupnya. “Saya bersyukur masih ada yang peduli dengan saya. Mereka membantu saya untuk bangkit dan melaut lagi. Saya juga mendapat bantuan untuk membangun rumah baru. Saya berusaha untuk move on dan menjalani hidup yang normal,” ungkapnya.
Selain korban selamat, para relawan yang membantu proses evakuasi dan pemulihan juga memiliki kenangan yang mendalam tentang bencana tersebut. Andi (38), seorang relawan dari Jakarta, mengatakan bahwa ia tergerak untuk membantu Aceh setelah melihat berita-berita tentang bencana tersebut.
“Saya merasa prihatin dan simpati dengan kondisi Aceh. Saya melihat banyak orang yang menderita dan membutuhkan bantuan. Saya merasa harus berbuat sesuatu. Saya bergabung dengan organisasi relawan dan berangkat ke Aceh. Saya membantu proses evakuasi, pengobatan, dan distribusi logistik,” ceritanya.
Andi mengaku bahwa ia banyak melihat pemandangan yang menyayat hati saat berada di Aceh. Ia melihat banyak mayat yang berserakan, bangunan yang roboh, dan orang-orang yang kehilangan keluarga dan harta benda. Ia juga merasakan kesedihan dan keputusasaan yang dirasakan oleh korban.
“Saya tidak bisa melupakan apa yang saya lihat di sana. Saya sering menangis dan berdoa untuk mereka. Saya juga merasa kagum dengan semangat dan kekuatan mereka. Mereka tidak menyerah dan tetap berusaha untuk bangkit. Saya belajar banyak dari mereka. Saya belajar untuk bersyukur, berempati, dan berbagi,” ucapnya.
Bencana tsunami Aceh juga menjadi momentum bagi perdamaian di Aceh. Sebelum bencana tersebut, Aceh mengalami konflik bersenjata antara pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang berlangsung sejak 1976. Konflik tersebut menelan ribuan korban jiwa dan menghambat pembangunan di Aceh.
Setelah bencana tersebut, pemerintah dan GAM sepakat untuk mengakhiri konflik dan menandatangani nota kesepahaman damai di Helsinki, Finlandia, pada 15 Agustus 2005. Nota kesepahaman tersebut mengatur tentang penghentian permusuhan, pembentukan pemerintahan Aceh, pembagian kekayaan alam, dan penghapusan status darurat militer di Aceh.
Perdamaian tersebut membawa dampak positif bagi Aceh. Aceh menjadi lebih aman, damai, dan sejahtera. Pembangunan di Aceh juga semakin maju, baik di bidang infrastruktur, ekonomi, sosial, budaya, maupun pariwisata. Aceh juga mendapat otonomi khusus yang memberikan hak dan kewajiban bagi Aceh untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat.
Mengenang bencana tsunami Aceh, kita harus mengambil hikmah dan pelajaran dari peristiwa tersebut. Kita harus bersyukur atas nikmat hidup dan keselamatan yang diberikan oleh Allah SWT. Kita juga harus berempati dan peduli dengan sesama, terutama yang sedang mengalami kesulitan dan penderitaan. Kita juga harus menjaga perdamaian dan persatuan di negeri ini, serta menghindari konflik dan kekerasan yang dapat merugikan banyak pihak.
@lina