VISI.NEWS | BANDUNG – Delapan perempuan Nurmaya, Yulia Rosiana, Yuli Yasmi, Tan, Selvi, Laily Rosidah, Syahfitri, dan Erna, yang tergabung dalam Solidaritas Korban Jerat Kerja Paksa dan Perbudakan Siber menyurati Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 26 Juni 2024. Mereka minta tolong kepala negara untuk bisa membebaskan delapan Warga Negara Indonesia (WNI) yang masih dipekerjakan secara paksa dan disiksa oleh perusahaan penipuan daring yang beroperasi di Myawaddy, Myanmar.
“Sudah dua tahun kami menanti pembebasan dan kepulangan mereka. Kami tidak menunggu dengan hanya duduk manis. Kami sudah mengadukan apa yang dialami keluarga kami ke pemerintah; mulai dari Kementerian Luar Negeri–Direktorat Perlindungan Warga Negara Indonesia (Dit. PWNI), KBRI, Kepolisian, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), lembaga pengiriman tenaga kerja, hingga pemerintah daerah di tempat kami tinggal,” ungkap Nurmaya, salah seorang keluarga korban, kepada VISI.NEWS, Jumat (28/6/2024).
Keluarga dan sanak saudara mereka, kata Maya, dipekerjakan dan terperangkap di perusahaan di perbatasan Myanmar-Thailand, yang sedang dilanda konflik bersenjata. Setelah sampai di tempat itu, mereka menyadari bahwa mereka telah ditipu. Tidak seperti yang dijanjikan, mereka dipekerjakan secara paksa/diperbudak untuk melakukan penipuan di dunia maya. Pekerjaan tersebut jelas bertentangan dengan hati nurani. “Kami memang orang miskin, tapi kami tidak diajari untuk menipu, apalagi menipu bangsa sendiri,” ungkapnya.
Keluarga mereka, kata Maya, tidak bisa pulang ke rumah, terpaksa bertahan, bekerja di perusahaan yang seluruh penjaganya memegang senjata api. Akhirnya, yang bisa dilakukan adalah pasrah. “Beruntungnya, kami masih dapat berkomunikasi dengan mereka melalui telepon seluler secara sembunyi-sembunyi, melalui nomor yang digunakan perusahaan itu untuk melancarkan operasi penipuannya,” ungkapnya.
Dari komunikasi tersebut, Maya memgatakan, keluarga korban mendapat sedikit informasi tentang kondisi mereka yang sudah terperangkap di negeri asing, kondisi mereka sangat memilukan: disuruh bekerja selama 12 hingga 18 jam kerja; disiksa bila tidak memenuhi target dan dipaksa masuk ruang penjara/isolasi yang disebut sebagai “sel hitam”; dipukul dengan kayu pada bagian tubuh vital sehingga menyebabkan luka memar bahkan kehilangan fungsi tubuh seperti stroke berikut trauma mental yang mendalam; disetrum; disuruh berjalan jongkok berkali-kali sambil membawa galon berisi air; hanya diberi waktu istirahat/makan selama 15 menit; dan waktu untuk tidur hanya tiga jam sehari, bahkan tidak mendapatkan gaji sebagaimana yang dijanjikan serta tidak mendapatkan jatah libur. Selebihnya adalah menjadi budak yang terpenjara dari industri ini.
“Kami percaya bahwa tidak ada satu pun manusia yang pantas untuk disiksa dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat, karena sudah pasti merupakan tindakan melawan hukum. Tidak ada pembenaran apa pun untuk penyiksaan. Pada momentum Hari Anti Penyiksaan Sedunia sesuai dengan amanat tertinggi UUD 1945 Pasal 28G ayat (1) dan (2) serta Pasal 28I ayat (1) pada intinya setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia serta perlindungan pribadi dan keluarga,” ungkapnya.
Maka, pihaknya mendesak dan menuntut Pemerintah Negara Indonesia yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo untuk:
- Mengerahkan segala daya upaya untuk segera membebaskan dan mengevakuasi Warga Negara Indonesia yang terjebak dan dipekerjakan secara paksa di Perusahaan Penipuan Daring di Myanmar mengingat bahwa sudah dua tahun mereka berada di sana dengan kondisi buruk, mengalami penyiksaan dan perendahan martabat.
- Meminta Pemerintah Indonesia dan Kepolisian untuk dapat menangkap segera para mafia yang mengatur dan memberangkatkan pekerja, yang saat ini masih berkeliaran, mengingat kami sudah melaporkan tindak pidana yang telah mereka lakukan.
- Meminta agar seluruh jajaran pemerintah yang bertanggung jawab terhadap masalah ini untuk dapat lebih berempati terhadap korban dan keluarganya serta menunjukkan komitmen yang serius dalam upaya penanganan persoalan ini.
- Menjamin para korban dan keluarganya bisa mendapatkan reparasi yang efektif dan menyeluruh sesuai dengan standar-standar hukum internasional.
“Demikian surat terbuka ini kami sampaikan dengan harapan adanya tindakan nyata dari pemerintah untuk segera membebaskan keluarga kami dari jerat perbudakan dan penyiksaan. Atas perhatian dan tindakan yang diambil, kami ucapkan terima kasih,” pungkas Maya.
@uli