Search
Close this search box.

PBB Desak Indonesia Segera Sahkan RUU Masyarakat Adat

Seruan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terhadap Pemerintah untuk segera membahas dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat di Jenewa pada (6/11/2025)./visi.news/ist.

Bagikan :

VISI.NEWS | JAKARTA – Desakan terhadap Pemerintah Indonesia untuk segera membahas dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat semakin menguat. Seruan tegas kembali datang dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Jenewa pada (6/11/2025), meminta Indonesia memberikan perlindungan penuh bagi masyarakat adat yang menghadapi kekerasan, kriminalisasi, dan ketidakpastian hukum atas wilayah adat dan hak kolektif mereka.

RUU Masyarakat Adat telah lebih dari 15 tahun masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas), namun hingga kini belum tuntas dibahas DPR RI. Kondisi ini memicu desakan dari berbagai komunitas adat yang dinilai sebagai langkah krusial untuk menyelamatkan Indonesia dari krisis iklim.

Dikutip dari rilis yang diterima visi.news, Rabu (19/11/2025), Perwakilan Masyarakat Adat Aru-Maluku, Mika Ganobal, menyatakan bahwa pembahasan dan pengesahan RUU Masyarakat Adat bukan hanya soal legalitas, tetapi merupakan langkah mendesak untuk menghentikan krisis iklim yang semakin dirasakan masyarakat adat

“Pembahasan dan pengesahan RUU Masyarakat Adat bukan sekadar kebutuhan legalitas, tetapi urgensi untuk menghentikan krisis iklim yang semakin nyata kami rasakan. Bagi Masyarakat Adat Kepulauan Aru, kehadiran UU Masyarakat Adat adalah solusi agar pengelolaan sumber daya alam berdasarkan kearifan lokal diakui. Tanpa regulasi nasional yang tegas, keberadaan dan peran kami dalam menjaga dan mengelola alam belum diakui sepenuhnya oleh negara. Melalui pengesahan RUU Masyarakat Adat, kita dapat bersama-sama menghentikan kerusakan dan keluar dari krisis iklim,” tegas Mika Ganobal.

Proses legislasi RUU ini juga dinilai terhambat oleh minimnya komitmen legislasi mencolok padahal pengesahan RUU Masyarakat Adat adalah pemenuhan atas hak konstitusi. Kekhawatiran sebagian pihak bahwa pengakuan wilayah adat akan mengubah status dan kontrol pengelolaan hutan, lahan, dan sumber daya dinilai berlebihan.

Baca Juga :  OPPO Find X9: Standar Baru Pengalaman Flagship dengan Layanan Pelanggan Terbaru
Desain tanpa judul 42
Seruan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terhadap Pemerintah untuk segera membahas dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat di Jenewa pada (6/11/2025)./visi.news/ist.

Masyarakat Adat Meratus-Kalimantan Selatan, Harnilis, menyampaikan bahwa komunitas adat di Pegunungan Meratus mendukung penuh agar proses legislasi RUU Masyarakat Adat segera dilakukan.

Ia menyerukan kepada DPR RI untuk menjadikan pembahasan dan pengesahan RUU tersebut sebagai agenda politik di setiap partai

“Kami Masyarakat Adat di Pegunungan Meratus Kalimantan Selatan mendukung penuh proses legislasi undang-undang dilakukan sesegera mungkin. Kami menyerukan kepada DPR RI agar pembahasan pengesahan RUU Masyarakat Adat ini juga menjadi agenda politik di masing-masing partai. Semakin banyak partai yang mendukung maka pengesahan RUU Masyarakat Adat kian nyata,” ungkap Harnilis.

Pegunungan Meratus yang ditetapkan sebagai Global Geopark oleh UNESCO pada Sidang Dewan Eksekutif ke-221 di Paris, Prancis (April 2025). Pengakuan ini diberikan karena Meratus memiliki nilai penting secara geologi, ekologi, dan budaya, dan menjadi kawasan pertama di Kalimantan yang memperoleh pengakuan internasional tersebut.

“Sebagai masyarakat yang secara turun-temurun menjaga, merawat, dan hidup berdampingan dengan Pegunungan Meratus, sudah saatnya negara hadir dan mengakui kami. Pemerintah dan DPR RI harus segera membahas dan mengesahkan RUU Masyarakat Adat, sebagai bentuk perlindungan dan penghormatan terhadap hak, budaya, dan wilayah adat,” tambah Harnilis.

Komitmen pemerintah juga sempat disampaikan dalam forum internasional pada Conference of the Parties ke 30 (COP30) di Belem, Brasil, Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni, Indonesia akan memberikan hak 1,4 juta hektare hutan adat hingga 2029. Namun Koordinator Koalisi Kawal, Veni Siregar, menilai janji tersebut sulit terwujud tanpa payung hukum berupa UU Masyarakat Adat.

Baca Juga :  Produksi Sampah di Sukabumi Capai 1.650 Ton per Hari

“Janji Menteri Kehutanan tidak akan terwujud jika RUU Masyarakat Adat sebagai payung hukum yang menjamin  perlindungan dan pemenuhan hak masyarakat adat dalam upaya menjawab krisis lingkungan tidak kunjung disahkan,” tegas Veni Siregar.

Data Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) menunjukan bahwa wilayah adat yang sudah teregistrasi luasnya sekitar 33,6 juta hektare, dan 72% berpotensi menjadi Hutan Adat. Namun proses pengakuan dan perlindungan masyarakat adat melalui skema hutan adat tidak murah, cenderung berbelit-belit, lama, dan serba tidak pasti. Dalam kurun waktu 9 tahun terakhir hutan adat yang dikembalikan kepada komunitas masyarakat adat hanya 0,3 juta hektare.

Sementara itu, Masyarakat Adat Suku Malind Anim, Merauke, Papua, Philipus K Chambu, juga menyampaikan kekhawatiran atas ancaman hilangnya wilayah adat akibat pembangunan dan deforestasi.

“Ketiadaan regulasi perlindungan berisiko menyebabkan hilangnya wilayah adat. Kami Masyarakat Adat Merauke Papua merupakan kelompok paling terdampak dari deforestasi dan krisis akibat pembangunan. Kami terpinggirkan dari keputusan pembangunan di wilayah adat kami. Tanpa UU Masyarakat Adat kami berpotensi mengalami intimidasi dan kriminalisasi saat mempertahankan tanah adat,” ungkap Philipus K Chambu.

Mandeknya pengesahan RUU ini, menunjukkan lemahnya komitmen DPR dalam memenuhi amanat konstitusi untuk mengakui, menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak masyarakat adat sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 Pasal 18B ayat (2) serta dipertegas melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012. @desi

Baca Berita Menarik Lainnya :