Pedoman Dewan Pers Nomor: 01/P-DP/V/2007 tentang Penerapan Hak Tolak dan Pertanggungjawaban Hukum dalam Perkara Jurnalistik
Berkaitan dengan adanya beberapa kasus pemanggilan wartawan untuk diperiksa oleh lembaga penyidik atau menjadi saksi dalam perkara yang terkait dengan karya jurnalistik, Dewan Pers perlu menyampaikan pedoman mengenai ketentuan dan penerapan Hak Tolak, serta Pertanggungjawaban hukum, sebagai berikut:
Wartawan sebagai warga negara yang taat hukum secara prinsip wajib memenuhi panggilan lembaga penyidik untuk diperiksa atau menjadi saksi dalam pengadilan. Wartawan, berdasarkan sifat profesinya, memiliki Hak Tolak, yaitu hak untuk menolak mengungkapkan nama dan atau identitas lainnya dari sumber berita yang harus dirahasiakan (seperti diatur dalam UU No. 40/1999, tentang Pers). Namun Hak Tolak ini tidak berarti “lembaga pers menolak pemanggilan untuk didengar keterangannya oleh pejabat penyidik”.
Jika wartawan berkeberatan untuk memberikan keterangan, khususnya menyangkut identitas narasumber confidential, maka hal itu dilindungi oleh Pasal 4 ayat (4), UU Pers, yang berbunyi: “Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai hak tolak.” Tujuan utama hak tolak adalah agar wartawan dapat melindungi identitas sumber informasi. Hak tersebut dapat digunakan jika wartawan diminta keterangan oleh pejabat penyidik dan atau diminta menjadi saksi di pengadilan.
Meskipun demikian penerapan hak tolak hendaknya tidak digunakan secara sembarangan. Narasumber yang layak dilindungi identitasnya melalui hak tolak adalah mereka yang memang memiliki kredibilitas, beritikad baik, berkompeten, dan informasi yang disampaikan terkait dengan kepentingan publik. Selain itu, perlu disadari, bahwa pada akhirnya hak tolak dapat dibatalkan demi kepentingan dan keselamatan negara atau ketertiban umum yang dinyatakan oleh pengadilan terpisah yang khusus memeriksa soal itu.
Selain diatur dalam UU Pers, dasar hukum hak tolak juga terdapat dalam Pasal 50 KUHP yang menegaskan bahwa “mereka yang menjalankan perintah UU tidak dapat dihukum”. Dalam menjalankan tugas jurnalistik pers menjalankan amanat UU Pers, sehingga berkonsekuensi tidak dapat dihukum ketika menggunakan hak tolaknya. Pasal 170 KUHAP yang berbunyi, “Mereka yang karena pekerjaan, harkat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka.”
Kepada aparat penegak hukum, perlu diingatkan bahwa tugas utama wartawan adalah mencari, mengolah, dan menyebarluaskan informasi. Aparat hukum sedapat mungkin menghindari memanggil wartawan untuk dimintai keterangan atau menjadi saksi, jika informasi yang telah dicetak atau disiarkan di media massa dirasakan bisa menjadi bahan untuk mengusut kasus.
Dalam hal adanya dugaan pelanggaran hukum terhadap karya jurnalistik, pertanggungjawaban hukum ditujukan kepada “penanggung jawab” institusi pers bersangkutan. Merujuk pada UU Pers, Pasal 12, yang dimaksud dengan “penanggung jawab” adalah penanggung jawab perusahaan pers yang meliputi bidang usaha dan bidang redaksi. Dalam hal pelanggaran pidana yang dilakukan oleh perusahaan pers, maka perusahaan tersebut diwakili oleh penanggung jawab. Apabila pihak kepolisian menerima pengaduan perkara pidana menyangkut karya jurnalistik, maka menurut UU Pers tidak perlu menyelidiki siapa pelaku utama perbuatan pidana, melainkan langsung meminta pertanggungjawaban dari Penanggung Jawab, sebagai pihak yang harus menghadapi proses hukum.
Jakarta, 4 Mei 2007