Search
Close this search box.

Perpecahan Politik yang Artifisial: Bagaimana Perdebatan Imigrasi di Prancis Menyembunyikan Realitas Sosial

Sifat artifisial dari perpecahan isu imigrasi di Prancis menjadi jelas saat membandingkan retorika politik dengan hasil kebijakan dan opini publik. /360info/AN2303/Wikimedia Commons/CC by 4.0

Bagikan :

  • Politik Prancis yang terbagi antara Kiri dan Kanan menampilkan pertarungan dramatis soal imigrasi. Namun data menunjukkan bahwa masyarakat sebenarnya sebagian besar memiliki pandangan yang serupa. Apakah perdebatan politik ini hanya menyamarkan suatu konsensus yang sebenarnya?

Oleh Thomas Lacroix
(Sciences Po, Paris)

DALAM 20 tahun terakhir, 12 undang-undang telah diberlakukan untuk menerapkan pendekatan yang semakin ketat terhadap imigrasi. Namun, setiap survei opini menunjukkan bahwa warga Prancis menginginkan kontrol perbatasan yang bahkan lebih ketat – meskipun Prancis sendiri sudah tidak lagi menjadi negara tujuan utama para migran.

Meskipun 10,7 persen penduduknya merupakan warga kelahiran luar negeri, tingkat imigrasi tahunan Prancis (rasio antara jumlah imigran masuk dengan total populasi negara) hanya mencapai 0,37 persen pada 2023, menjadikannya salah satu yang terendah di antara negara-negara OECD. Angka ini tiga kali lebih rendah dibanding Belgia (1,06 persen), Kanada (1,06 persen), atau Jerman (1,37 persen).

Perpecahan yang Dibuat-buat

Jika diamati lebih dalam, polarisasi yang tampak dalam isu imigrasi ini sebagian besar didorong oleh **posisi strategis politik** — menjadikan isu imigrasi bukan lagi urusan kebijakan praktis, tetapi ladang pertarungan simbolik. Karena partai-partai politik kesulitan mempertahankan pemilihnya, mereka memanfaatkan isu imigrasi untuk mengaktifkan kembali perpecahan antara kiri dan kanan, bukan mencerminkan perpecahan masyarakat yang nyata.

Sekilas, spektrum politik Prancis tampak terbagi jelas dalam hal imigrasi: Kubu kiri menekankan sisi kemanusiaan, kubu kanan menekankan kontrol dan keamanan.

Namun, presentasi biner ini gagal menangkap kompleksitas opini publik dan realitas kebijakan. Survei menunjukkan bahwa isu ekonomi (terutama daya beli), tekanan terhadap sistem kesehatan, dan dampak perubahan iklim jauh lebih diperhatikan oleh masyarakat.
Dalam polling IPSOS-CESE, imigrasi hanya menempati urutan keenam sebagai isu utama, dengan hanya 18% responden yang menyebutnya sebagai kekhawatiran utama.

Baca Juga :  Jadwal Sholat Kabupaten Bandung Hari Ini, Jumat 7 November 2025

Survei tahunan mengenai rasisme menunjukkan kemajuan menuju pemahaman dan toleransi yang lebih besar. Indeks Toleransi Longitudinal dari Komisi Nasional Konsultatif Hak Asasi Manusia (CNCDH) mencatat peningkatan toleransi terhadap warga asing sejak 1990, terutama pada generasi muda yang lebih akrab dengan budaya asing.

Mayoritas warga Prancis mendukung imigrasi yang ditargetkan untuk mengatasi kekurangan tenaga kerja di sektor-sektor seperti kesehatan dan pertanian.
Menurut think tank Terra Nova, 58% populasi mendukung imigrasi tenaga kerja (baik yang diseleksi maupun tidak), dan angka ini meningkat hingga 70% di kalangan mereka yang mengenal imigran secara pribadi.

Demikian pula, masyarakat umumnya mendukung:

  • Program migrasi tenaga kerja terampil
  • Penyatuan keluarga dalam batas yang wajar
  • Perlindungan kemanusiaan untuk pengungsi

Bahkan dalam isu-isu kontroversial seperti persyaratan integrasi, sebagian besar mendukung pelajaran bahasa dan pendidikan kewarganegaraan — bukan penolakan terhadap imigrasi itu sendiri.

Kesenjangan antara Wacana Politik dan Realitas Publik

Perbedaan besar antara kerasnya retorika politik dan prioritas publik menunjukkan bahwa perdebatan imigrasi lebih banyak melayani agenda politik dibandingkan mencerminkan kekhawatiran masyarakat. Isu ini menjadi arena kompetisi politik dan pembentukan identitas, memungkinkan partai-partai membedakan diri secara simbolik sambil menghindari diskusi kebijakan ekonomi dan sosial yang lebih kompleks.

Untuk memahami politik imigrasi Prancis saat ini, penting menilik evolusinya sejak awal abad ke-20.

1920-an – Pasca Perang Dunia II:
Imigrasi dikelola oleh dunia usaha, yang merekrut tenaga kerja asing berdasarkan kebutuhan ekonomi, tanpa banyak campur tangan politik. Isu ini masih bersifat teknis dan pragmatis.

Pasca perang:
Organisasi masyarakat sipil seperti CIMADE mulai berperan dalam integrasi dan advokasi bagi migran. Pendekatan imigrasi saat itu masih didasari solidaritas kemanusiaan dan kebutuhan ekonomi, dengan sedikit kontroversi politik.

Baca Juga :  OPPO Find X9: Standar Baru Pengalaman Flagship dengan Layanan Pelanggan Terbaru

1980-an – Titik Balik:
Negara mulai memusatkan kontrol atas kebijakan imigrasi. Munculnya Front Nasional (FN) yang sayap kanan ekstrem mengubah wajah politik imigrasi.
Isu ini kini dilihat melalui kacamata keamanan, identitas budaya, dan menjadi pusat pertarungan politik.

Akibat dari perubahan ini cukup besar:

  • Serikat pengusaha mulai menarik diri dari perdebatan publik,
  • Kubu kiri terpecah, terseret antara prinsip kemanusiaan, realitas ekonomi, dan kekhawatiran elektoral,
  • Organisasi masyarakat sipil menjadi terpinggirkan dalam iklim politik yang kian partisan.

Kekosongan yang Diisi Fokus Keamanan

Vakum kebijakan ini diisi oleh partai-partai kanan dan sayap kanan yang **mendefinisikan imigrasi melalui narasi keamanan dan pelestarian budaya**.
Dengan minimnya suara dari kubu ekonomi atau kemanusiaan, perdebatan bergeser ke arah kebijakan restriktif dengan alasan keamanan.

Padahal, data menunjukkan bahwa tingkat imigrasi Prancis relatif stabil.

  • Imigrasi bersih pada 2021: 159.000 orang
  • Bandingkan dengan 2006: 163.000 orang

Kenyataannya, Prancis telah mengikuti agenda migrasi Uni Eropa, dengan:

  • Syarat visa yang makin ketat
  • Kerja sama dengan negara transit untuk deportasi
  • Kebijakan integrasi yang terbatas pada pelatihan bahasa dan kewarganegaraan

Retorika Anti-Imigrasi yang Dominan

Dengan reformasi undang-undang setiap dua tahun rata-rata, ditambah liputan media harian, retorika anti-imigrasi menjadi dominan.
Isu ini terus digunakan untuk menghidupkan kembali konflik kiri-kanan, bukan untuk menjawab kebutuhan publik.

Contoh terbaru: Sebuah petisi dari tokoh sayap kanan Philippe De Villiers menyerukan referendum tentang imigrasi karena kekhawatiran bahwa Prancis akan “mengganti populasi… gaya hidup… peradaban”.

Petisi ini dipromosikan oleh media konservatif seperti CNews, Europe 1, dan Valeurs Actuelles, mengumpulkan 1,5 juta tanda tangan — namun datanya diragukan. Situs penandatanganan tidak aman, memungkinkan penandatanganan ganda bahkan oleh robot. Selain itu, penandatangan menyetujui penggunaan data pribadi mereka untuk iklan dan newsletter.

Baca Juga :  Berpikir Besar, Bergerak Lebih Jauh: Rahasia Sukses dari Dalam Diri

Petisi ini tampaknya hanyalah kampanye pemasaran politik untuk mobilisasi simpatisan.

Kesimpulan

Pengalaman Prancis menunjukkan bagaimana institusi yang tidak efektif dan strategi politik partisan telah menghambat pengelolaan isu imigrasi yang kompleks. Hasilnya adalah medan pertempuran kiri-kanan yang sangat memecah belah, meski pada kenyataannya masyarakat justru menunjukkan konsensus yang relatif dalam hal imigrasi.***

  • Thomas Lacroix adalah peneliti di Pusat Studi Internasional, Universitas Sciences Po, Paris.
  • Artikel ini awalnya diterbitkan di bawah lisensi Creative Commons oleh 360info™.

Baca Berita Menarik Lainnya :