VISI.NEWS | BANDUNG – Pengasuh Pondok Pesantren Lembaga Pembinaan, Pendidikan, dan Pengembangan Al-Qur’an (LP3IA), Rembang KH Ahmad Bahauddin Nursalim (Gus Baha) menjelaskan adab membayarkan utang yang baik agar tidak ada yang dirugikan.
Menurut Gus Baha, cara bayar utang yang baik tersebut yaitu dengan mengkonversikan utang dengan harga emas. Emas dijadikan patokan utama karena sebagai alat tukar yang tidak merugikan pihak lain. Harga emas terus mengalami kenaikan, jika pun turun tidak drastis dan sebentar.
“Saya di mana-mana fatwa, kalau terjadi konflik bab utang ini, mau tidak mau harus dikonversi dengan emas. Saya berulang kali ada tetangga atau tetangga desa sowan ke saya. Biasanya sudah bertengkar atau konflik bab uang,” jelas Gus Baha seperti dikutip dari akun Youtube Santri Gayeng, Jumat (14/4/2023).
Gus Baha berasalan, jika standarisasinya adalah mata uang, maka tidak adil. Sebab nilai uang bisa turun drastis. Semisal pada tahun 1970, seorang keponakan mau khitan, lalu ayahnya diutangi anak sapi oleh pamannya untuk mengadakan resepsi. Saat itu harga seekor anak sapi hanya Rp150 ribu.
Pada 2005 dan 2020 bertengkar, lalu pamannya minta dikembalikan utang dulu dalam bentuk anak sapi. Yang utang keberatan karena harga anak sapi sekarang mahal. Jalan mudahnya yaitu dikonversikan ke emas.
Karena jika dikonversikan dengan harga anak sapi maka tidak jelas. Sebab harga sapi naik turun. Saat ramai isu penyakit sapi, harga anak sapi murah sekali. Namun, mendekati Idul Adha harganya naik. Karena tidak jelas maka lebih baik dikonversikan ke emas.
“Ini catatan ketika ada konflik, kalau tidak ada konflik maka Alhamdulillah. Tidak perlu konversi,” tegas Gus Baha.
Gus Baha menjelaskan, dalam perdebatan dalam bab utang dan riba, kiai yang khusyuk sering salah, karena mereka enggan berpikir. Dikarenakan takut ke Tuhan, lalu tidak rasional.
Semisal orang khusyuk dan fasik memiliki masalah utang piutang. Tahun 2000 orang khusyuk punya utang Rp500 ribu dan sekarang diminta bayar Rp1 juta sama orang fasik di tahun 2020. Dengan alasan ini bukan bunga, karena nilai uang Rp500 ribu di tahun 2000 dengan 2020 berbeda. Di tahun 2000 bisa beli barang yang banyak.
Sementara yang khusyuk ngotot bahwa ia hanya mau bayar Rp500 ribu karena takut riba. Ngotot hanya mau bayar Rp500 ribu. Contoh lain, tahun 1990, hanya dengan uang Rp500 ribu bisa beli kambing untuk kurban. Namun, kalau uang Rp500 ribu di tahun 2020 hanya dapat ayam.
“Problemnya kalau ikut yang khusyuk maka kamu buat hukum yang menzalimi orang lain. Namun, kalau membuat gerakan bahwa setiap utang maka boleh ditambahkan sesuai kekurangan nilai uang tersebut. Maka jadi lembaga riba, malah berdosa. Maka orang alim ingin mengkonversi ke emas,” imbuhnya.
Dikatakan Gus Baha, cara mengkonversikan yaitu menghitung uang Rp. 500 di tahun 1990 dapat emas berapa gram, maka diganti dengan hitungan gram emas dengan harga Rp. 500 ribu tersebut. Semisal tahun itu dapat 5 gram emas. Maka saat ini diganti uang dengan nilai 5 gram emas atau langsung emasnya. Saat ini, info harga emas bisa dipantau setiap tahun, sekarang canggih.
Nabi Muhammad pernah berutang anak sapi, kepada seseorang, karena telat bayar, orangnya pun marah, akhirnya oleh Nabi membayar dengan seekor sapi. Sampai sahabat tidak ikhlas, karena utang anak sapi dan dibayar dengan sapi.
“Nabi menjawab bahwa sebaik-baiknya orang itu yaitu ketika membayar utang ia membayar dengan lebih baik. Namun, Nabi tidak pernah menghalalkan riba,” kata tokoh Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) ini.
Dalam kasus lain, Gus Baha mencontohkan pada tahun 2020, seseorang asal Rembang punya utang Rp10 juta pada orang Yogyakarta. Utang tersebut dilakukan 3 bulan yang lalu. Kemudian orang yang memberikan utang menagih lewat telepon menggunakan pulsa.
Karena tidak kunjung dibayar, maka ia langsung ke Rembang untuk menagih utang. Ongkos ke Rembang kira-kira habis Rp200 ribu. Kalau nagihnya dua kali maka habis sekitar Rp400 ribu. Ketika utangnya hanya dibayar Rp10 juta, tentu ini kurang pas. Merugikan pihak yang mengutangi.
Padahal ia datang menagih ke Rembang karena ada pembayaran utang yang telat setelah jatuh tempo. Ini disebabkan oleh orang yang utang. Seringkali orang yang utang tidak menghitung ongkos orang nagih utang. Ini sebenarnya masuk biaya tambahan di luar utang.
“Kalau kita ngomong bayar utang Rp10 juta plus uang transportasi Yogyakarta-Rembang maka dikatakan riba. Namun, kalau tidak pengertian dari yang utang maka merugikan orang lain, nyatanya memang yang memberikan utang kehilangan uang tambahan. Inilah kenapa cara Nabi membayar utang tadi diapresiasi. Meskipun telatnya Nabi bayar utang itu didesain Tuhan agar ada syariat baru,” jelas Gus Baha.@mpa/nu.or.id