Oleh K.H. Yahya Staquf
SELAMA INI sesungguhnya kita benar-benar telah diculek dengan korupsi. Dulu, orang yang korupsi itu sembunyi-sembunyi. Tapi sekarang, orang yang korupsi justru dirapatkan terlebih dulu. Mereka malah tersenyum dan tidak malu. Bahkan anak buahnya dari atas sampai di bawah malah membela. Kenapa?
Karena mereka beranggapan bahwa korupsi di Indonesia itu tidak berdosa. Karena bagi mereka Indonesia adalah Negara taghut yang boleh dijarah. Padahal Negara ini didirikan oleh para ulama dan diperjuangkan oleh mereka. Kita tahu, yang ikut bertanda tangan dalam pembentukan NKRI adalah KH Wahid Hasyim. Beliau juga yang ikut bertanda tangan dalam penghilangan tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Beliau juga yang ikut tanda tangan dalam perumusan pasas 33 UUD 45. Dan apakah mungkin KH Hasyim Asyari, KH Wahab Hasbullah, KH Asnawi, KH Bisyri Syansuri, dan kiai-kiai yang lain mendiamkan saja KH. Wahid Hasyim ikut bertanda tangan jika apa yang beliau tanda tangani tidak sesuai dengan syariat Islam? Jelas tidak! Ini karena Pancasila dan UUD 45 sudah sesuai dengan syariat Islam.
Masyarakat Amerika membenci korupsi karena mereka selalu dikejar-kejar secara habis-habisan untuk membayar pajak, sehingga mereka merasa sangat berkepentingan mengawasi penggunaannya. Masyarakat Jepang membenci korupsi karena korupsi membuat Industri tidak efisien dan kehilangan daya saing, sedangkan kehidupan mereka amat bergantung pada industri, persis seperti masyarakat Singapura dengan perdagangan. Dan kita?
Jangan-jangan kita tidak punya cukup alasan untuk membenci korupsi. Malah koruptor itu kalau dimintai sumbangan biasanya menyumbang lebih banyak ketimbang yang bukan koruptor. Karena itu kita tetap saja mengirimkan proposal-proposal pembangunan masjid dan madrasah kepada para koruptor walaupun kita sudah tahu kalau mereka itu koruptor.
Kita juga gemar mengundang koruptor ke pengajian-pengajian kita dan memintanya memberi pidato sambutan supaya kita mendapat sumbangan untuk melunasi sewa sound system. Ini jelas keliru. Janganlah kita lakukan hal yang demikian.
Ketahuilah, semua sepakat, baik di Negara muslim maupun Negara non-muslim bahwa korupsi adalah penyakit dan perilaku yang harus diberantas. Semua agama pun membenci dan melarang tindakan korupsi. Korupsi adalah bentuk pengkhianatan dari sesama warga Negara. Korupsi adalah pelanggaran terhadap hal-hal yang dilarang agama.
Korupsi sama dengan mencuri, merampok, menipu, dan berbuat kedzaliman pada sesama. Ia merugikan Negara, merugikan masyarakat, bahkan menghancurkan sebuah keluarga. Bagi pelakunya sungguh ia tidak hanya akan mendapat azab di dunia, tapi juga di akhirat.
Korupsi dalam Sejarah Islam
Siapapun tidak akan membantah korupsi merugikan Negara. Dalam sejarah Islam, siapa yang tidak mengagumi, siapa yang tidak takjub terhadap kemajuan peradaban pada masa Abbasiyah, yang dinastinya berkuasa dari tahun 750 M hingga 1517 M, tidak kurang 7 abad. Ilmu pengetahuan, kelimuan Islam, teknologi, budaya, sistem pemerintahan, dan ciri peradaban lain berkembang pesat melampaui peradaban-peradaban yang pernah ada.
Namun, dalam kurun waktu itu, hanya pada periode awal saja semua prestasi yang gilang-gemilang tercipta, sisanya Negara kacau balau bahkan runtuh. Salah satu sebabnya adalah korupsi yang melanda pemerintahan. Di antaranya adalah pada pemerintahan Al-Muqtadir pada awal abad 9, keuangan Negara berantakan, karena dikelola oleh orang-orang yang hanya mementingkan kesenangan pribadi.
Pembayaran tentara terlambat hingga akhirnya Negara pun bangkrut. Itulah sejarah korupsi yang benar-benar meruntuhkan kedigdayaan sebuah Negara yang jaya sepanjang sejarah Islam. Negara yang begitu adidaya pada zamannya perlahan runtuh karena perilaku korup para pejabatnya.
Saat ini kita bisa melihat bersama, di Negara-negara yang memiliki tingkat korupsi tinggi, maka kemajuan negaranya terhambat, kesejahteraan rakyatnya terlunta-lunta, dan kelancaran pemerintahannya tak berjalan maksimal. Gonjang-ganjing terus terjadi, karena banyak tikus-tikus yang menggerogoti tiada henti.
Korupsi juga menghancurkan kehidupan masyarakat. Sebab masyarakat atau rakyat selalu mengikuti perilaku pemerintahnya, rajanya. Ketika rajanya, presidennya melakukan tindakan-tindakan mulia, rakyat mencontoh dan menirunya.
Nabi Muhammad SAW sebagai penguasa dan hakim di Madinah, menjadi rujukan para sahabat dalam perilaku kesehariannya. Bukan hanya karena beliau seorang Nabi dan Rasul, tetapi karena ia pemimpin yang tindak-tanduknya digugu dan ditiru.
Demikian pula para Khulafa’ur Rasyidin, mereka orang-orang mulia, yang berdedikasi terhadap tanggung jawabnya, yang sangat berhati-hati dalam menggunakan harta, baik itu harta yang diperolehnya, maupun yang diberikan oleh negara.
Dikisahkan dalam Tarikh At-Tabari, tatkala Umar ibn al- Khaththâb r.a. diangkat menjadi Khalifah, ditetapkanlah baginya tunjangan sebagaimana yang pernah diberikan kepada Khalifah sebelumnya, yaitu Abû Bakar r.a. Pada suatu saat, harga-harga barang di pasar mulai merangkak naik.
Tokoh-tokoh Muhajirin seperti ‘Utsmân, ‘Alî, Thalhah, dan Zubair berkumpul serta menyepakati sesuatu. Di antara mereka ada yang berkata, “Alangkah baiknya jika kita mengusulkan kepada ‘Umar agar
tunjangan hidup untuk beliau dinaikkan.Jika ‘Umar menerima usulan ini, kami akan menaikkan tunjangan hidup beliau”. Alî kemudian berkata, “Alangkah bagusnya jika usulan seperti ini diberikan pada waktu-waktu yang telah lalu”. Setelah itu, mereka berangkat menuju rumah Umar.
Namun, Utsmân menyela seraya berkata, “Sebaiknya usulan kita ini jangan langsung disampaikan kepada Umar. Lebih baik kita memberi isyarat lebih dulu melalui puteri beliau, Hafshah. Sebab, saya khawatir, Umar akan murka kepada kita.”
Mereka lantas menyampaikan usulan tersebut kepada Hafshah seraya memintanya untuk bertanya kepada Umar, yakni tentang bagaimana pendapatnya jika ada seseorang yang mengajukan usulan mengenai penambahan tunjangan bagi Khalifah Umar. “Apabila beliau menyetujuinya, barulah kami akan menemuinya untuk menyampaikan usulan tersebut. Kami meminta kepadamu untuk tidak menyebutkan nama seorang pun di antara kami,” demikian kata mereka.
Ketika Hafshah menanyakan hal itu kepada Umar, beliau murka seraya berkata, “Siapa yang mengajari engkau untuk menanyakan usulan ini?”
Hafshah menjawab, “Saya tidak akan memberitahukan nama mereka sebelum ayah memberitahukan pendapat ayah tentang usulan itu”.
Umar kemudian berkata lagi, “Demi Allah, andaikata aku tahu siapa orang yang mengajukan usulan tersebut, aku pasti akan memukul wajah orang itu”. Setelah itu, Umar balik bertanya kepada Hafshah, istri Nabi saw., “Demi Allah, ketika Rasulullah SAW masih hidup, bagaimanakah pakaian yang dimiliki oleh beliau di rumahnya?”. Hafshah menjawab, “Di rumahnya, beliau hanya mempunyai dua pakaian. Satu dipakai untuk menghadapi para tamu dan satu lagi untuk dipakai sehari-hari.”
Umar bertanya lagi, “Bagaimana makanan yang dimiliki oleh Rasulullah?”
Hafshah menjawab, “Beliau selalu makan dengan roti yang kasar dan minyak samin.”
Umar kembali bertanya, “Adakah Rasulullah mempunyai kasur di rumahnya?”Hafshah menjawab lagi, “Tidak, beliau hanya mempunyai selimut tebal yang dipakai untuk alas tidur di musim panas. Jika musim dingin tiba, separuhnya kami selimutkan di tubuh, separuhnya lagi digunakan sebagai alas tidur.”
Umar kemudian melanjutkan perkataannya, “Hafshah, katakanlah kepada mereka, bahwa Rasulullah saw. selalu hidup sederhana. Kelebihan hartanya selalu beliau bagikan kepada mereka yang berhak. Oleh karena itu, aku pun akan mengikuti jejak beliau.”
Inilah akhlak seorang Khalifah Umar. Tatkala sahabat-sahabatnya setuju untuk menaikkan tunjangannya saja ia telah menolak sedemikian rupa, begitu marah hingga ingin memukul wajah sang pengusul, sahabatnya sendiri. Bagaimana dengan pejabat zaman sekarang? Kita semua sudah bias menjawab sendiri.
Imbasnya rakyat Umar pun meneladani apa yang mereka lakukan. Dalam sejarah tercatat jelas, betapa kesederhanaan menjadi nilai utama pada masa Umar. Ada banyak sahabat yang konsisten dengan laku wirainya, bahkan yang kaya sekalipun.
Kelebihan harta mereka justru diperuntukkan untuk dakwah dan syiar Islam hingga mencapai kejayaan yang cemerlang.
Allah berfirman dalam surat An-Nisaa ayat 59: “Hai orang-orang yang beriman taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kalian kepada rasul dan ulil amri kalian.” Dalam ayat ini, ketaatan kepada raja, khalifah, atau pemerintah itu perintah agama, dan sudah menjadi hal yang wajar di mana-mana. Rajanya baik, insyaAllah rakyatnya pun turut menjadi baik. Rajanya foya-foya, rakyat ikut senang-senang. Rajanya korupsi, rakyat pun akan ikut ramai-ramai korupsi di segala bidang. Itulah yang terjadi.
Korupsi, selain menghancurkan Negara dan masyarakat, juga menghancurkan masa depan di akhirat. Rajin shalat dan puasa serta haji bias jadi tidak berarti ketika ternyata ada perilaku korupsi yang kita lakukan. Pahala semua ibadah yang utama-utama itu bisa sirna karena satu-dua akhlak buruk kita dalam memperoleh harta.
Tentu kita semua ingat dan pernah mendengar ketika ada seorang sahabat Nabi yang meninggal dunia pada waktu terjadi peristiwa penaklukan Khaibar yang dikuasai oleh Yahudi pada tahun 629 M. Khaibar adalah nama sumber air yang berada sekitar 150 Km dari Madinah, waktu itu ditempuh 3 hari perjalanan.
Kematian salah seorang sahabat itu disampaikan kepada Rasulullah SAW. Namun apa respon Rasulullah mendengar itu? Beliau bersabda: “Salatkanlah saudara kalian ini”.
أَط آمَنُوا َ الَّذِين يَاأَي ُّهَاوَأُو َ الرَّسُول وَأَطِيعُوا َ َّ للَّ يعُوااِلمِنكُم ِ ا لَْمر
Rasulullah ini membuat sebagian sahabat heran dan bertanya-tanya. Sebab sahabat itu dikenal sebagai sahabat yang baik. Rasulullah SAW mampu membaca keheranan para sahabatnya ini. Karena itulah kemudian beliau menjelaskan, “Sungguh saudara kalian ini menggelapkan harta rampasan perang di jalan Allah.”
Mendengar sabda Rasulullah ini para sahabat langsung memeriksa harta bawaannya dan ternyata kami menemukan kharazan (perhiasan/manik-manik atau permata orang Yahudi yang harganya tidak mencapai dua dirham.
Dari kisah ini jelas, bahwa tindakan korupsi menjadi noda yang mempengaruhi seluruh amal seseorang, menshalati saja Rasulullah sudah tidak mau. Ia diperlakukan seperti meninggalnya orang-orang munafik, di mana Rasulullah pun enggan menshalati mereka. Itu baru di dunia. Di akhirat bisa jadi menjadi hambatan, bahkan halangan seseorang menikmati indahnya surga, meski dia ahli ibadah sekalipun. Ia mampir dulu ke neraka, atau bahkan selama-lamanya di sana. Na’udzubillah tsumma na’udzubillah.
Karena itulah, jauhilah, jangan coba-coba dekati korupsi. Karena ia menghancurkan bangsa, Negara, masyarakat, bahkan kebahagiaan individu, baik di dunia maupun di akhirat.***
- Penulis, Ketua Penguru Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), tulisan diambil dari Buku Khutbah; Islam dan Pencegahan Korupsi
َ