VISI.NEWS | BANGKOK — Para akademisi, pendidik, dan pejuang hak asasi manusia dari seluruh Asia Tenggara akan berkumpul dalam konferensi regional “Reclaiming the Space”, sebuah acara dua hari yang menyoroti pentingnya memulihkan dan menjaga ruang intelektual dan demokratis yang semakin menyempit di kawasan ini. Konferensi ini diselenggarakan oleh Southeast Asia Coalition for Academic Freedom (SEACAF) bekerja sama dengan universitas terkemuka dan organisasi masyarakat sipil, yang membawa bersama para akademisi, pembuat kebijakan, dan aktivis untuk menghadapi ancaman terhadap kebebasan akademik di tengah kemunduran demokrasi, penindasan negara, dan sensor di wilayah ini.
Dr. Bencharat Sae Chua, Direktur SEACAF dan pengajar di Institute of Human Rights and Peace Studies, menyatakan, “Kebebasan akademik bukanlah hak istimewa—melainkan dasar dari prinsip-prinsip demokrasi.” Ia menambahkan, “Ketika para akademisi dibungkam, dan universitas serta ruang kelas menjadi tempat ketakutan, masyarakat kehilangan kemampuan untuk mempertanyakan kekuasaan dan membayangkan alternatif.”
Konferensi ini dibuka dengan plenary pertama yang berjudul “Tightening Spaces: Mapping Academic Freedom Across Southeast Asia”. Sesi ini akan mengulas berbagai pembatasan yang dihadapi universitas dan peneliti, mulai dari pengawasan dan intimidasi hingga undang-undang yang membatasi kebebasan berekspresi dengan dalih keamanan nasional. Beberapa pembicara dalam sesi ini adalah Dr. Chomkate Ngamkaiwan (IHRP), Satria Unggul Wicaksana Prakasa (KIKA, Indonesia), Assoc. Prof. Khoo Ying Hooi (Universiti Malaya), Celso da Fonseca (National University of Timor Leste), dan Sabae Khine (PNMD Programme).
Plenary kedua yang bertema “Agency and Action: Paths to Reclaiming Spaces for Academic Freedom in Southeast Asia” akan menyoroti strategi ketahanan dan perlawanan, mulai dari jaringan solidaritas hingga pedagogi kreatif yang menantang penindasan. Pembicara utama dalam sesi ini termasuk Seree Nonthasoot (Komite PBB untuk Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya), Kwadwo Appiagyei-Atua (Africa Coalition for Academic Freedom), Atty. Renee Co (Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Filipina), Jack Mayerhofer (Scholars at Risk), dan Dr. Vachararutai Boontinand (IHRP).
Assoc. Prof. Khoo Ying Hooi, moderator plenary kedua dan anggota pendiri SEACAF, mengungkapkan, “Meskipun ruang untuk kebebasan akademik semakin sempit, kawasan ini terus menyaksikan keberanian luar biasa dari pendidik dan mahasiswa yang menolak menyerahkan ruang kelas pada ketakutan.” Ia juga menambahkan, “Tindakan mereka mengingatkan kita bahwa merebut kembali ruang bukan hanya soal perlindungan, tetapi tentang menciptakan ruang baru untuk dialog, pengetahuan, dan solidaritas.”
Tujuan utama dari konferensi ini adalah untuk memperdalam kolaborasi regional dalam mempelajari dan mempertahankan kebebasan akademik. Konferensi ini mengundang para akademisi, peneliti, dan aktivis untuk memeriksa bagaimana ruang akademik dibentuk, ditantang, dan direbut kembali di seluruh Asia Tenggara. Dengan mengumpulkan berbagai perspektif dan wawasan empiris, konferensi ini berfungsi sebagai platform untuk mengidentifikasi area riset baru, membentuk agenda riset masa depan, dan memperluas pemahaman tentang kebebasan akademik dari perspektif politik, sosial, budaya, hukum, dan institusional.
Sebagai bagian dari acara konferensi, SEACAF juga mengadakan workshop “Youth Rising Creative Workshop” beberapa hari sebelum acara utama. Workshop ini dirancang untuk memberikan ruang partisipatif bagi para akademisi muda, seniman, dan aktivis di seluruh kawasan untuk mengungkapkan suara mereka. Melalui storytelling, seni visual, dan media digital, peserta mengeksplorasi bagaimana ekspresi kreatif dapat menjadi bentuk perlawanan dan dialog dalam merebut kembali ruang akademik dan sipil.
Konferensi ini menjadi pengingat pentingnya mempertahankan kebebasan akademik dan ruang intelektual sebagai fondasi demokrasi. Dalam waktu di mana berbicara kebenaran bisa berbahaya dan diam sering kali dihargai, “Reclaiming the Space” mengajak para akademisi, mahasiswa, dan sekutu di Asia Tenggara untuk bersatu dalam membela kebebasan intelektual. Kegiatan ini bukan hanya sekadar refleksi atas situasi saat ini, tetapi juga sebuah seruan untuk bertindak dan melindungi ruang-ruang demokrasi yang semakin terancam.
Melalui dialog yang intensif dan kolaboratif antara para akademisi, aktivis, dan pembuat kebijakan, konferensi ini diharapkan dapat menghasilkan rekomendasi kebijakan yang lebih mendalam, serta memperkuat jaringan lintas batas untuk melindungi kebebasan akademik di Asia Tenggara. Dengan menjadikan universitas sebagai ruang untuk berpikir kritis, perbedaan pendapat, dan keterlibatan demokratis, konferensi ini berkontribusi pada upaya menjaga universitas sebagai pilar demokrasi di kawasan ini.
@uli












