Oleh Bambang Melga Suprayogi, M.Sn.
KATA siapa Islam itu kaku ?
Kata siapa Islam itu keras ?
Apakah Nabi kita seorang yang menyeru Agama Allah dengan kaku ?
Apakah Nabi kita mendakwahkan dan mensyiarkan Islam, sebagai agama yang Allah ridhoi dengan keras, dan harus dengan kekerasan, serta sindir-menyindir agama lain yang datangnya sama dari Allah ?
Tidak seperti itu saudaraku !
Kita jangan terjebak gaya dakwah Ustad masa kini yang sedang mencari sensasi !
mencari massa, dan sedang menanamkan fanatik buta yang bisa menjangkiti kita.
Kita jangan sampai meniru gaya dakwah ustad masa kini, yang banyak gaya dan memiliki gaya yang dipikir berkarakter dan memiliki ciri khas.
Apakah kita senang dengan gaya yang tidak menunjukan sisi karakter pribadi yang sebenarnya ?
Tehnik berdakwah para ustad masa kini, dan dengan apa yang Nabi bawakan itu jauh bagai langit dan bumi.
Nabi berdakwah alami, para ustad masa kini berdakwah dengan penuh gaya dengan intonasi yang dibuat-buat agar terlihat berwibawa.
Tampilan Nabi sangat sederhana dalam berdakwah, bahkan baju yang ia kenakan pun sampai terlihat bekas jahitannya…
Sedangkan tampilan sebaliknya, dikenakan para ustad sekarang dengan penuh glamour, mewah, kontras gayanya, memakai bermacam pernak pernik, sehingga, gaya lebih diutamakan, sedangkan isi keilmuan yang disampaikan hanya itu-itu saja.
Muatan materinya diulang-ulang di tempat yang berbeda.
Semakin terasah gaya bicaranya, ya karena ada evaluasi, dan kembali mengulang dakwah dengan tema yang sama dengan lebih fasih penguasaan materinya dari sebelumnya.
Itu bisa kita perhatikan…!
Kita jangan salah dalam memberi point kritis atas gaya-gaya para ustad yang mampu membius kita untuk sesaat, namun tak menghadirkan ketundukan hati, dimana malah sebaliknya, hati kita semakin mengeras dan berkarat.
Nabi itu menyampaikan dakwahnya secara biasa-biasa saja, normal-normal saja, tidak diada-adakan, tidak dilebih-lebihkan, persis seperti gaya kiai kampung yang bersahaja, namun memiliki kharisma menyala yang kuat.
Nabi berdakwah dan menyampaikan Islam dengan sangat halus, sangat berperasaan, membawa dakwah dan syiarnya dengan cara bersahabat, mengobrol santai, berbincang asik, ada dialog, sangat terbuka, dan tidak sok mengurui.
itu cara pendekatan dakwah seorang Nabi yang mulia, yang sudah dilupakan para pendakwah masa kini, yang maunya bicara di atas mimbar, tak mau bergaul erat dengan masyarakat.
Jika bicara sok kuasa, sok paling tahu, so paling paham, ditambah bumbu provokasi menghidupkan kebencian yang sengaja diletupkan, untuk di tembakan oleh ustad ini dengan gayanya yang sok cool, dan terkesan memaksakan.
Maka tak heran, di Indonesia para ustad enggan di sertifikasi, karena takut ketahuan modal pemahaman keagamaan mereka, yang hanya bermodal mampu membangun narasi-narasi kebencian, yang juga ternyata disukai para jamaahnya.
Maka kloplah, gayung bersambut.
Jamaah menemukan pujaannya, si ustad menemukan massanya.
Lantas apa yang terjadi ?
Pembodohan bukan mencerdaskan.
Menjebak dan masuk perangkaplah umat !
Dakwahnya bukan untuk meluruskan dan memberi kemaslahatan.
Agama bagi ustad seperti itu, agama seperti boneka, bukan pegangan keimanan yang membangun ketaqwaan, tapi alat yang bisa dimanfaatkan, untuk meraih popularitas, meraih kekuasaan, meraih pengaruh, yang akhirnya mereka bak raja kecil yang bahkan gila hormat, perintahnya bagai maklumat, yang harus di ikuti, merasa kebenaran dan surga mereka yang pegang.
Sehingga pantas, pada beberapa kasus seperti kasus Mas Bechi, anak dari Kiai Jombang, pemilik Pondok Pesantren Shiddiqoyah, Kecamatan Ploso, ketika ada kasus hukum yang menimpanya, polisi sebagai aparat penegak hukum, harus sampai kepayahan, pihak keluarganya sulit untuk diajak koperatif, bahkan pihak orang tuanya, si kiainya, mempersulit, melindungi anaknya, yang jelas memiliki kasus hukum yang perlu di klarifikasi.
Baru setelah Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil QOumas yang mencabut izin Ponpes Shiddiqoyah, sang kiainya pun menyerah, dan menghantarkan anaknya untuk di tangkap pihak aparat.
Maka tak heran, kasus mencemarkan Agama bermunculan.
Bukan disebabkan dari umat lain, tapi dari dalam kaum muslimnya itu sendiri penyebabnya.
Umat tak perlu cepat terpana, dan terpengaruh para Ustad hebat yang muncul dari sisi dunia digital seperti saat ini di YouTube.
Sebagai umat kita perlu gali ilmu agama kita sehingga kita jadi banyak tahu dan faham agama kita sendiri.
Bicaranya meyakinkan, orasinya mengetarkan, bahkan ada yang sampai mengesankan, mengharukan, melarutkan, meruntuhkan hati pemirsa, dengan permainan kata-kata yang indah yang syahdu, dari banyaknya kasus yang umat alami, umat jangan mudah tertipu.
Di Youtube kita tak paham mana srigala mana domba.
atau bahkan, bisa jadi kita menemukan srigala berbulu domba.
Seperti halnya para ustad di mimbar yang bicara keras, sindir sana, sindir sini, eh lantas gaya dakwahnya menyampaikan komunikasi satu arah, dia saja yang banyak bicara, yang lain menyimak pikiran liarnya berdakwah suka-suka, menyindir dan berani menyakiti dengan kata-kata, karena sebab ia kuasa bicara apa saja
Seperti apa yang kita banyak lihat di chanel Youtube
Lihat kembali sejarah awal bagaimana Islam oleh Nabi di ajarkan dan didakwahkan kepada penduduk Mekkah. Nabi mengajarkannya secara sembunyi, sembunyi, artinya, Nabi menghindari timbulnya kekerasan sejak dari awal, hingga akhirnya Islam banyak dipeluk oleh penduduk Mekkah dan Madinah, tetap Nabi mengedepankan kedamaian, persaudaraan, menghormati kemanusiaan, dan tidak merendahkan kepada mereka yang sudah di taklukan.
Pada Nabi lah kita melihat cara bagaimana Nabi berdakwah.
Lantas bagaimana gaya bicaranya :
Nabi bicara lemah lembut, pelan-pelan atau tidak tergesa-gesa. Ini sesuai dengan ungkapan, “Tergesa-gesa merupakan perbuatan setan, dan tenang berasal dari Allah.”
Nabi memilih diksi kata yang jelas, kuat artiannya, sehingga bisa dipahami lawan bicara. Salah satu sifat beliau adalah tabligh. Yaitu yang mempunya kemampuan untuk membicarakan sesuatu dengan jelas dan mengena pada hati pendengarnya.
Nabi, bicara dengan perkataan yang tegas. Tidak bertele-tele dan tak ambigu sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman, atau samar difahami oleh lawan bicaranya.
Ini sesuai dengan riwayat ‘Aisyah yang mengatakan, “Rasulullah SAW tidak berbicara cepat sebagaimana bicara kalian ini. Namun beliau berbicara dengan kata-kata yang jelas dan tegas, hingga orang yang duduk bersama beliau dapat menghafalnya.” (HR. Tirmidzi)
Nabi, sering mengulang bicara sebanyak tiga kali, agar bisa dipahami. Ini sesuai dengan penuturan Anas bin Mali Ra., “Rasulullah SAW suka mengulang kata-kata yang diucapkannya sebanyak tiga kali agar dapat dipahami.” (HR. Tirmidzi)
Nabi, membuka dan menutup perkataannya dengan bismillah.
Dengan bismillah, setiap pembicaraan yang awalnya hanya bernilai dunia, jadi lebih bermakna akhirnya, karena bernilai akhirat.
Nabi, berbicara dengan kalimat singkat yang padat maknanya. Dalam istilah hadits disebut “Jawāmi’ul-Kalim” (kata singkat tapi padat makna).
Nabi, rinci dan pas dalam menjelaskan. Ini sesuai dengan hadits beliau, “Di antara kebaikan Islam seseorang adalah ketika meninggalkannya apa yang tidak bermanfaat baginya.” Termasuk dalam berbicara. Pada riwayat ini dijelaskan, beliau lebih banyak berpikir dan irit bicara kalau tidak perlu.
Nabi, tidak kasar (lemah lembut) dalam berbicara.
Nabi, tidak berkata yang penuh celaan pada kalimat dalam bicaranya.
Pada riwayat lain misalnya, kalau terpaksa harus menegur biasanya Nabi menggunakan kata-kata sindiran, siloka, yang sifatnya tidak menyakiti lawan bicaranya.
Terakhir, Nabi ketika bicara, ia mengekspresikan kata-katanya dengan anggota tubuh.
Dakwah itu dikuatkan oleh bicara, dikuatkan lebih kuat oleh contoh dan perbuatan, dakwah yang baik adalah berbicara lemah lembut dengan siapapun.
Berinteraksi adalah dakwah Nabi, dakwah tak hanya sedang di atas mimbar, dakwah sebenarnya dari kita umat Islam, adalah dakwah aktifitas kita dari pagi hingga kita tidur kembali, dan seberapa banyak kebaikan yang kita tebarkan hari ini, yang bisa kita bawa ke alam mimpi, hingga kita bisa tersenyum berseri-seri, Alhamdulillah.***