Oleh Bambang Melga Suprayogi, M.Sn.
KEADAAN hati, kondisi hati, dalam beberapa literatur kesufian, selalu mengibaratkan hati itu seperti cermin, objek yang bisa memantulkan wujud apapun yang ada di depannya, sama persis seperti bendanya itu sendiri.
Pengibaratan hati yang di sebutkan bagai cermin, merupakan suatu gambaran, bahwa apa yang ditangkap cermin, mampu untuk dipantulkan cermin, sehingga mata kita pun, bisa melihat wujud diri kita, yang mana kemampuan itu tidak bisa di lakukan langsung oleh mata kita, kecuali dengan bantuan, perantara adanya cermin tadi.
Objek dari keberadaan cermin akhirnya jadi suatu topik pendekatan yang menarik, karena bisa jadi pembawa pengibaratan yang menarik dalam topik hati kita.
Akhirnya, beberapa ahli tarekat menggunakan istilah cermin, untuk mengungkapkan kondisi hati manusia, seperti misalnya cermin yang berdebu, cermin yang tertutupi debu, cermin kotor, dan lain sebagainya.
Rasulullah SAW sendiri bersabda “Sesungguhnya hati itu berkarat sebagaimana besi berkarat jika terkena air. Sahabat bertanya. “Ya Rasulullah apakah pembersihnya? beliau bersabda “Banyak mengingat maut dan membaca Alquran.”
Adapun hati, menurut Maulana Muhammad Zakkariya Al-Khandalwai dalam kitabnya Fadhilah Amal, hati diibaratkan cermin, semakin kotor, semakin redup sinar yang dipantulkannya, sebaliknya semakin bersih semakin terang pantulan sinar marifatnya.
Hati itu harus bersih, sebagaimana cermin yang terawat yang bisa memantulkan objek apapun dengan sempurna. Maka dengan merawat sebaik mungkin hati kita, tentunya kita seperti melihat cermin diri kita sendiri yang terpantulkan.
Cermin yang indah dan baik itu yang mampu kita tangkap pantulannya, sebagaimana kemampuan mata biasa, dalam melihat perilaku wujud diri kita, seasli aslinya, sesuai nurani, dan niatnya yang baik.
Cermin yang terawat, atau hati yang terawat, sangat terjaga dari terjangkitinya penyakit hati, sebab kitanya sangat paham, itu adalah debu yang akan membuat buruk tampilan cermin kita.
Maka membersihkan cermin diri kita setiap saat, setidaknya akan menjauhkan dari berbagai debu yang bisa menempel, dan membuat cermin kita, hati kita tetap indah.
Itulah hati dalam gambaran sebagai cermin yang utuh.
Cermin kusam, merupakan gambaran cermin yang tak terawat, model hati seperti ini, sangat gampang dihinggapi banyak penyakit, banyak debu-debu yang menempel, semakin tebal debu menutupi cermin diri kita, maka hati semakin sulit membuka kepekaannya, jauh dari melihat pantulan kebenaran, yang pada akhirnya, kita akan mengalami banyak kesulitan.
Pada cermin kusam, tampilan kebaikan tak bisa ia dilihat, penyakit hati semakin banyak menggerogoti hatinya, yang akhirnya, debu tebal menumpuk, hati jadi buta, tak ada lagi cermin indah.
Yang ada malah, hati kita seperti cermin kusam yang tak lagi jadi pematut keindahan diri.
Itulah gambaran cermin buram, hati telah menghitam, debu tebal telah melengket, dan kita bagai kapal laut tanpa nahkoda, kita terumbang ambing di samudra tak bertepi, yang bila tak diselamatkan, kapal akan karam terkena benturan karang, maupun sapuan ombak.
Cermin retak, adalah gambaran cermin yang sudah mulai diabaikan keberadaannya, sudah mulai rusak fungsinya, dan ia tidak indah lagi sebagai hiasan.
Manusia dengan hati bagai cermin yang retak, sangat bisa ditangkap keburukannya oleh orang diluar diri kita.
Sehingga kita dengan sendirinya, diabaikan oleh orang lain, karena tidak ada lagi kebermanfaat yang patut diambil, diteladani, dan jadi contoh.
Manusia dengan hati yang bagai cermin retak seperti ini, sangat perlu mencari ahli reparasi, cerminnya harus diperbaiki, hatinya harus di rekonstruksi ulang, sehingga ahli reparasi ini mampu membuat diri kita kembali baik, normal, bersih dan indah kembali cerminnya, seperti keadaan semula.
Cermin hancur, merupakan gambaran hati yang sudah sangat kronis, keburamannya, keretakannya, tingkat kehancurannya.
Sehingga ahli reparasi pun kesulitan dalam memperbaikinya, sebab si cermin sudah sangat begitu berat tingkat kerusakannya.
Untuk cermin hancur seperti ini, itu adalah gambaran keadaan hati, yang tak bisa tertolong lagi oleh hidayah Allah. Manusia seperti ini sudah sangat gelap dari keberadaan nurani, ia buta, tapi tak merasa buta, ia rusak tapi merasa paling sempurna.
Seperti halnya Fir’aun, akhirnya ia jadi pengingat untuk manusia lainnya, dan manusia dengan pengibaratan hatinya, seperti halnya cermin hancur, ia akan jadi contoh yang ibrahnya diambil oleh segenap manusia, sehingga manusia lainnya tak menjadi manusia seperti itu.
Keburukan dari manusia yang cermin hatinya hancur, ia malah membawa manfaat bagi manusia lainnya, untuk menjadi contoh, menjadi pengingat kesadaran pada manusia lainnya, agar selalu menjaga hati, menjaga cermin diri, sehingga hati yang ada pada setiap manusia, harus selalu indah, agar enak untuk bisa mematutkan diri setiap hari, untuk menjaga hatinya, agar selalu baik dan terpelihara.
Alhamdulillah.***