Search
Close this search box.

REFLEKSI | Dakwah Wali

Bagikan :

Oleh Bambang Melga Suprayogi M.Sn

SEJARAH telah memberikan pelajaran pada kita semua, bagaimana agama kita, Islam, telah tumbuh pesat berkembang di negeri ini, dengan pendekatan dari sisi, menyentuh aspek psikologis setiap orang yang didakwahinya, melalui awalan adab yang baik, dalam membangun hubungan komunikasinya.

Dalam melakukan syiar Islam, kita baiknya harus kembali menyelami cara pendahulu kita para wali, aulia tersebut, yang datang ke setiap wilayah tertentu di Nusantara dengan cara yang adaptif, mengikuti apa yang secara kontekstual kuat mengakar, sehingga cara yang elegan dalam mensyiarkan Islam, mau tak mau mengedepankan cara yang uswastun hasanah untuk menjadi role model saat itu, yang akhirnya diakui masyarakat yang ada di wilayahnya.

Mereka para wali yang menyebarkan syiar Islam, hanyalah seorang pendakwah dengan strategi dakwah sebagai juru toel.

Yaa…hanya untuk sekedar menjadi juru toel (mencolek) manusia lainnya yang ia datangi, sehingga manusia itu melihat, lantas terlibat interaksi komunikasi, saling mengetahui antar keduanya, bertukar pikiran, dan kemudian menyampaikan apa yang diketahuinya, sesuai bahasa yang dipahami oleh orang yang di toel tadi dengan penuh hikmah.

Mencolek atau menoel ini tidak sama dengan dakwah diatas panggung, seperti para pendakwah saat ini, yang menyeru ke banyak orang, dengan intonasi tegas bak orator ulung, yang ternyata, apa yang disampaikan saat si juru dakwah di panggung, tak mempengaruhi perubahan akhlak dan tak berdampak terlihatnya cahaya ilmu pada umatnya.

Tantangan dalam berdakwah, dimulai saat zaman syiar pertama masuk ke Nusantara yang sudah sangat baik, hingga saat ini terus mengalami degradasi dalam segala hal.

Mengapa demikian ?

1. Ditilik dari faktor kemapanan ilmu dan kedewasaan pikiran, ulama dahulu mengedepankan contoh uswatun hasanah, dan mempraktekkan hidup sederhana, membangun kekayaan hati tidak materi, beda dengan yang sekarang banyak dilihat, dari fenomena para generasi selanjutnya.

Baca Juga :  Mark Zuckerberg Salip Jeff Bezos jadi Orang Terkaya Kedua di Dunia

2. Generasi awal para pensyiar Islam, mereka membesarkan wilayah atau daerah dimana ia tinggal, sehingga nama kampung / wilayahnya, selalu melekat di belakang namanya.
3. Nilai dakwahnya selalu memberikan keteduhan, petuah bijak yang selaras dengan apa yang dijalankannya, tidak membangun narasi kebencian.
4. Memegang komitmen, memberi contoh menjalankan praktek kehidupan, sesuai apa yang dijalankan dengan apa yang ia dikatakan (tidak munafik).
5. Banyak memberi, bersedekah, bukan penikmat pemberian, dan pengumpul sedekah, malah banyak juga yang terang-terangan sekarang ini, mencari cara dengan membuka, menerima pemberian umat secara masif untuk kepentingannya.
6. Beberapa oknum mencari cara memperkaya diri dengan gelar keulamaannya, ketinggian ilmunya, sehingga jauh dari cara ulama terdahulu yang bahkan ia sembunyi di tempat yang terang, untuk tidak dikenali.
7. Ulama terdahulu selalu mengedepan ketawadhuan, keikhlasan, ketaqarruban, sehingga tercermin dari setiap ucapannya yang jauh dari kata kotor, yang tidak di contohkan sedikitpun oleh Nabi SAW, namun hal sebaliknya sekarang ini, banyak dilakukan oleh para oknum ulama, bahkan berani sampai mengaku memiliki nasab sampai pada Nabi.
8. Ulama terdahulu menghindari popularitas, ia malah tak dikenali di saat hidup, namun menjadi terkenal setelah kematiannya. Ulama saat ini, ia mencari popularitas, malah berani menjalankan cara melawan arus untuk bisa dikenali, menjadi anomali, sehingga setelah sepeninggalnya, banyak hal buruk mulai terkuak.
9. Ulama dahulu menjalankan hidup merih, menempa keras dirinya, dipaksakan menutup matanya padahal duniawi, berbeda dengan oknum ulama sekarang, mengajak hidup sederhana pada umat, sedangkan ia sendiri hidup bermewah-mewah tak mengenal perih.
10. Ulama terdahulu banyak benarnya, sehingga ucapannya seucap nyata, atau ‘seciduh metu ‘( bisa terbukti karomahnya)…sedang para oknum ulama sekarang, lebih banyak menceritakan karomah kelebihan ulama dahulu, padahal ia sendiri tak memiliki keistimewaan apapun, cerita luar biasa itu hanya untuk menarik hati umatnya saja, agar bisa terhipnotis, sehingga mereka bisa dimanfaatkan dirinya, sambil terus dieksploitasi, umat terus dibohongi bagi kepentingan dirinya, hingga si jamaah akan sadar, setelah sekian tahun ia di manfaatkan.

Baca Juga :  H. Asep Ikhsan: Pentingnya Memilih Pemimpin Berkualitas di Kabupaten Bandung

Lalu efeknya bagi umat bagaimana, jika ilmu yang di dapat bukan mencahayai jiwanya ?

Ilmu pada audien atau umat tidak tertanam, umat tidak bertambah semakin cerdas, malah tumpul akalnya.

Umat mampu di setir, mereka bagai zombie, atau mayat hidup !
Itu karena efek hipnotis yang mampu menumpulkan pikiran dan akal sehat, hingga tak ada di kenali berpikir analitis, yang jelas sumuhun dawuh, titah apapun bagai kewajiban yang patut di laksanakan.

Bahayanya ilmu jika disampaikan oleh ulama yang salah, ia akan membakar, bukan menyemai. Ia akan menghanguskan, bukan menumbuhkan.

Yaa, karena terbukti …dakwahnya hanya penyampaian doktrin, dimana itu hanya membebalkan kemampuan berpikir umat, sehingga umat di buat buta, di buat tak faham cara pengalian ilmu, cara menyempurnakan akal, sehingga akhirnya tertanam sifat fanatik buta, yang menenggelamkan akal sehat, yang seharusnya menjadi tanda dari keberadaan manusia yang sempurna.

Para menyampai risalah Nabi di zaman ini, telah banyak membuat keriuhan, menjadi provokator, mengumpat yang handal, menabur kebencian antar sesama dan golongan, jika dicermati secara nalar, dan akal sehat, apakah seperti itu Islam di ajarkan oleh Baginda Nabi ?

Maka kembali disini, di ingatkan…tiru cara para aulia yang datang ke Nusantara dengan membawa adab tata krama dalam memasuki ladang dakwah baru yang mereka hadapi.

Mereka tidak membuka front peperangan.
Mereka tidak menyulut kemarahan.
Merekapun tidak memulai dengan membangun narasi kebencian.

Para aulia datang dengan adab ke Nusantara.
Para aulia datang untuk menetap dan berinteraksi dengan masyarakat dimana ia tinggal, dan mengharumkan tempat di mana ia bermukim.

Mereka mengajarkan membangun hati, membangun harga diri umat, sehingga perlunya menuntut ilmu sebagai suatu kewajiban, diharap agar umat memiliki derajat yang mulia, yang akan mengantarkannya menjadi manusia yang berguna dan bermanfaat.

Baca Juga :  PT Catur Sentosa Adiprana Tbk Kerja Sama dengan Paper.id untuk Efisiensi Pengelolaan Invoice

Para aulia jauh dari kesan glamor, bermewah-mewah, walau ia berkedudukan sebagai orang yang di hormati

Syiar Islam itu terus berproses.
Ia menapaki jalan bak anak tangga.

Dan ini pun sangat memerlukan waktu, syiar Islam seperti apa yang di bawa Nabi, tidak instan, perlu proses penerimaan, sama halnya… umat lainpun perlu waktu untuk mempelajari terlebih dulu, sampai mau menerima Islam pada akhirnya.

Karena merekapun memiliki naluri nyaman tidaknya pemahaman baru yang mereka dapat, apakah baik untuknya ?
Membawa kebahagiankah ?

karena bagaimanapun, mereka akan melihat pertama kali, perilaku pendakwahnya, itu mereka pelajari, karena Islam adalah agama contoh keteladanan, sehingga yang di contohkan Nabi itu pun, tak lain adalah memperlihatkan akhlak yang mulia, dan bicara penuh hikmah.

Alhamdulillah.***

Baca Berita Menarik Lainnya :