Oleh Bambang Melga Suprayogi, M.Sn.
IDENTITAS Islam merupakan tanda pengenal yang melekat sebagai ciri keberadaan umat Rasulullah, yang membedakannya dengan umat lain, dari agama dan keyakinan yang ada di muka bumi.
Apa identitas atau ciri yang melekat pada umat ini;
1. Sebagai umat yang memegang prinsip ahlaqul karimah.
Dalam firmanNya, Allah SWT telah menjelaskan contoh pribadi yang bisa disebut sebagai akhlakul karimah. Penjelasan ini terdapat dalam surat Al Ahzab ayat 21;
Artinya: Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.
Nabi Muhammad SAW dalam haditsnya telah menjelaskan keutamaan memiliki akhlakul karimah yang disebut juga tingkah laku yang terpuji, mulia, baik, yang utama.
مَا مِنْ شَيْءٍ أَثْقَلُ فِيْ مِيْزَانِ الْمُؤْمِنِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ خُلُقٍ حَسَنٍ
Artinya: “Tidak ada sesuatu yang lebih berat pada timbangan (kebajikan) seorang mukmin pada hari kiamat daripada akhlak yang mulia.” (HR At-Tirmidzi).
2. Sebagai umat yang Rahmatan Lil Alamin.
Apa yang dimaksud dengan Islam rahmatan lil alamin dan contohnya?
Dikutip dari halaman Institut Agama Islam Negeri Surakarta karya Dr. Ismail Yahya, M.A Islam secara bahasa berarti damai, keamanan, kenyamanan, dan perlindungan. Sedangkan, secara agama, Islam adalah manifestasi dari damai.
Dalam hadits riwayat Bukhari, Rasulullah SAW bersabda, “Seorang Muslim itu adalah orang yang orang-orang Muslim lainnya merasa aman dari (kejahatan) lisan dan tangannya.”
Hadits riwayat Bukhari berbunyi, “Seseorang bertanya kepada Nabi, apakah (amalan-amalan) yang baik di dalam Islam? Nabi menjawab: engkau memberikan makanan dan mengucapkan salam kepada orang yang engkau kenal dan kepada orang yang engkau tidak kenal.
Selain itu, dalam hadits riwayat An-Nasa’i, Nabi Muhammad SAW bersabda, “Seorang muslim itu adalah orang yang orang-orangnya manusia lainnya merasa aman (dari kejahatan) lisan dan tangannya dan orang mukmin adalah orang yang manusia lainnya merasa aman atas darah (jiwa) dan harta mereka.”
Dari tiga hadits tersebut menunjukkan bahwa Islam sebagai agama secara normatif memastikan terwujudnya kedamaian dan keselamatan seluruh umat manusia, dan orang muslim tidak lain adalah mereka yang mewujudkan nilai-nilai luhur Islam tersebut.
Adapun, Islam rahmatan lil alamin terdiri dari dua kata, yakni rahmat yang berarti kasih sayang, dan lil alamin yang berarti seluruh alam. Namun, ulama tafsir berbeda pendapat mengenai maksud rahmatan lil alamin dalam surat Al Anbiya.
Menurut Ath-Thabari yang paling benar adalah [rahmat] bagi orang beriman maka sesungguhnya Allah memberikan petunjuk kepadanya dan memasukkan keimanan ke dalam dirinya dan memasukkanya ke dalam surga dengan mengerjakan amal yang diperintahkan Allah.
3. Sebagai umat Wasathiyah
Wasathiyah, berasal dari akar kata “wasatha”. Menurut Muhammad bin Mukrim bin Mandhur al-Afriqy al-Mashry, pengertian wasathiyah secara etimologi berarti:
وَسَطُ الشَّيْءِ مَا بَيْنَ طَرْفَيْهِ
Artinya: “sesuatu yang berada (di tengah) di antara dua sisi
Menurut al-Asfahany, kata wasathan mengandung arti tengah-tengah, di antara dua batas (a’un) atau bisa berarti yang standar. Kata tersebut juga bermakna menjaga dari sikap melampaui batas (ifrath) dan ekstrem (tafrith).
Wahbah al-Zuhaili dalam tafsir al-Munir menegaskan bahwa kata al-wasath adalah sesuatu yang berada di tengah-tengah atau مَرْكَزُ الدَّائِرَةِ, kemudian makna tersebut digunakan juga untuk sifat atau perbuatan yang terpuji, seperti pemberani adalah pertengahan di antara dua ujung.
“Dan demikianlah Kami menjadikan kalian umat yang pertengahan”, artinya “dan “demikianlah Kami memberi hidayah kepada kalian semua pada jalan yang lurus, yaitu agama Islam. Kami memindahkan kalian menuju kiblatnya Nabi Ibrahim as dan Kami memilihkannya untuk kalian.
Kami menjadikan Muslimin sebagai pilihan yang terbaik, adil, pilihan umat-umat, pertengahan dalam setiap hal, tidak ifrath dan tafrith dalam urusan agama dan dunia. Tidak melampaui batas (ghuluw) dalam melaksanakan agama dan tidak seenaknya sendiri di dalam melaksanakan kewajibannya.”
Al-Thabary memiliki kecenderungan yang sangat unik, yakni dalam memberikan makna seringkali berdasarkan riwayat. Terdapat 13 riwayat yang menunjukkan kata al-wasath bermakna al-‘adl, disebabkan hanya orang-orang yang adil saja yang bisa bersikap seimbang dan bisa disebut sebagai orang pilihan.
Di antara redaksi riwayat yang dimaksud, yaitu:
عَنْ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي قَوْلِهِ وَكَذَالِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا قَال: عُدُوْلًا .
Artinya: “Dari Abi Sa’id dari Nabi bersabda; “Dan demikianlah Kami jadikan kalian umat yang wasathan”. Beliau berkata: (maknanya itu) adil.”
Berdasarkan pengertian wasathan itu, seringkali dipertanyakan mengapa Allah lebih memilih menggunakan kata al-wasath dari pada kata “al-khiyar”? Jawaban terkait hal ini setidaknya ada dua sebab, yaitu:
Pertama, Allah menggunakan kata al-wasath karena Allah akan menjadikan umat Islam sebagai saksi atas (perbuatan) umat lain. Sedangkan posisi saksi semestinya harus berada di tengah-tengah agar dapat melihat dari dua sisi secara berimbang (proporsional). Yang akhirnya bisa memberikan penilaian dengan cermat dan sebaik- baiknya.
Kedua, penggunaan kata al-wasath terdapat indikasi yang menunjukkan jati diri umat Islam yang melekat kuat dalam pribadi Muslim, bahwa ia menjadi pribadi( Individu), atau umat (Kelompok) yang terbaik, karena mereka berada di tengah-tengah, tidak berlebih-lebihan dan tidak mengurangi baik dalam hal akidah, ibadah, maupun muamalah.
Berdasarkan pengertian dari para pakar tersebut, dapat disimpulkan beberapa inti makna yang terkandung di dalamnya, yaitu: sesuatu yang ada di tengah, menjaga dari sikap melampaui batas (ifrath) dan dari sikap mengurangi ajaran agama (tafrith), terpilih, adil dan seimbang.
4. Sebagai umat yang ber’Iqro.
Yakni umat yang mau membaca, dan gemar berpikir, mendalami, dan mempraktekkannya.
Dalam ber’Iqro terkandung banyak manfaat dan keutamaan yang akan membawa kecerdasan dan pengetahuan, dimana pada akhirnya umat akan terhindar dari kebodohan, dan kebebalan, yang akan membawa pada kezahiliyahan.
5. Umat yang taat pada pemimpin.
Umat Islam di ingatkan baik oleh Allah dalam kitab suci Al-Qur’an pegangan kita, maupun oleh Nabi, untuk taat, patuh, dan mau mendengar pemimpinnyya, atau Ulil Amri nya, hal ini agar umat mendapatkan Rahmat Allah, dan kebaikan utama bagi mereka.
Dan untuk itu, mengambil sikap berada pada mendukung Ulil Amri yang menjadi penguasa Negeri, akan mendatangkan keutamaan.
Wajib Baiat Kepada Ulil Amri
Baiat ialah perjanjian untuk mendengar dan taat kepada pihak yang berkuasa atas urusan kaum muslimin (ulil amri). Baiat berlaku bagi setiap orang yang berada di dalam kekuasaannya. Menjaga janji dalam baiat hukumnya wajib, Allah l berfirman, “Bahwa orang-orang yang berjanji setia kepadamu (Muhammad), sesungguhnya mereka hanya berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan-tangan mereka, maka barang siapa melanggar janji, sesungguhnya dia melanggar janjinya sendiri dan barang siapa menepati janjinya kepada Allah, maka Dia akan memberinya pahala yang besar” (Q.S. al Fath [48]: 10).
Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya (no. 1851), dari Abdullah ibn Umar, beliau berkata, aku mendengar Rasulullah ` bersabda, “Barangsiapa melepas tangannya (baiatnya) dalam mentaati pemimpin, ia akan bertemu dengan Allah di hari kiamat dengan tanpa memiliki hujjah, dan barangsiapa meninggal dalam keadaan tiada baiat di pundaknya maka matinya seperti mati jahiliyah.”Imam Ahmad bin Hanbal, sebagaimana dalam Ushul As Sunnah hal. 64, berkata, “Wajib mendengar dan menaati para pemimpin dan amirul mukminin yang baik maupun yang fajir (berbuat kerusakan). Wajib pula menaati pemegang kuasa suatu kekhilafahan, dan setiap pemimpin yang disepakati oleh masyarakat, ataupun penguasa yang mengalahkan suatu wilayah dengan pedang (peperangan) hingga ia menjadi khalifah yang disebut amirul mukminin di wilayah tersebut.”
Mentaati Pemimpin dalam Kebajikan
Ta’at kepada pemimpin adalah suatu kewajiban sebagaimana disebutkan dalam Al-Kitab dan As-Sunnah. Di antaranya Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (Q.S. An-Nisa’ [4]: 59)
Dalam ayat di atas tersebut, Allah menjadikan ketaatan kepada pemimpin pada urutan ketiga setelah ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya.
6. Sebagai Umat yang mencintai Rosululloh, Keluarganya, para sahabat, Tabiin, Tabi’ut tabiin, para Ulama, dan orang-orang Soleh.
Sehingga keutamaan dan keteladanan mereka selalu menjadi acuan untuk di ikuti.***