Search
Close this search box.

REFLEKSI | Islam Membentuk Budi Pekerti

Bagikan :

Oleh Bambang Melga suprayogi M.Sn.

ISLAM membentuk budi pekerti, dan Nabi SAW adalah manusia yang sebaik-baiknya dalam berahlaqul karimah, atau berbudi pekerti tersebut. Beliau (Nabi) langsung menjadi model dan contoh Allah, akan kehalusan budi pekerti luhur atau al-akhlaq al-karimah itu sendiri.

Budi pekerti dalam perspektif Islam, merupakan salah satu misi pokok, hal utama yang di ajarkan, dan di contohkan Nabi Muhammad SAW.

Rasulullah ditugaskan Allah memperbaiki atau menyempurnakan akhlak mulia atau budi pekerti luhur bagi umatnya, yang telah mengikatkan diri berikrar bersyahadat, bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan nabi adalah utusan Allah, sebagai pembawa “Risalah,” juga sebagai contoh bagi kita umat nya.

Al-Qur’an menggambarkan bahwa Nabi Muhammad SAW memiliki akhlak yang sangat agung, dan mulia. Bahkan dapat dikatakan bahwa pertimbangan (konsideran) dari pengangkatan beliau sebagai nabi adalah karena keluhuran budi pekertinya.

Hal ini dipahami dari wahyu ketiga yang antara lain menyatakan bahwa:
“Sesungguhnya engkau (Muhammad) berada di atas akhlak yang agung.” (QS Al-Qalam [68]: 4).

Dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda: “Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak-akhlak yang baik.

Mengenai akhlak Nabi SAW, Siti Aisyah radhiallahu anha mengatakan ;
” Akhlak beliau adalah Al-Qur’an. Yakni sebagaimana yang terdapat di dalam Al-Quran. “

Artinya: Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS. Al Ahzab [ 21] )

Ibnu katsir menerangkan bahwa ayat yang mulia itu merupakan dalil pokok yang paling besar, yang menganjurkan kepada manusia yang beriman, agar meniru Rasulullah SAW dalam semua ucapan, perbuatan, dan sepak terjangnya.

“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu (umat manusia), serta sangat menginginkan kebaikan untuk kamu semua, lagi amat tinggi belas kasihannya serta penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS Al-Taubah [9]: 128).

Baca Juga :  Pengakuan Dokter Kena Kanker Paru Stadium 4, Ini Gejala Awal yang Dirasakan

Begitu besar perhatiannya kepada umat manusia, sehingga hampir-hampir saja ia mencelakakan diri demi mengajak mereka beriman (QS Syu’ara [26]: 3).

“Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa. Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shaleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya.” (QS Al-Kahf [18]: 110)

“Sesungguhnya terdapat dalam diri Rasul teladan yang baik bagi yang mengharapkan (ridha) Allah dan ganjaran di hari kemudian dan dia banyak menyebut Allah.” (QS Al-Ahzab [33]: 2l).

Jika Allah begitu sangat menyanjung Nabi Muhammad SAW, sehingga Keluhuran, kebaikan, Ahlaqnya, menjadi hiasan yang menaburi Al Qur’an, maka kita dapat mengambil titik tegas, bahwa ;

Nabi Muhammad SAW, manusia mulia.
Nabi Muhammad SAW, manusia yang halus budi pekertinya.
Nabi Muhammad SAW, manusia utama.
Nabi Muhammad SAW, manusia teladan dalam hal ahlaqnnya.
Nabi Muhammad SAW, manusia selalu menyerukan Keimanan.
Nabi Muhammad SAW, manusia yang selalu banyak menyebut Allah.

Lantas bagaimana dengan kita umatnya ?

Kita selalu dalam awal pembukaan pembicaraan ketika berkhutbah, memuji dan meneladani Nabi Muhammad SAW dalam setiap perilakunya, yang menjadi contoh, panutan buat kita.

Mereka yang berbicara seperti itu di depan khalayak, adalah orang yang ilmunya lebih dari orang kebanyakan yang ada di tempat tersebut. Dengan demikian, konsekuensinya dari mereka yang sudah berbicara seperti itu, apalagi di depan para jamaahnya, ia adalah seseorang yang pasti meniru Ahlaqnya Nabi, perilakunya Nabi, dan perbuat-perbuatannya Nabi.

Sehingga dengan demikian, orang-orang yang selalu mengingat Nabi, menyebut nama nabi, otomatis tahu apa yang ia ucapkan.
Faham untuk apa ia menyebutkan itu !

Baca Juga :  Irwasum dan Kompolnas Bahas Penguatan Pengawasan Internal Polri

Dan dengan sendirinya, ia pun merupakan prototype, atau model langsung, yang meniru Ahlaqnya Nabi.
Sangat besar tanggung jawab dari pendakwah itu, dengan ucapan, yang membawa nama Nabi dalam sebuah forum, atau kajian, saat ia berdakwah, karena disebutkannya nama Nabi, itu bukan sekedar pemanis dalam suatu pembukaan acara, dimana ia akan berbicara lebih lanjut.

Kita umat tentunya akan sangat kritis…
akan sangat kontras nanti terlihat, beda apa yang ia puji, ketika di awal ia menyebut nama Nabi sebagai contoh teladan ahlaqul karimah, dan saat sampai pada isi pesan dalam dakwahnya.

Adakah kita melihat contoh yang relevan dalam runutan isi dakwahnya itu ?
Yang memperlihatkan mimik, gesture, intonasi suara, dan kesantunannya dalam membawakan ceramahnya ?

Para pendakwah adalah contoh bagi jamaahnya.
Perilakunya akan menjadi panutan untuk ditiru.
Pesan dakwahnya, merupakan doktrinasi yang tertanam kuat bagi umat dalam membangun Budi Pekertinya.

Hasilnya bagaimana ?
Umat akan meniru ulama yang jadi panutannya !
Ketika ulama itu memiliki budi pekerti dan kemuliaan, umat akan dibentuk seperti keutamaan budi pekerti yang ulama itu miliki.

Tapi jika ulama itu tak memiliki budi pekerti, ahlaqul karimah yang mulia, umat akan dibentuk seperti prototype ulamanya itu sendiri.

Hingga pada akhirnya, umat itu seperti kertas kosong (Tabula rasa) dalam teori pendidikan anak, menurut John Locke. Yang membutuhkan orang-orang dewasa untuk mengisi dan mewarnai nya, dan hal ini adalah gejala yang hampir sama !

Umat itu seperti anak, dan para Ustad, Khyai, Habaib, adalah orang dewasa.
Dan pemahaman umat, di isi dan di warnai oleh Ustad-ustad dan Khyai-Khyai, dan Habaibnya tersebut.

Dimana para jamaah, murid, santri banyak terlihat mendapat isi dan warna dalam femahamannya, praktek muamalah dalam kehidupannya, sesuai siapa ustadnya, Khyainya, atau Habaib yang ia panuti.

Baca Juga :  Jadwal Terbaru Kereta Bandara Xpress Senin 2 Desember 2024

Sehingga hal yang utama dalam menjadikan diri kita mampu meniru Ahlaqnya Nabi, Rosululloh Muhammad, adalah mencari figur, panutan dan guru, atau Mursyid, Habaib yang tepat !

Ada Istilah, salah berguru, kita akan salah jalan.
Dan itu berlaku pada kita umat Islam yang ingin bisa meniru ahlaq Nabi, dalam berbagai sisinya.

Jika Akhlak kita tak menjadi lebih baik, setelahnya mendapatkan seorang guru, atau Mursyid…maka evaluasi !
Pantaskah kita terus berguru dan memanutinya !

Jika Ahlaq kita dari yang awalnya keras, lalu bisa berubah menjadi lembut, setelahnya kita berguru, atau memanuti seorang ulama yang kita panuti, yang kita belajar kepadanya,
dan ahlaq atau perubahan diri kita menjadi baik itu terasa, maka kita telah menemukan guru yang tepat, sebagai pembimbing diri kita yang benar.

Semoga Allah mempertemukan kita, dengan para guru Sholeh, yang mampu memandu melembutkan hati kita, bukan malah makin mengeraskan hati ini.

Semoga Allah menjauhkan kita dari guru yang akan merusak Ahlaq kita, membuat kita banyak membenci sesama, yang tidak sesuai dengan ahlaq mulia Nabi kita.

Semoga kita mampu mencintai Nabi, dengan segenap kecintaan kita, untuk meniru Ahlaq Nabi yang kita rindukan, sehingga ahlaq mulia itu mampu kita miliki.

Dalam sebuah doa, dari kedalaman hati seorang hamba, tentunya doa yang sama seperti di bawah ini, sering kita dengar;
“Ya Allah Buang Rasa Benci, Iri, dan Hasut, dalam hati kami, sehingga kami mampu melihat sosok guru-guru kebaikan yang engkau sembunyikan dari mata penglihatan kami, hingga kami bisa menemukan ia, untuk kami petik ilmu dan Ahlaqnya, sehingga kami memiliki kemulian seperti kemulian Nabi, yang kami teladani…amin”. ***

Baca Berita Menarik Lainnya :