Oleh Bambang Melga Suprayogi M.Sn.
MENJADI umat yang Rahmatan lil Alamin sesuai dengan harapan Nabi SAW, bagi kita orang yang berpikir kritis, tidaklah mudah! kita laksana berjalan di jalan yang curam, banyak tantangan, licin, dengan batu sandungan besar, yang menghalangi pandangan diri kita, yang jika kita tak kuat berpegang di tali Allah ini, otomatis, dengan sendirinya kita tergelincir, tercebur dikubangan kehinaan, sedangkan itu tak sampai kita sadari, karena saking halusnya tipu daya yang mampu menutup nurani kita, sehingga cahaya kebenaran sendiri susah kita tangkap, dan gilanya, kita merasa sudah paling benar, paling suci, padahal sesungguhnya kita telah terkelabui Iblis, karena ulah diri kita sendiri yang tak melihat “guidebook,” rute kebenaran, yang telah ditetapkan Allah itu.
Berjalan mengikuti kebenarannya saja, kita diuji dengan kebenaran itu sendiri!
Hal ini di pastikan, Allah memang mencari, dan berusaha menyaring dengan caranya, untuk mendapatkan manusia berkualitas, individu umat yang bermutu, dari umat kekasihnya, Nabi kita Muhammad SAW, yang dari sekian banyaknya, mereka akan dimasukan dan diklasifikasikan sesuai golongan-golongannya, pada kelas-kelas yang disesuaikan, sesuai ujian dimana mereka naik tingkat, berdasarkan kadar tingkat keyakinannya.
Dalam pemahaman kita, itu dikenal sebagai tingkatan keimanan, yang menunjukkan sejauh mana kesadaran kita pada iman dan pemahaman kita, terhadap Allah itu sendiri, yang bisa kita refleksikan sesuai dengan nalar, pemahaman, dan keintelektualan kita memaknai Islam dan memahaminya, serta menjalankan sebagai bentuk pengamalan ajarannya.
Hingga pada hal ini, potensi kita yang didalamnya melibatkan keseluruhan sikap kita dalam mengamalkan dan mengaktualisasikan keyakinan kita yang kita perankan itu, akan diuji dengan ketulusan, keikhlaskan, pengetahuan keilmuan, wawaasan, kearifan, pengorbanan diri kita dalam mengamalkannya, sebagai bukti bahwa kita adalah muslim yang “kaffah,” dan mau memperjuangkan Islam untuk di kenali ajaran keluhurannya, kemuliaan, dan kebaikannya.
Di mana dengan ajaran yang kita terima itu, mampu membentuk pribadi kita, sebagai pribadi Rabbani, seperti kuatnya kesadaran keimanan kita, sesuai tuntunan, yang melahirkan sifat mulya yang di perlihatkan para sahabat utama Nabi SAW kita.
Lalu peran kita dalam mengamalkan Islam sesuai kadar yang kita fahami ini, akan di catat oleh malaikat, dengan catatan otentik, sesuai kadar kefahaman kita, pada cara bersikap, dan aktualisasi kita dalam memaknai Islam, seperti apa yang kita perankan untuk mewarnai keIslaman sesuai kadar dirinya.
Dan dari sanalah, maka diri kita masuk pada pengelompokan, atau penggolongan yang mana!.
Sesuai klasifikasi pada golongan yang mana, diri kita nantinya berada.
Apakah diri kita itu mampu memerankan peran terbaik untuk agama ini, sehingga sebagai umat Nabi Muhammad SAW, kita termasuk manusia dalam kelompok terbaik, mampu memberi banyak kebermanfaatan, dan bermanfaat diri kita bagi kehidupan, dan kemanusiaan karena kontribusinya.
Sehingga pesan Rahmatan Lil Alamin yang kita sandang, dan kita perankan, menjadi lebih berarti, tidak hanya selogan, “tong kosong nyaring bunyinya,” saja. Dan hal ini, adalah tanggung jawab kita sebagai umat Muslim, yang harus memberi bukti, bagaimana kita menjadi manusia yang paling berarti di mata Allah, dan manusia.
Dan bukan malah menjadi manusia yang paling di benci, karena ketidak bermanfaatan kita, baik sebagai manusianya, maupun manusia dengan kedudukannya ketika ia mengemban amanah.
Al Qur’an sebagai sebuah petunjuk, tentunya menyimpan rahasia-rahasia besar dalam berbagai lembaran-lembarannya, ketika satu demi satu ayat dalam setiap surat, berfungsi sebagai pemberi peringatan, tanda, rambu, dan berisi nilai-nilai berupa perlambangan yang mesti dipikirkan oleh umat Nabi, yang di tantang oleh Allah langsung, untuk melakukaan proses membuka pikirannya, menggunakan pikirannya, memikirkan tanda-tanda dari kekuasaan Allah yang berserak, sehingga ia mendapat pelajaran dari apa yang dilihatnya. sehingga pada tahapan ini tentunya, Allah menginginkan manusia berkualitas, dari umat Nabi kita Muhammad SAW, yang bernalar yang bisa Ia ‘Allah’ andalkan.
Iman berdasarkan kadar tingkat keyakinannya, terbagi atas lima tigkatan, menurut Syekh Allamah Muhammab bin Umar an-Nawawi al-Banteni dalam Kitab Syarah Kasyifah as-Saja Fi Syarhi Safinah an-Naja mengatakan, lima tingkatan iman itu adalah ;
Pertama, iman taklid, yaitu mantap dan percaya dengan ucapan orang lain tanpa mengetahui dalilnya. Orang yang memiliki tingkatan keimanan ini dianggap sah keimanannya, hanya saja, ia berdosa karena meninggalkan upaya mencari dalil, karena sesungguhnya orang tersebut mampu menemukannya.
Kedua, iman ilmi, yaitu mengetahui akidah-akidah beserta dalil-dalilnya. Tingkatan keimanan ini disebut ilmu yaqin. Menurut Syekh Nawawi, orang yang memiliki keimanan tingkat pertama dan kedua seperti ini, termasuk orang yang terhalang jauh dari zat Allah Ta’aala.
Ketiga, iman iyaan, yaitu mengetahui Allah dengan pengawasan hati. Oleh karena itu, asma Allah tidak hilang dari hatinya, ia selalu tersadar setiap saat, bahwa Allah mengawasinya, sehingga tidak sekedip mata pun ia lalai dari menginggat Allah, karena rasa takut kepada-Nya, selalu terjaga hatinya, selalu ada Allah di hatinya, sehingga seolah-olah orang yang memiliki tingkatan keimanan ini, ia telah melihat Allah di maqam muraqabah atau derajat pengawasan hati. Tingkat keimanan ini disebut dengan ainul yaqin.
Keempat, iman haq, yaitu melihat Allah dengan hati. Tingkatan keimanan ini seperti yang disampaikan para ulama, yakni orang yang makrifat. Orang tersebut dapat melihat Allah dalam segala sesuatu. Tingkat keimanan ini berada di maqam musyahadah dan disebut dengan haq al-yaqiin. Orang yang memiliki tingkatan keimanan ini adalah orang yang terhalang jauh dari selain Allah.
Kelima, iman hakikat, yaitu sirna bersama Allah dan mabuk karena cinta kepada-Nya. Oleh karena itu, orang yang memiliki tingkatan keimanan ini hanya melihat Allah seperti orang yang tenggelam di dalam lautan dan tidak melihat adanya tepi pantai sama sekali.
Tingkatan keimanan yang wajib dicapai seseorang adalah tingkatan pertama dan kedua. Sementara itu, tingkatan keimanan ketiga, keempat, dan kelima merupakan suatu tingkatan-tingkatan keimanan yang hanya dikhususkan oleh Allah untuk para hamba-hamba-Nya yang Dia kehendaki saja.
Pertanyaannya, semua itu bisa kita masuki maqom-maqom derajatnya, tentunya dengan ilmu, pemahaman kita, aktualisasi diri kita, dan ikhtiar kita membangun potensi keikhlasan diri, dalam menjalankan misi suci untuk menjadi manusia pengemban Rahmatan Lil Alamin itu sendiri. Balik pada diri pertanyaannya, maukah kita memasuki ranah-ranah kwalitas keimanan itu tadi ?
Dengan demikian, kesadaran kita dalam meningkatkan kwalitas ke imanan kita, akan berdampak pada cara kita membawakan dan penyampaikan risalah Islam pada manusia lainnya, dengan penuh hikmah, yang bisa memberi arti pemahaman yang lebih tinggi sentuhan dan kwalitasnya, bagi terbukanya nalar dan hati pada manusia yang disapa kita.
Dengan cara seperti itu, maka… akan terasa kehangatannya, akan terasa ketulusannya, dan akhirnya, mampu memanusiakan manusia, untuk dikenali kemuliaannya, tampa membedakan, ras, warna kulit, agama, sehingga mempertinggi ajaran Nabi ini dalam membangun ahlaq mulia pada umatnya, yang akan menjadi contoh bagi kemanusiaan itu sendiri.
Alhamdulillah.***