REFLEKSI | Pilar Kekuatan Islam yang Hilang

Silahkan bagikan

Oleh Bambang Melga Suprayogi, M.Sn.

Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang melakukan perbuatan keji, kemunkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”.(QS Surat An Nahl, ayat 90).

ALLAH yang Maha Adil, sangat mendorong manusia sebagai hambanya agar berlaku adil pula dalam segala aspek kehidupan.
Keadilan merupakan tongak bagi terciptanya kehidupan yang aman dan damai.

Seorang yang memiliki keimanan, ketakqaan dan memegang konsep ketauhidan, sudah barang tentu ia akan berusaha berlaku untuk adil, baik adil kepada dirinya sendiri, atau adil kepada orang lain di luar dirinya.

Adil adalah menempatkan sesuatu sesuai aturannya, sesuai fungsinya, dan memiliki aspek keberimbangan yang proporsional.
Seperti contoh, saat Rasulullah SAW, diminta menjadi penentu untuk menempatkan Hajar Aswad ke Baitullah, maka Nabi SAW berpikir bijak, dengan menggambil kain dan meletakan Hajar Aswad di tengah-tengahnya, sehingga para kepala suku dari khabilah yang ada, semuanya dapat berpartisipasi ikut mengangkat batu mulia itu untuk kembali pada tempatnya, dan pada bagian akhir, Rasulullah yang menempatkan batu Hajar Aswad itu pada dinding Ka’bah.

Adil merupakan usaha yang dilakukan secara sungguh-sungguh oleh para Nabi, para sahabat, Tabiin, dan terus sampai setelah generasi-generasi awal Islam.

Mengapa sampai harus mengusung keadilan ?

Pertanyaan diatas adalah suatu pertanyaan yang sebenarnya, diarahkan untuk mempertegas harus adanya keadilan itu sendiri.

Al Qur’an surat Al Maidah ayat 8 ;
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak (kebenaran) karena Allah (dan) saksi-saksi (yang bertindak) dengan adil. Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlakulah adil karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah maha teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.”

Dalam suatu pertempuran antara pasukan Muslim dan kaum Kafir Quraisy, di salah satu peperangan Khandaq, Amr bin Abd Wad al-Amiri, dedengkot musyrikin Quraisy yang sangat ditakuti, mengajak duel para sahabat Nabi, para sahabat yang tahu akan kehebatan Arm bin Abd Wad ini, mereka ciut nyalinya.

Baca Juga :  Jadi Penghargaan ke-213, Pemkab Bandung Raih Penghargaan Bhumandala Award 2023

Sehingga Nabi bertanya kepada para sahabat lainnya, tentang siapa yang akan bisa memenuhi tantangannya itu.
Para sahabat terlihat gentar, tak ada yang menyahut, nyali mereka mendadak hilang, dan surut.

Dalam situasi yang sangat mendesak, tampilah Sayyidina Ali bin Abi Thalib maju, menyanggupi ajakan duel Amr bin Abd Wad itu.

Melihat Ali yang masih terlalu muda, Nabi lantas mengulangi tawarannya kepada para sahabat lainnya. Hingga tiga kali, dan tak ada satupun yang berani mengajukan diri.
Dan memang hanya Ali lah yang menyatakan siap berani melawan jawara Quraisy tersebut, Amr bin Abd Wad menanggapinya dengan tertawa mengejek. Namun faktanya, selama pertarungan duel hidup dan mati itu, nasib mujur ada di tangan Ali bin Abi Thalib.

Duel maut, perang tanding antara Ali bin Abi Thalib, dengan salah satu musuh Islam ini, sangatlah menentukan, dan berpengaruh dalam pembentukan jiwa kesatria pejuang Islam berikutnya, yang mengambil inspirasi dari kejadian ini.

Dalam peristiwa yang heroik untuk para kesatria Allah, ketika musuh telah terjatuh, pilihan dalam menghabisi lawan adalah karena Allah atau karena nafsu…dan hal ini yang melandasi Ali, sehingga ia berpikir adil, tidak sampai mempertaruhkan hawa nafsu nya untuk membunuh musuh yang telah terjatuh itu.

Saat Ali hendak memenggal Arm bin Abd Wad, orang tersebut meludahi Sayidina Ali, sehingga Ali yang awalnya siap membunuh musuhnya tersebut, tebasan pedangnya itu ia urungkan.

Lalu si musuh bertanya kepada Ali, “Wahai Ali, kenapa engkau tidak jadi memenggal kepalaku?”.

Setelah itu, Ali pun menjawab, “Ketika aku menjatuhkanmu, aku ingin membunuhmu karena Allah. Akan tetapi ketika engkau meludahiku, maka niatku membunuhmu karena marahku kepadamu,” kata Ali.

Mendengar betapa Ali, berbuat itu atas dasar karena Allah, dan ia tahu nafsu adalah musuh terbesar umat Islam, maka musuh yang urung dipenggal oleh Ali, akhirnya bersahadat dan masuk kepada cahaya kebenaran Tauhid.

Baca Juga :  Seleksi Desainer Bojonegoro Kembali Hadir, Jaring Talenta Muda

Yaa…adil akan menjauhkan kita dari perbuatan yang dzolim, perbuatan yang hina, perbuatan yang tercela.

Adil adalah nilai-nilai dan pilar keutamaan Islam, yang jika kita pegang prinsipnya, maka keutamaan karakter kita sebagai muslim, akan menjadi contoh tauladan.

Ini seperti kebijakan sang Nabi saat memecahkan masalah soal Hajar Aswad, yang solusinya di anggap baik oleh seluruh suku yang merasa berhak menempatkan batu mulia itu pada dinding Ka’bah.

Pun adil dan faham akan posisi kedudukan nafsu saat berperang, seperti dalam peristiwa duel Sayidina Ali, yang mencatatkan peristiwa tak biasa, yang akhirnya mendatangkan kesadaran musuh akan nilai keutamaan pribadi muslim yang unggul seperti yang di tunjukan Sayidina Ali.

Kini, setelah seribu empat ratus tahun lalu, jauh dari masa kenabian, umat Islam saat ini, terlihat sedang dalam kegamangan global yang menyeluruh.
Negeri-negeri yang dulu sangat terkenal akan keluhuran budi dan keadilan pemimpinnya, kini tengah dalam masa kelabu.

Negeri-negeri Islam banyak yang luluh lantak, setelah diterpa intrik isue yang akhirnya menghancurkan negeri tersebut, akibat masyarakat nya tak berpikir bijak dan adil, dalam menyikapi fenomena global yang disebut “Arab Spring.”

Tak hanya diluar negeri, didalam negeri pun, di Indonesia, kita tak henti di goyang berbagai isue yang mengguncang, dan hal ini jika tak disikapi oleh para kaum muslimin yang masih berpikir jernih, Indonesia mungkin sama, akan tumbang seperti hancurnya negeri muslim di timur tengah lainnya.

Bagaimana kita menempatkan akal sehat kita dan berpikir adil ?

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Jagalah diri kalian dari perbuatan zalim, karena sesungguhnya kezaliman itu akan menjadi kegelapan pada hari kiamat”. (Hadits Shahih, Riwayat Ahmad. Lihat Shahiihul jaami’ no.101).

Menempatkan akal sehat sehingga kita selalu berpikir adil adalah dengan cara, menjauhi perbuatan Dzolim, baik itu yang di sebarkan oleh mereka yang tak bertanggung jawab, atau dengan kita menjauhi hasutan, dan ajakannya.
Karena tentunya semua yang Dzolim, pastinya memiliki daya rusak, dan bisa menjadi bom waktu, jika kita tak berpikir kritis untuk menyikapinya.

Baca Juga :  Pemkab Bandung Raih Swasti Saba Padapa

Dalam masa yang hiruk-pikuk seperti jaman ini, perlulah kita memiliki sikap kehati-hatian, sebagai bentuk menjaga kondisi, agar kita bisa adil dan tahu duduk permasalahan yang sebenarnya.

Dan untuk hal ini, perlulah kita memiliki sikap berada di tengah-tengah, adil, dan berimbang, agar kita tak terbawa oleh arus yang andai kita tak faham, posisi diri kita yang telah berada di tengah-tengah ini, tentunya akan membuat kita lebih cerdas melihat suasana yang terjadi.

Yang terakhir, sebagai sikap kehati-hatian, dan adil dalam menyikapi nantinya, hal yang harus kita lakukan adalah, mau bertabayyun

Tabayyun sendiri adalah salah satu ajaran Islam yang sudah dikenalkan sejak zaman Rasulullah SAW. Dalam dunia modern yang maju seperti saat ini, tabayyun bisa diartikan sebagai cek dan ricek atas sebuah kabar yang beredar di tengah-tengah kita. Dan umat harus banyak melakukan hal positif tersebut.

Semua karena fitnah keji sangat masif saat ini, dan telah banyak menelan korban, membuat yang alim, dan solehpun, kadang terbawa ikut-ikutan menjadi pembenci, yang tidak ia sadari.

Andai kita melupakan tabayyun ini, maka kita telah melupakan keadilan itu sendiri.

Hadits riwayat Imam Ahmad, dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya akan terjadi suatu masa yang penuh dengan tipu daya. Pendusta akan dianggap orang jujur, sedangkan orang jujur dianggap pendusta. Para pengkhianat dianggap amanah, sebaliknya orang yang amanah dianggap pengkhianat. Dan berbicara ruwaibidhah? Siapa Ruwaibidhah? Orang bodoh yang berbicara kepentingan orang banyak.”

Mari perkuat insting keadilan kita dalam menyikapi suatu fenomena,
Sehingga dengan demikian kita bisa terselamatkan karena sikap kita yang bisa melihat sebuah persoalan secara jernih.

Alhamdulillah.***

M Purnama Alam

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Next Post

Lima Amalan Penting Sepuluh Hari Terakhir Ramadan

Sel Apr 26 , 2022
Silahkan bagikanVISI.NEWS | JAKARTA – Ramadan 1443 Hijriah kini dalam bingkai ibadah puncak 10 hari terakhir. Ada lima amalan penting selama masa-masa pencarian malam lailatulkadar ini. Demikian dikemukakan Chamdar Nur Lc SPd MPd, anggota Komisi Hubungan Luar Negeri dan Kerja sama Internasional MUI Sulsel seperti dilansir laman resmi MUI Pusat […]