Oleh Bambang Melga Suprayogi, M.Sn.
AWAL manusia menerima ilmu, terjadi pada masa Nabi Adam as, mendapat banyak pengajaran dari Allah kepada dirinya.
Maka sejak saat itu, para keturunan manusia pertama ini menggunakan ilmunya, untuk memakmurkan bumi, dan membuat banyak kemajuan, keutamaan, dengan ilmunya yang masing-masing miliki.
Ada dua tempat dalam diri manusia untuk menampung ilmu yang ia pelajari, dan ada satu tempat dalam diri manusia untuk membuktikan kemuliaan ilmu itu.
Tempat yang pertama, bagi ilmu sebagai tempat simpannya, adalah di bagian memory, otak, atau ingatan, ia merupakan bagian otak yang penting, untuk menyimpan memori. Hippocampus adalah bagian kecil di otak, yang berperan penting dalam mengingat informasi baru, dan menghubungkan emosi ke dalam ingatan tersebut.
Tempat menyimpan ilmu, yang sudah di ingat ini, ada dalam bagian atas, atau di kepala.
Ingatan dalam otak kita terbentuk melalui tiga tahap, yaitu ;
1. Tahap belajar yaitu proses di mana informasi diterima oleh indra tubuh.
2. Dilanjut masuk apa yang diterima itu ke saraf sensoris
3. Kemudian masuk lagi ke tahap retensi, yaitu proses informasi disimpan oleh otak.
Proses penggodogan semua yang terhimpun, apakah itu ingatan untuk jangka pendek, atau jangka panjang, semuanya tersimpan dengan rapih di otak kita, yang berada di bagian kepala, bagian atas dari anatomi manusia.
Otak ada dua bagian, yaitu otak kanan yang disebut EQ, tempat syaraf emosional, seperti marah, sedih, senang, takut, dll. Di sinilah yang menghubungkan dengan nafsu yang berpusat di jantung.
Yang kedua yaitu otak kiri yang menghubungkan syaraf memory, kecerdasan, berfikir, daya ingat, rasional, yang disebut IQ pusat intelegensi, di sinilah pusat akal yang berhubungan dengan syaraf ke jantung.
Tempat yang kedua, serapan yang terpilih (ilmu), masuknya ke dalam hati, Qolbu, dan diproses dengan baik, dalam bentuk produk jadi, yang sudah berbentuk hikmah, kebijakan (kebijaksanaan) yang mengandung nilai-nilai kebaikan, cahaya keillahiyahan.
Pada posisi tempat kedua ini, wilayahnya ada di hati, dibagian tengah, atau badan, dalam anatomi manusia.
Sehingga manusia di ingatkan Tuhan, dalam Al Qur’an untuk menggunakan Qolbunya, itu seperti dalam Surat Al-Hajj ;
“Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai qolbu, dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah qolbu yang di dalam dada.”
QS. Al-hajj 22:46
Imam Ghazali berpendapat dengan dasar ayat alqur’an di atas, bahwa ilmu itu bukan di otak, tapi di dalam qolbu, penglihatan itu bukan pada mata, tapi di dalam qolbu, pendengaran itu bukan pada telinga, tapi di dalam qolbu, pembicaraan itu bukan pada mulut, tapi di jantung qolbu haqiqotun.
Nabi bersabda ;
“Ketahuilah, sesungguhnya dalam jasad terdapat segumpal daging, apabila dia baik maka jasad tersebut akan menjadi baik, dan sebaliknya apabila dia buruk maka jasad tersebut akan menjadi buruk, Ketahuilah segumpal daging tersebut adalah “Qolbu.”
( Hadis Riwayat Bukhori ).
Sedang satu tempat yang terakhir, adanya di bagian bawah, antara selangkangan, yakni di kemaluan kita, disana tempat pumbuktian untuk kemuliaan kita, apakah bagian atas yang ada di otak lebih dominan, maka yang akan jadi pembuktiannya, adalah bagian ini, tak mampu mengontrol otaknya, maka ia akan terjerembab ke kubangan nafsu syahwatnya.
Sedang jika yang dominan adalah bagian hatinya, bagian bawah, atau kemaluan kita, akan mendapat tempat termulia, sebagai bukti, wilayah keillahian mampu mengontrol manusia tersebut untuk menjaga dirinya, menjaga kehormatannya.
Subhanallah.
Maka mereka yang cenderung menyimpan pemahamannya di otak tidak sampai hati, ia akan celaka. karena ilmu sebagai pembuka kecerdasan kita, bisa juga bagai pisau tajam yang bisa disalahgunakan.
Tak aneh bila ada orang berilmu, tapi pikirannya memiliki daya rusak luar biasa pada kehidupan manusia, itu karena hawa nafsunya yang menjadi pengendali fisiknya, dan perbuatannya.
Nabi pada saat pembagian ghonimah (harta rampasan) hasil perang Hunain, pernah di protes sahabatnya bernama Dzil Khuwaisir, sedang sahabat yang lain faham, semua tahu itu perintah Allah subhanahu wata’ala, karena Nabi selalu dibimbing wahyu dalam tindakannya.
Sampai Nabi marah dan mengatakan, “Celakalah kamu. Yang saya lakukan itu diperintahkan Allah,” tegas Nabi Muhammad.
Lantas ia pun pergi.
Orang yang maju ke depan melakukan protes pada Nabi. Perawakannya kurus, jenggot panjang, jidatnya hitam, namanya Dzil Khuwaisir itu sampai membuat nabi mengatakan sesuatu yang memiliki pesan khusus, yang harus kita pegang teguh sampai sekarang, bahwa mereka yang menghafal Al-Qur’an tapi tidak sampai ke hati adalah orang yang celaka.
Nabi Muhammad mengatakan, nanti dari umatku ada orang seperti itu. Dia bisa membaca Al-Qur’an, tapi tidak tidak paham. Hanya di bibir dan tenggorokan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda ;
“Akan keluar manusia dari arah timur dan membaca Al-Qur’an namun tidak melewati kerongkongan mereka. Mereka melesat keluar dari agama sebagaimana halnya anak panah yang melesat dari busurnya. Mereka tidak akan kembali kepadanya hingga anak panah kembali ke busurnya.” (HR. Bukhari)
Dalam hadits riwayat Muslim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Dari kelompok orang ini (orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah dari Bani Tamim An-Najdi), akan muncul nanti orang-orang yang pandai membaca Al-Qur`an tetapi tidak sampai melewati kerongkongan mereka, bahkan mereka membunuh orang-orang Islam, dan membiarkan para penyembah berhala; mereka keluar dari Islam seperti panah yang meluncur dari busurnya. Seandainya aku masih mendapati mereka, akan kumusnahkan mereka seperti musnahnya kaum ‘Ad.” (HR Muslim 1762)
Dari apa yang menjadi pernyataan Nabi dalam sabdanya, sangat mengindikasikan, bahwa tempat menyimpan Ilmu tidak bisa hanya di otak, dan sangat berbahaya jika tidak sampai bisa menembus hati atau qolbu kita.
Jika ilmu hanya sampai di otak, potensi terbumbui Nafsu, akan membuat manusia jadi buta, dan tak mampu berpikir bijak dengan hatinya.
Tapi bila disertai ilmu, yang sudah ada dalam hati, maka ilmu kita tertuntun cahaya illahi, dan bermanfaat bagi manusia kebanyakan, dan tidak menimbulkan kerusakan, baik bagi kehidupan masyarakat, dalam lingkup terkecil RT /RW, maupun kita sebagai warga negara, dan warga dunia.***