VISI.NEWS |BANDUNG – Pakar hukum Tata Negara Refly Harun dalam sidang kasus Habib Bahar bin Smith di PN Bandung, Kamis (7/7/2022) menilai, ceramah yang disampaikan Habib Bahar bin Smith waktu itu, tidak mengandung keonaran.
Demikian disampaikan Refli Harun dihadapan Majelis Hakim PN Bandung, menurutnya, keonaran yang timbul sedianya berdampak pada fisik, namun fakta yang terjadi tidak demikian adanya.
“Pertanyaannya adalah, ini harus ada satu kesatuan, jadi tindakan menyiarkan lalu akibat menyiarkan itu memunculkan keonaran,” katanya.
Lebih lanjut Refli menjelaskan, jika membayangkan keonaran yang terjadi di suatu tempat adalah keonaran yang sifatnya physical misalnya timbulnya huru hara, korban jiwa kemudian korban cacat, dan lain sebagainya.
“Bukan keonaran yang sifatnya virtual karena kalau keonaran yang sifatnya virtual itu tiap hari kita mengalami, saya buat konten YouTube, tiap hari didebat orang,” jelasnya.
Dalam perkara ini, lanjut Refli, duduk sebagai terdakwa Habib Bahar bin Smith, dan didakwa salah satunya dengan UU Nomor 1 tahun 1946, menurutnya, keonaran yang dimaksud dalam UU Nomor 1 tahun 1946 lebih kepada keonaran yang bersifat faktual terhadap diri seseorang atau benda yang menimbulkan korban.
“Lantas mengaitkan hal itu dengan perkara yang menjerat Bahar, nah, sepanjang sepengatahuan saya, saya tidak melihat hubungan kausalitas itu di kasus ini, jadi ketika terdakwa menyampaikan suatu hal yang sangat kritis, maka unsur menyiarkannya tidak ada,” ujarnya.
Terlebih hal itu disampaikan ketika Habib Bahar tengah
berceramah kemudian yang menyiarkannya orang lain, lalu kemudian unsur menyebabkan keonarannya itu juga tidak ada, dalam kasus ini maka perlu digarisbawahi soal penyiaran, karena setiap penyiaran yang memunculkan potensi keonaran, kita bisa dipidanakan.
“Maka mati semua yang namanya YouTuber atau misalnya penyelenggara penyiaran, jika ketahuan telah menyiarkan berita bohong maka tiba-tiba atau merilis berita itu dan dikarenakan telah dianggap menyiarkan berita bohong,” ungkap Refli.
Dalam persidangan tersebut, Refli juga mengkritisi penggunaan UU Nomor 1 tahun 1946 yang dalam kondisi saat ini kerap digunakan, menurutnya UU itu justru memudahkan untuk menjerat orang.
“Materinya adalah materi yang hari ini mudah sekali untuk menjerat orang-orang, jadi kalau kita bicara soal penerapan hukum itu, paling tidak harus adil, proporsional dan rasional,” imbuhnya.
UU No 1 tahun 1946 ini adalah UU yang sangat tidak rasional, UU tersebut tidak layak untuk digunakan tetapi faktanya digunakan untuk mendakwa terdakwa, maka pertanyaannya adalah relevansi UU yang kemudian menyeret Habib Bahar ke meja hijau.
“Terkait Undang-Undang yang disebut mudah menjerat orang, sejauh ini siapa saja yang sudah pernah terjerat dengan UU tersebut ? Banyak. Kalau bicara personal (ada) Habib Rizieq (Shihab), Syahganda Nainggolan, Anton Permana, Jumhur Hidayat,” urainya.
Terakhir, intinya adalah, Undang-Undang ini dinilai sangat tidak relevan jika dipergunakan di jaman seperti saat ini, karena dinilai sudah membatasi hak untuk berpendapat.
“Yang sudah terungkap tapi yang diadili banyak, kalau kita nggak setuju, diadukan berita bohong, Babe Haikal, Edi Mulyadi diadukan, jadi yang kritis dikenakan berita bohong,” pungkasnya.@eko