VISI.NEWS | JAKARTA – Ketua Dewan Pers Dr. Ninik Rahayu, S.H., M.S. menyampaikan sikap tegas lembaganya terhadap terbitnya Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2025 tentang Pengawasan Fungsional Kepolisian terhadap Orang Asing (Perpol 3/2025). Dalam pernyataannya, Ninik menyebut regulasi ini berpotensi melanggar prinsip-prinsip kemerdekaan pers serta menimbulkan tumpang tindih kewenangan antar lembaga negara.
Sebagai lembaga independen yang bertugas mengembangkan dan melindungi kehidupan pers serta menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM), Dewan Pers menilai Perpol 3/2025 tidak melalui proses penyusunan yang partisipatif. “Kami menyesalkan penerbitan Perpol ini karena tidak melibatkan Dewan Pers, KPI, organisasi jurnalis, maupun perusahaan pers,” ujar Ninik, Jumat (4/4/2025).
Salah satu poin yang dipermasalahkan adalah ketentuan dalam Perpol 3/2025 yang mengatur kewajiban Surat Keterangan Kepolisian (SKK) bagi jurnalis asing. Ketentuan tersebut dinilai mengancam kebebasan pers, terutama karena pelibatan jurnalis asing dalam peliputan di Indonesia sebelumnya telah diatur melalui mekanisme yang jelas oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo).
Dewan Pers menilai Perpol 3/2025 bertentangan dengan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dan UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Kedua undang-undang tersebut secara tegas menjamin hak kerja jurnalistik, termasuk hak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyebarluaskan informasi atau berita. “Kewenangan pengawasan kerja-kerja jurnalistik, termasuk jurnalis asing, secara hukum berada di bawah Dewan Pers dan Kemenkominfo,” jelas Ninik.
Kebingungan juga muncul karena Perpol 3/2025 merujuk pada UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian yang telah beberapa kali diubah, namun tidak mencantumkan ketentuan terbaru dari UU No. 63 Tahun 2024 tentang Keimigrasian. Padahal UU tersebut telah secara khusus mengatur pemberian izin masuk WNA, termasuk jurnalis, ke Indonesia.
Ketidaksinkronan regulasi ini dikhawatirkan akan menimbulkan tumpang tindih kewenangan antar lembaga, memperpanjang proses birokrasi bagi jurnalis asing yang ingin melakukan peliputan di Indonesia, dan membuka celah praktik penyalahgunaan wewenang oleh oknum aparat penegak hukum. “Ini bisa menjadi preseden buruk dalam tata kelola demokrasi dan kebebasan pers di Indonesia,” kata Ninik.
Lebih lanjut, walau Perpol 3/2025 dinyatakan bertujuan memberikan perlindungan dan pelayanan terhadap orang asing, Dewan Pers menilai klausul-klausul dalam aturan tersebut berpotensi dijadikan alat kontrol terhadap kegiatan jurnalistik. “Secara substantif, Perpol ini bisa ditafsirkan sebagai bentuk pengawasan yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pers yang demokratis dan independen,” imbuhnya.
Menurut Ninik, kerja pers harus dijalankan dengan menjunjung tinggi nilai-nilai profesionalisme, moralitas, dan asas praduga tidak bersalah. Peraturan yang mengarah pada pengawasan ketat tanpa dasar hukum yang sesuai, justru akan merugikan upaya memajukan dan menjaga kebebasan pers di Indonesia.
Atas dasar berbagai pertimbangan tersebut, Dewan Pers secara resmi merekomendasikan agar Perpol 3/2025 ditinjau kembali. “Kami meminta adanya evaluasi menyeluruh terhadap substansi dan proses pembentukan regulasi ini, dengan melibatkan pemangku kepentingan di bidang pers dan penyiaran,” tegas Ninik.
Dewan Pers berharap langkah korektif ini dapat memperkuat peran pers dalam demokrasi dan memastikan bahwa regulasi yang diberlakukan di Indonesia selaras dengan semangat kebebasan berekspresi dan prinsip-prinsip negara hukum.
@uli












