Search
Close this search box.

Sistem Kiskusen pada Pilkades

Djamu Kertabudi, Akademisi./visi.news/ist.

Bagikan :

Oleh Djamu Kertabudi

KISKUSEN dapat diartikan sebagai penentuan jumlah perolehan suara minimal dalam perhitungan suara pemilihan kepala daerah/desa.
Sistem kiskusen ini pernah diberlakukan dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada). Hal ini berdasarkan UU No.1 Tahun 2015. Dimana Paslon yang ditentukan sebagai pemenang adalah memperoleh suara terbanyak dengan peroleh suara sekurang-kurangnya 30% dari jumlah pemilih yang menggunakan hak suaranya.

Konsekwensinya, banyak daerah yang menyelenggarakan pemilihan ulang karena tidak ada pasangan calon (Paslon) yang memenuhi persyaratan memperoleh suara 30%. Paslon yang berhak mengikuti Pemilihan ulang adalah Paslon yang memiliki suara terbanyak pertama dan kedua. Sehingga pemenangnya adalah Paslon yang memperoleh suara minimal 50% plus 1. Namun selanjutnya sistem kiskusen ini tidak diberlakukan lagi.

Pemilihan kepala desa atau dikenal dengan akronim Pilkades pada prinsipnya masih memberlakukan sistem kiskusen berdasarkan UU No.6 Tahun 2014 Tentang Desa, beserta turunannya.

Namun persoalan menjadi lain, pemberlakuan sistem kiskusen ini bukan pada saat tahapan perhitungan suara, akan tetapi diberlakukan pada saat proses pencalonan. Dimana apabila bakal calon yang terdaftar lebih dari 5 (lima) orang, maka disamping melalui seleksi administratif, juga harus dilakukan seleksi tambahan berupa ujian tertulis yang dilakukan oleh lembaga perguruan tinggi, dan indikator lain berupa faktor usia, pengalaman pemerintahan, dan tingkat pendidikan menentukan kelulusan. Sehingga yang ditetapkan sebagai calon kepala desa adalah 5 (lima) orang yang termasuk rangking/urutan 1 sampai 5. Hal ini dimaksudkan bahwa yang menjadi pemenang adalah calon yang memperoleh suara terbanyak dengan peroleh suara minimal 20%.

Akhirnya inilah yang menjadi akar masalah yang memunculkan ketidakpuasan dan kekecewaan pihak yang gugur dari seleksi ini yang berpotensi konflik. Hal ini terjadi kemungkinan karena faktor :

  1. Munculnya sak wasangka pada ujian tertulis yang dilakukan pihak perguruan tinggi, yang dipertanyakan netralitas dan independensinya. Karena ada dugaan kemungkinan intervensi kekuasaan atau pihak tertentu yang mempengaruhinya. Karena sering terjadi tokoh yang berpengaruh atau figur potensial berguguran. Pernah terjadi ditahun sebelumnya di KBB, bahwa pengumuman hasil ujian tertulis oleh pihak perguruan tinggi dianulir dan muncul pengumuman baru dengan perubahan rangking peserta ujian, dengan alasan kesalahan input data. Jelas hal ini menimbulkan Opini liar dari unsur publik.
  2. Faktor usia termasuk indikator seleksi tambahan. Hal ini menunjukan tindakan diskriminatif yang tidak perlu terjadi.
  3. Pengalaman pemerintahan. Karena faktor inilah tidak kurang figur yang berpotensi melakukan perubahan, dan inovatif gugur karenanya, karena tidak memiliki pengalaman di pemerintahan.
Baca Juga :  Jadwal SIM Keliling Kota Cimahi Kamis 5 Desember 2024

Dari fakta ini, kita kembali kepada tujuan semula, bahwa apapun mekanisme pemilihan yang diberlakukan, semata-mata untuk menghadirkan sosok figur pemimpin yang visioner dan berintegritas. Kalau hal ini disepakati, bahwa pemberlakuan sistem kiskusen pada Pilkades ini harus ditempatkan pada porsi sebenarnya, yaitu diberlakukan pada tahap perhitungan suara. Dan bukan pada tahap pencalonan. Wallohu A’lam, wassalam. (DR. Djamu Kertabudi, M.Si., pemerhati masalah politik dan pemerintahan)

Baca Berita Menarik Lainnya :