Oleh Syakieb Sungkar
DI ZAMAN Orde Baru, tahun 80an, ada iklan furniture yang lucu. Karena pada bagian akhirnya muncul tante-tante yang bilang begini sambil tersenyum: “kalau di sofa kami, sudah duduk lupa berdiri”. Mungkin Suharto pernah menonton iklan di TVRI tersebut dengan terkekeh. Sehingga tayangan itu tidak dilarang oleh Menteri Penerangan yang biasanya reaktif terhadap sindiran. Memang berkuasa itu nikmat. Suharto akhirnya bisa duduk di tahta Kepresidenan sampai 7 periode alias 32 tahun. Periode yang ke 7 itu tidak diselesaikannya karena adanya krisis ekonomi tahun 1997 dan rakyat memang sudah muak kepada Suharto. Semangat Reformasi kemudian membatasi masa jabatan Presiden dengan dua kali saja, mirip dengan aturan di Amerika. Agar peristiwa terus berkuasa seperti Suharto tidak terulang.

Sebenarnya begitu Suharto selesai masa jabatan periode kedua, para pelajar, mahasiswa dan kaum intelektual sudah tidak suka untuk Suharto diteruskan ke periode selanjutnya. Saya ingat pada malam sebelum Sidang Umum MPR di awal Maret tahun 1978, anak muda berkumpul menyiapkan bom molotov untuk membuat kerusuhan di Jalan Thamrin sampai Senayan. Besok paginya ada yang aneh. Karena begitu banyak orang berkumpul di bunderan HI namun tidak ada satupun kendaraan lewat. Berarti rencana rusuh bocor, polisi dan militer telah antisipasi. Digerakkan oleh indra keenam, diam-diam tas berisi molotov saya letakkan di semak-semak halaman Wisma Nusantara (sekarang hotel Pullman). Saya melipir ke arah jalan Sutan Sjahrir dan terus maju sampai jalan Teuku Umar. Sampai di sana saya naik kendaraan umum ke arah Gambir untuk pergi ke Bogor menumpang kereta api. Saya kemudian menghilang untuk tinggal di Ciherang, ikut beternak ikan Mas dan mandi di kali selama hampir sebulan, sampai keadaan aman.
Bulan madu antara Suharto dan kampus yang dulu mendukungnya sudah selesai. Sejak itu mahasiswa tidak boleh lagi berpolitik di kampus dan dengan konsep NKK/BKK, Dewan Mahasiswa dibubarkan. Begitulah cara sebuah rezim untuk berkuasa dengan lama. Mula-mula baik, dengan berjalannya waktu akan kejam juga. Awalnya bebas akhirnya represif. Apakah formula ini akan dicobakan ke Jokowi? Suatu pertanyaan besar saat ini. Sikap Jokowi pun perlahan-lahan berubah, dari sangat tegas menolak jabatannya diperpanjang menjadi 3 periode, sekarang lambat laun melemah. Minggu lalu ia menginstruksikan Menteri-menterinya agar jangan mendorong-dorong rakyat untuk memilihnya kembali. Suatu kemajuan sikap. Semoga terus dipertahankan. Apakah ini hanya cara lain Jokowi yang halus untuk menolak tawaran partai-partai agar berkuasa lagi. Atau jangan-jangan Jokowi nanti berubah pikiran, ia goyah dengan tekanan dan iming-iming dari orang sekelilingnya.
Bulan lalu saya mendengar rumor bahwa Jokowi dibisiki kalau tidak mau jadi Presiden lagi maka pembangunan Ibu Kota baru tidak akan diteruskan. Padahal proyek ini merupakan idaman Jokowi untuk menghindari hiruk-pikuk politik yang selalu berporos di antara Monas dan Depok. Pindah ibu kota akan membuat kesegaran dalam konstelasi politik yang selama ini berbasis di Jakarta. Terlepas dari benar tidaknya rumor itu, memang pada kenyataannya Jokowi sudah dikelilingi oligarki yang diuntungkan selama ia berkuasa. Bagi-bagi jatah kursi nampaknya membahagiakan orang-orang yang dahulu mensupport Jokowi jadi Presiden.
Karenanya mereka tidak mau kemesraan ini cepat berlalu. Apa salahnya Jokowi menjabat lagi yang ketiga kalinya? Undang-undang tinggal diamandemen biar memungkinkan ia terus berkuasa. Toh Jokowi disukai rakyat, tingkat kepuasan menembus angka 70%. Lagipula Jokowi tidak korup. Sampai hari ini pun saya yakin ia tidak korup. Seumur-umur saya bertemu 3 kali dengan Jokowi: 2 kali waktu masa kampanye, 1 kali di Istana ketika ia menang yang kedua kalinya. Dari pertemuan itu, terlihat ia begitu sederhana. Saya bertemu di hari Kamis, Istana penuh dengan makanan enak, tetapi Jokowi berpuasa. Ia tidak bilang sedang shaum, justru ia sibuk menawarkan peserta rapat agar makan yang banyak. Ketika orang beristirahat makan siang, diam-diam ia menghilang demi menandatangani surat-surat yang diantar oleh ajudan. Ia muncul lagi untuk melanjutkan rapat ketika kami selesai makan. Saya terharu.
Hal lain adalah ketidakjelasan siapa yang akan menggantikan Jokowi. Setelah PDIP menolak Ganjar Pranowo yang mempunyai elektabilitas tertinggi. Hal itu menjadikan kubu Nasionalis resah. Dan membuat pendulum politik bergerak lagi ke kanan, padahal Jokowi dengan manis telah mengembalikannya ke tengah, setelah ia sukses mengendalikan gerakan 212. Situasi seperti ini barangkali telah membuat banyak orang manut saja kalau Jokowi menjabat sekali lagi, sampai ketemu orang yang benar-benar cocok menggantikannya. Tetapi sebenarnya pemikiran seperti itu sungguh berbahaya, artinya elit politik tidak percaya dengan demokrasi. Mereka menganggap calon Presiden itu seperti bidak-bidak catur. Semuanya bisa diatur, dimaju-mundurkan sesuka hati. Memang demikianlah sistem politik Indonesia, kandidat bisa direkayasa. Partai-partai dan elit politik tidak percaya pada rakyat jelata. Karena yang berhasil mengumpulkan dana terbanyak untuk kampanye, mempunyai kemungkinan lebih besar. Walau kadang-kadang tidak juga.
Skenario model begini telah menggambarkan seolah-olah Jokowi itu orang yang lugu dan terdorong-dorong supporter di sekelilingnya agar jadi Presiden lagi. Tetapi, politik – dan juga filsafat – mengajarkan, jangan suka percaya kepada apapun. Jangan percaya kepada orang dan juga jangan percaya kepada sistem. Jangan-jangan menjadi Presiden kembali adalah maunya Jokowi sendiri, karena ia terpengaruh iklan sofa tahun 80an. Mari kita lawan upaya perpanjangan masa jabatan Presiden 3 periode ini.***