SKETSA | Adorno

Silahkan bagikan

Oleh Syakieb Sungkar

TAHUN 2007 – 2009 adalah tahun yang sangat menggemukkan kocek saya, bagaimana tidak – puluhan karya seni kontemporer yang dibeli dengan harga berkisar Rp 10 – 40 juta,- tiba-tiba bisa laku terjual di Balai Lelang Singapura menjadi Rp 400 – 700 juta,- Sebagian dari keuntungan itu saya belikan dua rumah yang cukup besar untuk gudang lukisan dan kendaraan SUV keluaran terbaru. Karya seni kontemporer produksi Yogyakarta, Bali dan Bandung, yang mulanya saya beli tanpa niat menjual, karena memang tertarik dengan ide-idenya yang gila dan bermain-main, tiba-tiba bisa terjual dengan harga mahal. Hal itu diluar dugaan. Sehingga posisi saya berubah dari kolektor murni sekarang merangkap juga sebagai art dealer. Sebelumnya saya membeli karya seni untuk menikmati dan mencapai tujuan luhur estetika, sekarang berubah ujud menjadi investasi.

Tidak boleh ada komodifikasi dalam estetika

Namun kelakuan saya yang berdagang lukisan itu sangat diharamkan oleh Theodor Adorno, seorang filsuf dari Madzhab Frankfurt yang lahir tahun 1903 dan meninggal tahun 1969. Madzhab Frankfurt adalah sekumpulan filsuf bermarkas di Frankfurt yang suka mendiskusikan tentang reaktualisasi pemikiran Karl Marx untuk abad 20. Bagi Adorno, seni tidak boleh menjadi alat komodifikasi. Memperjualbelikan karya seni itu merupakan perpanjangan tangan kapitalisme. Sejak halaman awal Aesthetic Theory, bukunya yang tidak diselesaikan karena ia keburu meninggal itu, Adorno menawarkan refleksinya pada status seni kontemporer:

Sudah terbukti bahwa perihal seni tidak ada satu orang pun yang memperlakukannya dengan benar, apakah itu bagian dapur dari kehidupan seni, maupun hubungannya dengan dunia luar, bahkan untuk berada saja, seni tidak punya hak. [1]

Yang dimaksudkan Adorno bahwa seni tidak diberlakukan dengan benar adalah kehidupan seni telah diatur oleh kapitalisme. Bagi Adorno, estetika tidak hanya harus melepaskan diri dari kekakuan sistem konseptual, tetapi juga menyelamatkan karya seni dari mantra komodifikasi [2]. Inilah tujuan utama penulisan Aesthetic Theory dan juga sebagai ciri dari pemikiran Sekolah Frankfurt pada umumnya, yaitu melawan demi mendapatkan kesetaraaan karya seni pada dunia yang kita hadapi, yang dibatasi oleh rasionalitas instrumental. Rasionalitas instrumental telah menjadi prinsip operasi yang mereduksi semua aspek kehidupan, termasuk seni – yang mereka ukur nilai gunanya. Pada kondisi ini, karya seni diturunkan derajatnya menjadi benda yang dapat dipertukarkan, komoditas yang beredar di pasar. Sebagai hasilnya, Adorno mendapatkan bahwa seni tidak lagi mempunyai tempat dalam masyarakat kita. Di bawah instrumen akal,

Karya seni di satu sisi menjadi dibendakan (reifikasi), dikuatkan posisinya menjadi benda budaya. Sementara di sisi lain, karya seni menjadi alat bersenang-senang yang disimpan di rumah kolektor, dan sebagian besar dari kolektor itu sebenarnya tidak tertarik dengan karya seni.[3]

Era modern menandai puncak dari pemikiran rasional pencerahan yang diusung Immanuel Kant, dimana dunia empiris menyerah kepada subyek transendental Kantian, yaitu obyek menjadi subyek, manusia menguasai alam. Akibatnya, pemikiran membuat dirinya menjadi sekedar tautologi [4], rumus-rumus matematika. Rumus-rumus itu oleh Kapitalisme diwujudkan menjadi cara berfikir sosio-ekonomis dari instrumen akal, yaitu segala hal kemudian dibendakan (reifikasi) dan diidentifikasi berapa nilainya (Rupiahnya), sebagai pemikiran identitas. Pasar, melalui model berpikir ekonomi-rasional, telah merebut manusia dari dunia, sehingga menghilangkan daya kritis manusia dalam melihat dunia. Manusia, tanpa disadari telah menjadi obyek dari dunia yang didominasi oleh pemikiran satu-dimensi [5], yaitu pemikiran uang melulu, pemikiran komersial. Hal ini membuat meningkatnya ketidakmampuan manusia melaksanakan tugas seni sesuai yang diidamkan Adorno, bahwa manusia sebenarnya mempunyai kebutuhan estetik. Harapan Adorno agar manusia dapat menikmati karya seni sehingga dapat melihat adanya dunia lain di luar realitas yang ada, tidak tercapai. Sebaliknya, kemana pun manusia pergi, mereka akan menghadapi dirinya sendiri, bukan dunia yang di luar dirinya.

Baca Juga :  Lima Unit Mobil Tertimpa Pohon Tumbang di Jln. Bungur Bandung

Dalam Dialectic of Enlightenment, Adorno dan Max Horkheimer mengatakan, “Manusia berilmu mengetahui bahwa mereka dapat menciptakan (memproduksi) benda-benda. Sehingga benda yang semula ‘berada dalam dirinya sendiri’ menjadi ‘untuk dirinya (menjadi milik dia)’. Dalam transformasi ini, benda-benda substansinya berubah menjadi suatu dominasi (penguasaan manusia atas benda tersebut)” [6]. Penguasaan masyarakat secara keseluruhan oleh Kapitalisme telah menjajah semua aspek kehidupan. Melalui ilmu pengetahuan, manusia diubah menjadi mesin kerja. Manusia berubah bentuk hanya menjadi alat atau mesin semata. Adorno mengamati gejala ini sebagai target utama yang harus direspon melalui berpikir dialektika, yang mana fondasinya diletakkan pada cara berpikir dialektika negatif:

“Untuk menguasai benda-benda, Kapitalisme menggunakan konsep yang dapat menguasai kemanusiaan, sosial dan sejarahnya – sehingga hakekat ilmu pengetahuan ditinggalkan. Pengetahuan yang mereka pergunakan telah mengandung persepsi, klarifikasi dan kalkulasi. Pengetahuan yang menegasikan manusia, yaitu formulasi matematika yang mediumnya berupa angka, pemikiran abstrak dengan tujuan sesaat” [7].

Menolak Rasionalisme

Adorno mencurigai dunia modern sebagai akibat dari pemikiran pencerahan yang dipelopori oleh Immanuel Kant. Dalam Dialectic, terlihat betapa ia menolak rasionalisme,

Setiap tujuan substansial yang diajukan oleh manusia sebagai sebuah wawasan yang diduga rasional adalah, dalam pengertian Pencerahan yang ketat, adalah tipu daya dan kebohongan-kebohongan, atau rasionalisasi [8].

Selanjutnya, Adorno dan Horkheimer menyerang sistem pencerahan secara keseluruhan, “Sistem yang disasar oleh pencerahan adalah bentuk pengetahuan yang menghapus secara cerdas fakta-fakta dan menuntun manusia secara efektif untuk menguasai alam.”. Adorno dan Horkheimer menolak klaim sistem yang diciptakan filsafat pencerahan sebagai kebenaran. Karena pencerahan adalah filsafat yang menyamakan kebenaran dengan sistematisasi ilmu pengetahuan.

Demikian pula fondasi moral pencerahan, yang berakar dari optimisme Kant, bahwa perilaku moral pencerahan adalah rasional, menjadi goyah. Meskipun demikian, yang menyedihkanlah yang berlaku, hal itu merupakan ungkapan horor atas pemikiran terbalik dari barbarisme. “Ajaran moral Pencerahan menjadi saksi keputusasaan dalam upaya mengganti agama yang lemah dengan motif intelektual demi bertahan dalam masyarakat yang hasrat kebendaannya tak pernah cukup”. Selanjutnya Adorno menghubungkan ego manusia dengan produk, ekonomi dan sistem kapitalisme. Menurutnya, ego merupakan unit sintetik dari persepsi. Ego yang disebut Kant tingkatannya paling tinggi, yang menuntun bentuk logis dari pengetahuan, pada kenyatannya adalah produk yang diperluas dan dikontrak sebagai prospek kecukupan ekonomi dan kepemilikan produktif. Ia melampaui kepemilikan borjuasi atas kepemilikan kartel totalitarian, yang ilmu pengetahuannya menjadi konsep inklusif terhadap metode-metode reproduksi dan masyarakat massa yang ditundukkan.

Pada akhirnya Adorno menjadi skeptis dengan penggunaan akal budi, seperti yang diuraikannya dalam Dialectic,

Tindakan dan hasrat manusia persis seperti jika saya berurusan dengan garis, bidang (geometri) dan tubuh. Bertentangan dengan imperatif kategoris, yang semuanya lebih sesuai dengan akal budi murni, akal budi memperlakukan manusia sebagai benda, bendalah yang menjadi pusat wahana perilaku [9].

Selanjutnya Adorno mengatakan, formalisasi akal budi hanyalah ungkapan intelektual dari mekanisasi produksi. Sarana-sarana difetishkan, dan menyerap kesenangan. Sebagaimana teori pencerahan berubah menjadi ilusi-ilusi, dominasilah yang tetap hidup sebagai tujuan dalam dirinya, dalam bentuk hasil-hasil ekonomi. Manusia dengan sarana dan tugasnya bertujuan hanya untuk memperkaya diri sendiri, itulah yang menjadi inti dari semuanya.

Dialektika Negatif

Adorno berkolaborasi dengan Max Horkheimer, dalam mendalami dialektik pada estetika. Idea dealektik mereka berbeda dengan pemikiran Hegel dan variasi Marx yang asli. Dialektika mereka adalah negatif [10]. Artinya tidak memberikan sintesa idealisme yang positif, yaitu dengan menolak tesis dan antitesis, dan mereka juga menolak kerja hukum obyektif materialisme sejarah. Dialektika yang digagas Adorno dan Horkheimer adalah dialektika yang terkonsentrasi pada obyek dalam realitas yang terpecah dan antagonis.

Melanjutkan penolakannya pada reifikasi yang telah dilakukan oleh kapitalisme, Adorno melihat adanya penyeragaman pada kebudayaan sebagai dampak dari proses reifikasi tersebut.  Dalam Dialectic pada halaman 94-100, Adorno menyoroti kebudayaan sekarang telah memberikan label yang sama terhadap segala sesuatu. Film, radio dan majalah menyusun sebuah sistem yang seragam secara keseluruhan. Aktivitas estetik telah tunduk pada sistem yang baku. Misalnya, perumahan di kota besar, dirancang untuk mengekalkan individu sebagai unit yang mandiri namun patuh pada kekuasaan absolut kapitalisme. Karena, penduduk sebagai konsumen yang mencari kerja dan kesenangan, diorganisasikan sebagai kesatuan mikrokosmos. Di mana makrokosmosnya memberikan suatu model kebudayaan untuk manusia yang berupa identitas palsu. Manusia dimonopoli oleh suatu kebudayaan massa yang membuat semua orang menjadi identik dalam garis kerangka kerja yang artifisial. All mass culture under monopoly is identical. Dalam masyarakat yang seperti itu, film dan radio tidak berpretensi menjadi suatu seni. Film dan radio didesign sebagai bisnis semata. Mereka diubah menjadi ideologi untuk mensahkan sampah yang mereka hasilkan secara sengaja. Mereka menyebut film dan radio sebagai industri, yang menyebarkan pemikiran-pemikiran agar orang tidak ragu terhadap kegunaan produk mereka secara sosial.

Baca Juga :  10 Juta Dosis Vaksin Covid-19 Tiba di Bio Farma Bandung

Industri Budaya

Ada jutaan orang yang terlibat dan berkepentingan dalam industri budaya ini. Mereka melakukan reproduksi atas kebutuhan yang identik. Banyak tempat-tempat yang tak terhitung jumlahnya meminta dipuaskan dengan kebutuhan yang identik. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, dibentuk organisasi dan manajemen perencanaan. Dengan manajemen, maka standar kebutuhan konsumen diciptakan, dan hampir tidak ada penolakan dari masyarakat atas standar-standar tersebut. Hasil dari itu semua adalah lingkaran manipulasi kebutuhan yang membuat sistem tumbuh semakin kuat. Melalui teknologi, masyarakat dikuasai. Namun penguasanya adalah orang-orang yang berpengaruh atas ekonomi masyarakat. Rasionalitas teknologi adalah rasionalitas dominasi itu sendiri. Technical rationality today is the rationality of domination. Ini merupakan ciri utama dari masyarakat yang terasing dari dirinya. Teknologi industri budaya tidak lebih dari pencapaian standarisasi dan produksi massa. Dengan mengorbankan apapun yang yang melibatkan sebuah pembedaan antara logika kerja dan logika sistem sosial. Kebutuhan-kebutuhan yang bertentangan atau menentang kontrol sosial telah ditekan untuk ditundukkan oleh kontrol terhadap kesadaran individu.

Langkah dari telepon ke radio dengan jelas membedakan perubahan pesan ini. Telepon masih memungkinkan pelanggan untuk memainkan peran subyek yang bebas. Sementara radio mengubah partisipan menjadi pendengar dan secara otoritatif menundukkan mereka dengan menyiarkan program yang sama persis. Mereka tidak merencanakan suatu mekanisme untuk menjawab atau merespon penyiaran. Dan mereka tidak membebaskan adanya siaran radio pribadi. Jika ada bakat dari pendengar yang mencerminkan spontanitas, maka pendengar tersebut buru-buru diarahkan dan direkrut melalui program pencari bakat, kompetisi penyiar atau disponsori untuk berpartisipasi dalam suatu event kegiatan. Setiap jejak atas spontanitas dari publik dalam siaran resmi, harus dikontrol. Para penyiar harus dibatasi dan menerima pengaturan dari atas. Program-program siaran dipilihkan oleh kaum profesional. Para penyiarnya dipilihkan agar cocok dengan industri. Sikap publik yang menyokong industri budaya ini merupakan bagian dari sistem. Publik bukanlah yang menjadi alasan agar industri budaya ini ada. Tetapi industri budaya inilah yang mengatur dan mengontrol sikap publik.

Jenis seni yang lain juga mengikuti formula yang sama. Misalnya pada penyiaran opera sabun yang dramatis. Demikian halnya dengan musik. Musik jazz adalah sebuah tiruan murahan [11]. Simfoni Beethoven secara kasar diadaptasi untuk soundtrack film. Dengan cara yang sama, novel Tolstoy diputarbalik dalam sebuah skrip film. Mereka kemudian menggunakan alasan demi memuaskan keinginan spontan dari publik. Fenomena seperti ini, inheren dengan peralatan teknis dan para personelnya. Mereka merupakan bagian dari mekanisme ekonomi. Mereka melakukannya atas persetujuan dari otoritas eksekutif. Agar tidak menghasilkan sesuatu yang berbeda dengan aturan-aturan mereka dan tidak berlawanan dengan idea-idea mereka mengenai konsumen.

Baca Juga :  Giring dan Gibran Lakukan "Lobi Politik" Gaya Anak Muda Milenial

Penutup

Kita harus mengapresiasi tujuan Adorno dalam memberikan teori estetikanya, bahwa seni itu seharusnya berjarak dengan masyarakat, mengkritisi dan merupakan antitesis dari masyarakat. Karya seni itu bukanlah alat untuk dipertukarkan, apalagi diperdagangkan untuk mencari keuntungan. Karena kalau demikian yang terjadi, maka kita sedang melakukan reifikasi (pembendaan) terhadap seni. Seni itu harus dialami, dinikmati, dihayati ketimbang dianalisis melalui konsep-konsep yang sistematis. Karena perbuatan seperti itu berarti sedang memberikan identitas kepada karya seni. Dan pemberian identitas merupakan langkah awal dari pembuatan kategorisasi dalam rasionalitas ilmiah sehingga memberi jalan manusia akan menundukkan dan mengatur seni. Itulah jalan kapitalisme, di mana manusia nantinya akan dininabobokan oleh kesadaran palsu. Dan seni kemudian dijadikan alat atau instrumen untuk tujuan tersebut. Dengan cara penguasa, institusi, industri dan administrasi yang berwenang membuat realitas sepertinya baik-baik saja, padahal realitas yang sebenarnya itu penuh tragedi, ketidakstabilan dan penderitaan, seperti holocaust yang terjadi di Auschwitz.

Namun terjadi paradoks ketika estetika harus membebaskan diri dari komodifikasi. Karena menurut Adorno, pasar telah merebut subyek dari dunia sehingga menetralkan daya kritis manusia. Pertanyaan besarnya adalah, apakah komodifikasi dan sikap kritis dapat berjalan seiring. Dengan banyaknya forum-forum kritik seni dan budaya, suatu produk budaya yang dihasilkan secara massal dapat dilakukan kritik secara seksama. Belum lagi media massa dan juga media online serta media sosial telah melakukan kritik secara aktif dengan waktu respon yang sangat cepat. Karya seni yang baik dan buruk akan mendapat tanggapan secara luas, apakah itu berbentuk pujian atau cemooh. Namun hal itu tidak dapat mempengaruhi pasar sepenuhnya untuk hadir atau membeli. Masyarakat mempunyai kesadarannya masing-masing untuk datang menonton atau mengunjungi suatu produk budaya. Ketika saya sampai pada paradoks ini, nampaknya usaha jual-beli karya seni yang saya lakukan selama ini masih dapat dilanjutkan, karena komodifikasi dan estetika bisa juga dilakukan seiring. Dan saya tidak terlalu khawatir akan diomelin oleh Adorno, mengingat dia sudah keburu meninggal pada tahun 1969.

Daftar Pustaka

[1] Adorno, Theodor (1997). Aesthetic Theory. terj. Robert Hullot-Kentor. USA: Continuum, University of Minnesota, h. 1.

[2] Komodifikasi adalah transformasi barang, jasa, gagasan dan orang menjadi komoditas atau obyek dagang.

[3] Aesthetic Theory, 15.

[4] Tautologi adalah pernyataan majemuk yang memuat implikasi logis sesuai dengan tabel kebenaran yang memuat hukum-hukum ekivalensi logika.

[5] Merujuk pada istilah One-Dimentional Man yang dipergunakan Herbert Marcuse (1964).

[6] Horkheimer, Max dan Adorno, Theodor (2002)[1944]. Dialectic of Enlightment, Philosophical Fragments. terj. Edmund Jephcott. California: Standford University Press, h. 6

[7] Horkheimer, 150

[8] Horkheimer, 64.

[9] Horkheimer, 67

[10] Teori Dialektika Negatif dimaksudkan untuk mencapai sesuatu yang positif dengan cara negasi. Teori ini berorientasi pada pembebasan dialektika dari sifat-sifat afirmatif tanpa mengurangi determinasinya. Dengan kata lain, Adorno menolak gagasan bahwa hasil dari dialektika akan selalu positif. Berbeda dengan dialektika Hegel, secara luas dia melihat sarana yang kontradiktif dan ketegangan. – Pen.

[11] Belakangan Adorno mengakui bahwa musik Jazz tidaklah termasuk dalam industri budaya karena strukturnya yang otonom, berbeda dengan musik pop komersial.

***

  • Penulis adalah seorang pengamat seni, dan pernah menjadi executive di beberapa perusahaan telekomunikasi. Ia pernah kuliah di FMIPA – Universitas Indonesia (1981), lulus dari Elektro Telekomunikasi – Institut Teknologi Bandung (1986), Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara (2020). Dan pernah membuat buku “Melacak Lukisan Palsu” (2018) dan “Seni Sebagai Pembebasan” (2022). Pernah berpameran tunggal lukisan di galeri Titik Dua, Ubud (2021), berpameran bersama di galeri Salihara bersama Goenawan Mohamad (2020). Saat ini ia menjadi Editor in Chief di Jurnal Filsafat Dekonstruksi – jurnaldekonstruksi.id

M Purnama Alam

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Next Post

LAGA LIGA 3 | Kalahkan Serpong City, Persikab Kokoh di Puncak Klasemen Sementara Grup BB

Jum Mar 11 , 2022
Silahkan bagikanVISI.NEWS | GRESIK – Persikab Kab. Bandung kembali meraih kemenangan di laga kedua mereka saat melawan Serpong City FC dengan skor tipis 1-0. Kesuksesan tim berjuluk “Dalem Bandung” itu cukup untuk membuat mereka bertahan di puncak klasemen Grup BB kompetisi Liga 3 putaran nasional babak 16 Besar yang berlangsung […]