Oleh Syakieb Sungkar
USIANYA hanya terpaut 7 tahun dari saya, namun entah mengapa penampilannya nampak lebih tua dari umur yang sebenarnya. Barangkali ia terlalu banyak memikirkan umat sehingga semua problema dunia Islam masuk ke benaknya. Terakhir kami bertemu sekitar 3 tahun yang lalu, pulang bersama semobil, setelah kami memprotes Jokowi soal RUU KPK yang berpotensi melemahkan itu. Prof. Dr. H. Azyumardi Azra, M.A., M.Phil., CBE. meninggal dalam perjalanan ingin memberi ceramah kepada Angkatan Belia Islam Malaysia (ABIM) di Selangor, 16 September 2022. Dikabarkan terkena Covid sehingga begitu turun dari pesawat ia buru-buru dilarikan ke Rumah Sakit Serdang, Selangor, karena sesak nafas.


Ia pernah menjabat Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta antara 1998 hingga 2006. Gelar sarjananya didapat dari Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 1982, dan melanjutkan ke Universitas Columbia sampai mendapatkan gelar Master of Art (MA) pada Departemen Bahasa dan Budaya Timur Tengah tahun 1988. Dari Universitas yang sama ia kemudian meraih Doctor of Philosophy dengan disertasi berjudul “The Transmission of Islamic Reformism to Indonesia: Network of Middle Eastern and Malay-Indonesian ‘Ulama in the Seventeenth and Eighteenth Centuries” pada tahun 1992.
Setelah lulus, pada tahun 1993 Azyumardi mendirikan sekaligus menjadi pemimpin redaksi Studia Islamika, sebuah jurnal Indonesia untuk studi Islam. Saya kira di sanalah saya baru mengenal aras pemikirannya, karena saya berlangganan jurnal itu. Cara pembahasan dan bobot intelektualnya mirip majalah Prisma, namun lebih dikhususkan ke masalah Islam. Bukunya yang terkenal adalah “Jaringan Ulama” yang terbit tahun 1994. Sebagai ahli sejarah, ia menyadarkan kita bahwa Islam yang sekarang adalah hasil interaksi para ulama yang datang dan menyebar ke Nusantara secara evolusi. Artinya Islam yang kita lihat sekarang sudah berproses lebih dari 1000 tahun yang lalu. Ia sudah berbeda dengan Islam yang ada di Arab pada abad ke 7 atau tahun 600an.
Seringkali kita berpikir untuk mencari Islam yang ‘murni’ seperti yang ada dalam kehidupan Nabi Muhammad ketika ia hidup. Namun yang ‘murni’ itu sebetulnya sebuah utopia karena layaknya sebuah agama yang selalu aktual di seluruh zaman, maka ia harus bertransformasi dalam ruang dan waktu. Artinya situasi di Indonesia akan berbeda dengan Mekah yang jaraknya 8000 km dari Jakarta. Demikian pula jarak waktu yang 15 abad itu akan membutuhkan penyesuaian agar agama dapat diterapkan di masa kini. Untuk itu dibutuhkan upaya ijtihad untuk mencari solusi permasalahan-permasalahan masa kini dengan berinspirasi dari teks yang ada dalam Al Quran dan Hadits.
Untuk itu penguasaan atas bahasa Arab dan sejarah menjadi sangat penting agar dapat mengerti konteks penafsiran suatu teks. Dengan melihat konteks mengapa di masa lalu suatu aturan diberlakukan seperti itu, maka seorang intelektual Islam akan dapat mengambil hakikat dari teks tersebut. Dan mencari jalan baru atau ketetapan baru untuk masalah aktual yang menyesuaikan dengan konteks masa kini. Itulah sebabnya jurnal seperti Studia Islamika sangat penting karena memberikan wawasan kepada pembacanya dalam mempelajari khazanah Islam. Jurnal itu berkembang terus sampai sekarang dari semula edisi cetak sekarang sudah terindeks Scopus Q1, suatu standard tertinggi jurnal ilmiah internasional. Kiranya apa yang digagas oleh beliau menjadi amal abadi dan pahalanya akan menjadikannya rumah di surga.
- Penulis, mantan aktifis ormas Islam di Bandung, pengamat seni dan pernah menjadi juri dalam Bandung Contemporary Art Award (BaCAA), mantan executive di beberapa perusahaan telekomunikasi, pernah bersekolah di FMIPA – Universitas Indonesia (1981), Elektro Telekomunikasi – Institut Teknologi Bandung (1986), Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara (2020), menulis buku “Melacak Lukisan Palsu” (2018), dan buku “Seni Sebagai Pembebasan” (2022), pernah berpameran tunggal lukisan di Galeri Titik Dua, Ubud (2021), saat ini menjadi Editor in Chief di Jurnal Filsafat Dekonstruksi (jurnaldekonstruksi.id).