Oleh Syakieb Sungkar
SUDAH lama saya tidak ke Bentara Budaya, karena pandemi. Belakangan ini Bentara mulai aktif kembali. Pada Senin, 26 September 2022 yang lalu mereka merayakan ulang tahun yang ke 40. Harusnya banyak acara dan tamu yang datang, namun sejak sore Jakarta didera hujan sehingga perhelatan tidak sesuai skenario. Saya terhibur karena Bentara kembali memamerkan koleksi lukisannya yang dikurasi dengan baik. Bagi saya pemerhati senirupa, melihat-lihat karya lama merupakan suatu tambahan khazanah pengetahuan tentang sejarah senirupa Indonesia dan para senimannya. Tetapi di sana saya juga sempat bertemu muka dengan kenalan saya orang Prancis yang mukim di Bali sejak 1972. Namanya Jean Couteau. Ia bercerita bahwa besoknya akan memberikan ceramah sekaligus peluncuran buku pada Pusat Kebudayaan Perancis, IFI – Institut Français Indonesia di jl. Thamrin.
Dalam ceramah itu, Jean Couteau menguraikan secara sepintas isi buku yang didasarkan pada wawancara antara dirinya dengan Eric Buvelot, orang Prancis yang tinggal di Bali sejak tahun 1995. Eric adalah seorang jurnalis yang menulis untuk koran Jakarta Post dan menjadi Pemimpin Redaksi majalah La Gazette de Bali. Buku itu berjudul “50 Ans de Changements”, yang artinya 50 Tahun Perubahan. Saya belum membaca bukunya, namun dari uraian Jean terlihat Bali telah berubah setidaknya dalam 2 hal, yaitu pertama — arah pembangunannya yang menguntungkan segelintir elite Jakarta, dan kedua – orang Bali itu sendiri yang sikapnya telah berubah terhadap pendatang.
Menurut Jean, Pemerintahan Orde Baru telah menyalurkan kredit perbankan secara tidak adil. Kredit itu hanya disalurkan kepada para kroni Jakarta untuk membangun properti di Bali. Pembangunan itu menjadi lancar karena dibantu oleh para petinggi lokal di Bali. Sementara sisanya, para penduduk, menjadi penonton belaka yang hanya bisa menjual tanahnya kepada para investor. Bali kemudian bukan lagi sebagai pulau sakral yang mandiri, namun menjadi koloni Jakarta. Perkembangan pembangunan yang pesat di Bali telah memunculkan dampak sampingan yaitu berbondong-bondongnya para pekerja dari Jawa yang bersaing dan merebut pasar tenaga kerja lokal. Seiring dengan berjalannya waktu, adanya gap pembagian kue atau rejeki ini telah memunculkan kecemburuan sekaligus penolakan pada sebagian masyarakat lokal. Sehingga mereka menganggap para pendatang itu sebagai liyan atau the other.
Padahal di tahun 1975 ketika ia masih belajar mengenai budaya dan cara hidup orang Bali, ia melihat sikap masyarakat yang menerima orang asing atau pendatang sebagai saudara. Ketika ia ditanya oleh seorang petani, apa agamanya, ia menjawab Katholik. Maka petani itu mengatakan bahwa semua agama itu sama. Karena tuhannya orang Katholik adalah Yesus, yang masih kerabat dengan dewa Wisnu. Petani itu kemudian melanjutkan bahwa orang Islam punya Nabi yang bernama Muhammad SAW. Nah, huruf W pada S.A.W. itu sebetulnya merupakan akronim dari Wisnu. Walau anekdot itu terlihat dangkal namun mencerminkan sikap masyarakat yang menghilangkan perbedaan terhadap asal dan agama kaum pendatang seperti dirinya.
Tetapi di zaman sekarang situasinya sudah berbeda, terutama setelah terjadi peristiwa bom Bali. Ketika bom Bali terjadi, orang Bali tidak menyalahkan orang Islam, namun mereka menyalahkan bahwa bencana itu terjadi karena adanya impurities yang berupa banyaknya orang bermabuk-mabukan di bar. Dan impurities itu harus dibersihkan secara kosmis melalui upacara sehingga mala atau bencana hilang. Di samping, orang Islam juga banyak membantu para korban dan sedikit banyak membantu pemulihan ekonomi juga. Namun dalam perkembangan kemudian, telah muncul gerakan-gerakan ekstrim yang ingin memurnikan agama Hindu agar berkiblat kepada Hindu yang di India. Gerakan itu juga merebak dalam Pilkada di mana isu identitas Bali dimunculkan, sehingga ada istilah Bali dan non-Bali. Menurut Jean, langkah segregasi ini sudah struktural karena menjadi bahan jualan politik beberapa tokoh di DPRD dan DPD. Hal ini yang menjadi sumber keresahannya dalam mengenang perkembangan Bali selama 50 tahun ke belakang.
Saya sendiri melihat banyak aturan yang dahulu sudah berlangsung baik kemudian ditinggalkan. Ketika saya masih aktif melakukan pembangunan proyek-proyek Di Bali di tahun 80an, membangun di Bali itu tidak mudah. Demikian pula dalam pelaksanaannya. Arsitektur diawasi ketat oleh Pemda setempat agar tetap bergaya Bali. Sehingga tukang yang khusus mengukir elemen-elemen estetis dalam sudut-sudut rumah, dari pagar sampai atap menjadi laku keras. Namun sekarang saya melihat pembangunan vila di mana-mana yang wujudnya mirip rumah-rumah di Jakarta. Pembangunan menjadi bebas-bebas saja, asalkan investor berdatangan. Hal itu yang membuat Bali menjadi rusak.
Jean mengusulkan adanya semacam perlindungan kepada para pekerja di Bali. Atau semacam moratorium agar para pendatang dibatasi. Walau ia menyadari bahwa keinginan itu hanya sebatas mimpi, karena mengganggu kebhinekaan Indonesia. Dalam pengamatan saya, banyak investor lebih suka merekrut para pekerja dari Jawa karena produktivitasnya lebih tinggi. Hal itu dapat terjadi karena sistem yang ada pada masyarakat Bali yang tinggi dalam hal gotong royong dan kegiatan upacara. Artinya seorang pekerja akan banyak mengajukan libur karena harus berpartisipasi dalam kegiatan pura di desanya. Untuk itu ada baiknya dibuatkan sistem kuota, misalnya sebuah hotel atau kantor harus merekrut persentase tertentu bagi pekerja lokal.
Setelah 77 tahun Indonesia merdeka, nampaknya tidak ada satu pun Grand Design yang mengatur perekonomian serta pembangunan di Bali. Bali tidak pernah dipikirkan untuk dapat mandiri secara ekonomi. Pulau itu sangat bergantung pada pendatang. Jusuf Kala pernah membuat program agar orang banyak berlibur meramaikan Bali, dengan cara meluruskan hari libur kejepit sehingga waktu rekreasi menjadi lebih panjang. Namun untuk urusan pertanian misalnya, tidak pernah ada perhitungan berapa luas lahan yang dibutuhkan untuk padi sehingga orang Bali dapat cukup makan tanpa mengimpor beras dari luar. Atau, mengapa sampai sekarang Bali masih mengimpor pisang (yang banyak dibutuhkan untuk sesaji). Namun di sisi lain, Bali dapat memproduksi wine, artinya ia surplus anggur tetapi kurang pisang. Sepertinya ada mismatch di sini. Jean menyalahkan pada kapitalisme sebagai biang keladinya. Tetapi ia buru-buru mengatakan kapitalisme tidak selalu jelek, setidaknya ia mengajarkan kebebasan dan kemandirian yang terasa dalam gerak mandiri wanita Bali sekarang ini.
Grand Design yang saya maksud dapat kita bandingkan bagaimana Korea Selatan membangun Pulau Cheju, tempat rekreasi yang mirip Bali. Pulau itu didesign sedemikian rupa sehingga ada zonasi untuk para pendatang bisa berhura-hura di restoran, bar dan night club. Ada zonasi yang hutannya tidak boleh dirusak, ada juga zonasi untuk para nelayan yang tidak boleh diganggu turis dan kapal-kapal pelancong, sehingga penduduknya aman mencari makan. Seandainya Bali dapat dibuat secara demikian, misalnya bebas membangun di Kuta. Bisa saja di Kuta dikembangkan semacam Dufan atau banyak mall seperti Jakarta. Denpasar dikonsentrasikan sebagai perkantoran, sementara Ubud jangan diganggu, biarkan ia menjadi desa para seniman dan craft. Jimbaran untuk nelayan, dan sebagainya. Artinya, pembangunan harus diatur. Hal ini baik untuk menjaga keindahan, dan rakyat Bali bisa menjadi lebih makmur.
Demikian pula transportasinya. Bagi saya yang pernah mengalami Kuta yang sepi dan sekarang menjadi malas datang karena demikian macet. Maka saya saat ini lebih terhibur dengan menginap pada rumah penduduk desa di Ubud, dan ke mana-mana cukup berjalan kaki. Ketimbang mengalami hiruk-pikuk di Sanur dan Kuta (sekarang Jimbaran juga crowded). Kalau Bali macet terus lama-lama ia mirip Jakarta, keunikannya akan hilang, dan turis cepat atau lambat akan berkurang, mencari daerah lain yang lebih ramah (kepada lingkungan dan kepada orang asing atau pendatang). Karenanya, keresahan Jean Couteau ini harus kita dengarkan.***
- Penulis, pengamat seni dan pernah menjadi juri dalam Bandung Contemporary Art Award (BaCAA), mantan executive di beberapa perusahaan telekomunikasi, pernah bersekolah di FMIPA – Universitas Indonesia (1981), Elektro Telekomunikasi – Institut Teknologi Bandung (1986), Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara (2020), menulis buku “Melacak Lukisan Palsu” (2018), dan buku “Seni Sebagai Pembebasan” (2022), pernah berpameran tunggal lukisan di Galeri Titik Dua, Ubud (2021), saat ini menjadi Editor in Chief di Jurnal Filsafat Dekonstruksi (jurnaldekonstruksi.id)